Wajah Kenan tampak begitu cemas, sesekali dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi seseorang namun nomor yang dia hubungi tidak aktif. Dengan wajah putus asa, dia lalu duduk di samping seorang laki-laki setengah baya.
"Kenan, biarkan saja, bukankah dia sudah biasa berperilaku seperti itu?"
"Tapi Pa, bagaimanapun juga Calista harus tau jika saat ini kondisi ibunya sedang kritis."
Raut kesedihan dan kekecewaan tergambar jelas di wajah laki-laki tua itu. "Olivia...."
"Apa? Apakah Papa mengatakan sesuatu?"
"Kenan, tolong Papa, coba hubungi Olive."
Detak jantung Kenan terdengar semakin tak beraturan, seluruh tubuhnya seakan bergetar mendengar sebuah nama yang tak ingin dia ketahui keberadaannya, sebut saja dia pengecut, dan memang itulah kenyataannya. Dia begitu pengecut untuk mencari tahu tentang Olivia. "Pa, sudah lima tahun ini Olivia tidak pulang, apa dia juga masih peduli pada kita?"
"Kenan, Olive itu anak papa, papa tahu bagaimana sifatnya, pasti dia memiliki suatu alasan untuk tidak pulang lima tahun terakhir ini."
"Tapi Pa..."
"Dia anak yang baik Kenan, kami masih sering berhubungan melalui telepon dibelakang Calista, karena kami tahu Calista kini semakin membencinya saat Olivia memiliki kehidupan yang lebih sukses darinya."
Seorang dokter keluar dari ruang ICU. "Keluarga Ibu Vina?" Kedua orang itu lalu menghampiri dokter tersebut. "Ya dok, bagaimana keadaan istri saya?"
"Untuk saat ini ibu Vina mengalami koma, kita berdoa saja semoga dia cepat diberi kesadaran."
Tubuh laki-laki tua itu pun ambruk, air mata mengalir deras di wajahnya. Kenan dengan ragu-ragu menyalakan ponselnya, lalu dia mengetik sebuah nama. "Olivia..." beberapa detik dia memandang nama tersebut, lalu perlahan dia memencet tombol berwarna hijau dan suara sambungan telepon pun terdengar.
***
Seorang wanita cantik dan modis tampak keluar dari sebuah ruang rapat di hotel berbintang, langkahnya begitu tergesa-gesa. Beberapa orang laki-laki bule berdasi yang sedari tadi selalu meliriknya dan berusaha mencari perhatiannya saat sedang presentasi pun dia abaikan begitu saja, sesekali dia melihat jam di tangannya. "Sial, udah terlambat!"
Dia lalu bergegas masuk ke dalam mobil mercy warna merah miliknya lalu mengendarai mobil tersebut dengan kencang masuk ke sebuah apartemen mewah. Dia keluar dari dalam mobil dan berlari masuk ke apartemen miliknya. Saat sampai di depan pintu apartemen, perlahan dia membuka pintu itu. "Mommy you late!" teriak seorang anak kecil yang memakai topi kertas bergambar balon di kepalanya yang kini sudah berdiri di depan Olivia sambil berdecak pinggang.
"I'm sorry, so sorry Vansh."
"Lihat mommy, teman-temanku sudah menunggu begitu lama, bahkan Aunty and Uncle sampai tertidur."
"Hahahaha, bohong Olive, hahahaha. Vans, kau sekarang begitu nakal, kami belum tertidur," kata Alena sambil menjewer telinga Vansh.
"Hahahaha aku hanya ingin memarahi Mommy, bukankah Mommy sudah sering memarahiku? kini giliranku untuk memarahinya," jawab Vansh.
"Hahahaha anak mommy, sekarang ayo kita rayakan ulang tahunmu sayang."
Wajah Vansh pun berubah menjadi ceria, dia lalu menggandeng Olivia untuk bergabung bersama teman-temannya dan Jason yang sudah menunggu mereka di ruang tengah.
Vansh tampak begitu bahagia, dia menyunggingkan senyum yang begitu lebar saat dia meniup sebuah lilin berangka empat di atas sebuah kue ulang tahun besar. "Happy birthday Vansh, wish you all the best."
"Thanks Mom!" kata Vansh sambil mencium Olivia.
Vansh lalu menikmati pesta ulang tahun bersama Jason dan teman-temannya. Olivia kemudian menghampiri Alena dan Mark yang kini berdiri di balkon apartemen sambil menikmati indahnya pemandangan kota Sidney.
"Hari ini kau luar biasa Olive, temanku bilang padaku jika kau melakukan presentasi dengan begitu luar biasa."
"Ini semua karena kalian berdua, kalian yang selalu ada di saat aku pada titik paling rendah. Alena, kau bahkan begitu membantu membangun kepercayaan diriku saat aku dalam masa sulit setelah melahirkan, sungguh aku tak menyangka bisa melalui semua ini."
"Jangan panggil aku sebagai seorang psikolog jika aku tak bisa membangun kepercayaan dirimu dan menggali semua potensi yang ada padamu Olivia. Hahahaha."
"Benar apa kata Alena, Olive, kau memang wanita yang tangguh dan kuat," kata Mark.
"Jangan pernah bicara seperti itu padaku Mark, tanpamu aku takkan bisa diterima bekerja di perusahaan sebesar ini."
"No... kamu salah Olive, aku tak pernah menyuruh mereka menerimamu, kau mendapat pekerjaan ini karena memang kau pantas dan memiliki kemampuan untuk bekerja di sana."
"Kalian selalu saja merendah di depanku," kata Olivia sambil mendengus kesal.
"Hahahaha....." Alena dan Mark lalu tertawa.
Di tengah tawa mereka tiba-tiba ponsel Olivia berbunyi. Olivia lalu mengambil ponselnya di saku celananya. Jantung Olivia berdetak begitu kencang, hatinya kembali terasa begitu sakit saat melihat sebuah nama di panggilan ponselnya.
"Olivia, siapa yang menelepon?"
"Kenan, Alena." Mata Alena melotot mendengar nama Kenan disebut Olivia.
"Angkatlah Olive."
Dengan ragu, Olivia lalu mengangkat telepon itu. "Ha... halo."
"Halo Olivia, Olive pulanglah, mamamu kondisinya saat ini kritis Olive."
"Mama?"
"Ya, Mamamu dia sakit stroke, dan saat ini dia sedang kritis."
"Ba-baik Kenan, aku akan pulang secepatnya."
Olivia lalu berjongkok sambil menangis. Mark dan Alena lalu mendekatinya. "Olive, apa yang terjadi?"
"Mama, mama sakit stroke, dan saat ini kondisinya sedang kritis."
Alena begitu terkejut mendengar kata-kata Olivia. "Mark, cepat kita semua harus ke Jakarta. Kau cepat pesankan tiket pesawat untuk kita semua Mark."
"Iya Alena."
"Olive, ini bukan saatnya untuk menangis. Berkemaslah, kita harus segera pulang."
Olivia dan Alena lalu bergegas ke kamar masing-masing. Vansh dan Jason tampak kebingungen karena mereka baru saja selesai berpesta dan tiba-tiba orang tuanya menyuruh mereka untuk ikut pergi.
"What happen mommy?"
"Vansh ingin bertemu Opa dan Oma kan?"
Vansh lalu mengangguk. "Kita akan bertemu mereka sayang," kata Olivia.
Vansh lalu melompat kegirangan. "Hore, aku mau ketemu Opa sama Oma!" teriak Vansh.
Olivia lalu hanya bisa memandangnya dengan tatapan sayu. "Tidak hanya Opa dan Oma, tapi kau juga akan bertemu dengan Papamu, Vansh," gumam Olivia diiringi sebutir air mata yang menetes.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah sampai di Indonesia. "Olive, sebaiknya kalian langsung ke rumah sakit, biar aku dan Mark yang membawa barang-barangmu ke rumah, lalu kita akan menyusulmu."
"Baik Alena, terimakasih."
Olivia dan Vansh lalu menaiki taksi ke rumah sakit tempat Mamanya dirawat. Olivia melangkahkan kakinya dengan sedikit tergesa-gesa saat memasuki rumah sakit. "Mommy, pelan-pelan," kata Vansh sambil meringis.
Akhirnya Olivia sampai di depan sebuah ruang emergency. Di depan ruangan itu, tampak dua orang lelaki duduk dengan raut wajah begitu cemas. Oliva lalu menghampiri seorang laki-laki paruh baya, kemudian memeluknya. "Papa, maafkan Olive sudah terlalu lama meninggalkan kalian."
"Tenangkan dirimu Olive, ini semua bukan kesalahanmu."
Kenan begitu terkejut melihat Olivia, sebuah getaran merasuk di dalam hatnya. "Olive, benarkah dia Olivia?" batin Kenan saat melihat wanita muda yang sangat cantik, wajah putihnya yang tirus dan hidung mancungnya seakan terpahat sempurna, rambut loose wavy-nya diikat kucir kuda kian menambah kecantikannya.
"Olivia?" kata Kenan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
next..
2022-05-20
0
dhapz H
kenan... kau dulu nolak Olivia dan sekarang baru tau kan Olivia yg sebenarnya
2022-03-27
0
Nur Borhap
visualny thor
2022-02-05
0