Steiner datang dengan semangkok bubur, dengan umbi umbian berwarna orange dengan taburan parsley atau peterseli. Baunya sangat harum dan membuat Luigi semakin lapar. Steiner meletakkan mangkok itu di meja, lalu ia beranjak menuju perapian. Sebuah panggangan jepit, berada di perapian, Steiner menyiapkan makan malam Luigi. Ia memanggang ikan dari hasil memancingnya. Steiner kembali mengumbar senyumnya saat ia berjalan kearah Luigi dengan hasil panggangannya.
"Kau terbiasa bertahan hidup di alam bebas, Stein?" tanya Luigi, saat Steiner meletakkan ikan yang telah di panggang di atas meja, yang berada di samping ranjangnya. Kemudian ia duduk.
"Aku senang berpetualang Lui. Aku bahkan telah berkeliling dunia" Stein kembali tersenyum. Ia meraih mangkok yang berisi bubur dan menyuapkan kearah Luigi.
"Biarkan aku makan sendiri. Aku harus melatih tanganku" kata Luigi setelah Steiner menyuapkan satu sendok bubur kearahnya.
"Kau belum bisa Lui. Kau akan menumpahkannya dan membuat kekacauan baru. Selimut di pondok ini hanya satu dan itu juga yang sedang kau pakai. Aku tidak bisa tidur dengan bau amis ikan yang menyengat" ujar sambil memotong ikan. Steiner mengambil dagingnya dan menyingkirkan durinya.
"Tidur? Ehm. Kau akan tidur denganku? Satu selimut denganku?" Luigi kembali membuka mulutnya dan menerima suapan dari Steiner.
Steiner terkekeh lembut, wajahnya seakan berkilau keemasan diterpa cahaya lampu pondok yang begitu temaram, "Lalu aku harus tidur dimana, Lui? Ini adalah ranjangku"
Luigi terdiam, dengan mengunyah makanan ada kekuatiran di matanya tapi Steiner mencoba menenangkannya, "Lui tenanglah, jangan banyak berpikir. Jangan cemas, semua akan baik baik saja. Bantuan akan segera datang, mereka akan menemukanmu" kata Steiner dengan mengusap pipi Luigi dengan lembut. Ada kehangatan yang mengalir dan menghilangkan kecemasannya, Luigi tersenyum kemudian dan kembali meneruskan makannya.
"Apa ini pondokmu?" tanya Luigi.
"Ini tempatku di asingkan dari dunia, Lui" ujar Steiner dengan menyodorkan sendok ke mulut Luigi.
"Di asingkan?" Luigi mengerutkan alisnya lalu melahap sendok yang dipenuh bubur dan ikan panggang.
"Aku becanda Lui. Aku tinggal di London. Tepatnya di Manchester" kata Steiner dengan terkekeh.
"Hmm-- sangat metropolitan. Aku ingin bekerja disana setelah aku lulus" setelah mengunyah dan menelan makanannya, tangan Luigi meraih gelas dan Steiner buru buru mengambilnya.
"Lalu kau sendiri? Tinggal dimana. Apakah Cambridge? Karena kuliahmu disana"
"Di Cambrige, aku tinggal di Apartemen mahasiswa. Tapi aku berasal dari St. Albans"
"Wow, kota dengan langit biru" ujar Steiner dengan mata berbinar.
"Bukankah, semua langit biru? Aku juga heran mengapa semua orang mengatakan St. Albans adalah kota langit biru"
"Bahkan saat hujan, langit disana sangat biru Lui. Sangat berbeda. Pokoknya berbeda. Sepertinya ada Dewa Apollo disana hingga kelamnya langit tidak berani mendekatinya" Lui terkekeh lalu ia meringis merasakan punggungnya sakit.
"Setelah makananmu habis, aku akan membersihkan luka di punggungmu. Kau bisa mengenakan kemejaku setelah itu" kata Steiner dengan tersenyum. Dan selalu tersenyum.
Sangat menawan.. Apa kau selalu tersenyum seperti ini? Stein, hatiku berdebar saat kau tersenyum. Kau membuat jantungku berdetak keras saat kau tersenyum.
Dan beberapa saat kemudian, saat malam kian larut, saat kegelapan melingkupi rumah pondok ditepian sungai di belantara lembah Parnassus, Steiner datang dengan baskom yang berisi air hangat dan ramuan dari daun daunan yang ditumbuk hingga halus.
"Lui, apa kau bisa mengubah posisimu? Menghadaplah kearah jendela, Lui" Steiner meletakkan kemeja di sudut ranjang, yang sebelumnya ia letakkan di pundaknya beserta handuk kecil yang akan digunakan untuk membersihkan punggung Luigi.
Dengan bantuan Steiner, Luigi duduk dan mengangkat kakinya agar berubah posisinya. Luigi duduk diranjang, menghadap ke jendela, lalu Steiner dibelakangnya, "Lui, maafkan aku. Penutup dadamu harus aku singkirkan" suara lembut itu menggetarkan hati Luigi, seiring jemari Steiner melepas pengait penutup dada Luigi, yang berwarna hitam. Lalu menurunkan talinya kiri dan kanan kemudian Luihi melepasnya.
Luigi menurut dan menarik selimut, untuk menutupi buah dadanya. Cahaya lampu pondok di tengah hutan itu seakan berpendar mencapai seluruh belantara lembah Parnassus. Luigi bisa melihat, air sungai berkilau di kejauhan, derak suara pohon begitu lembut tak terdengar. Hanya suara binatang malam seakan musik di malam hari yang menemani mereka.
Steiner membasuh perlahan punggung mulus itu dan berdecak kagum, "Kau rajin merawat tubuhmu, Lui. Lembut.. Dan.. Harum-- Kau sepertinya bukan gadis dari kalangan biasa kau pasti rajin melakukan perawatan"
Dengan sangat hati hati Steiner membersihkan punggung Luigi dan membalurkan ramuan dari dedaunan yang dibuatnya. Steiner membelai lembut punggung Luigi yang terdapat beberapa goresan disana. Dan ramuan itu secara ajaib menghilangkan rasa sakit secara perlahan.
"Ayahku seorang Bankir yang menduduki Dewan Perbankan di London. Dia mengepalai salah satu cabang Swiss Bank yang ada di Manchester. Karena itulah setelah lulus aku akan menetap bersama Ibu dan kedua kakak laki lakiku akan menempati rumah kami di St. Albans. Karena mereka sudah bekerja disana" tutur Luigi dengan satu tarikan nafasnya.
"Pantas" satu kata itu begitu lembut namun terasa dingin di telinganya, tiba tiba suasana menjadi senyap dan juga sangat sunyi. Luigi terdiam dan menunggu perkataan Steiner, namun ia seperti berada di dalam pondok itu sendirian.
"Stein.. Steiner.. Kau dimana... Steiner" tidak ada sahutan apapun. Luigi berdebar debar. Steiner tidak ada dibelakangnya saat menoleh ke belakang namun langkah kaki Steiner juga tidak terdengar saat Steiner pergi. Luigi bertanya tanya.
"Steiner.. Aku tidak becanda Steiner.. Steiner.. Kau dimana.. Stein!" Luigi kembali membalikkan tubuhnya menatap perapian yang masih saja menyala memberikan kehangatan rumah pondok yang terbuat dari kayu, kemudian Luigi melihat baskom dengan handuk kecil. Tapi, Steiner tidak ada dibelakangnya dan seakan menghilang.
Saat Luigi kembali membalikkan tubuhnya dengan posisi semula yaitu menghadap jendela, Steiner tiba tiba ada dihadapannya.
"Stein! Kau menakutiku!" Dan Steiner terkekeh saat Luigi memukul lembut lengannya.
"Jangan katakan kau takut hantu dan kau ini penakut" Entah dari mana datangnya, tapi Steiner telah duduk dihadapan Luigi dengan mencondongkan tubuhnya sangat dekat.
"Stein, aku tidak takut apapun. Aku hanya.. Entahlah kau menghilang. Dan aku tiba tiba takut dan merasa aneh. Ada laki laki asing tinggal disini dan--
"Ini untukmu Lui" Steiner memberikan satu ikat bunga liar, bunga ilalang dan juga ada bunga edelweis salah satunya. Luigi tersenyum dan menghela nafas panjang. Ketakutannya sirna seketika, saat melihat senyum yang menawan, tatapan mata yang menggoda dan tangan yang mengulurkan bunga keabadian. Bunga Edelweis.
"Steiner, ini bunga pertama untukku dari seorang laki laki. Ini indah sekali Stein. Aku menyukainya. Aku menyukainya.. Terima kasih. Kapan kau mengambilnya untukku?" tanya Luigi dengan berbinar. Berulang kali Luigi menciumi bunga itu, aroma khas klasik bunga edelwes menentramkan hatinya.
"Tadi siang saat memancing, Lui" kata Steiner dengan lembut. Steiner membelai pipi Luigi yang merona hingga Luigi melupakan bahwa dadanya tidak di tutupi apapun, bahkan sehelai selimut yang menutupi terlepas karena keterkejutannya.
"Ini indah. Aku akan membawanya pulang" kata Luigi nyaris berbisik memandangi seikat bunga itu.
"Jadi ini bunga yang pertama untukmu?" dan lagi lagi Steiner tersenyum dan membelai puncak kepala Luigi. Mata itu terus memburu bola mata Luigi yang terus menghindari tatapannya.
"Benar Stein" ucap Luigi gugup.
"Lui. Aku jatuh cinta padamu. Jangan katakan pulang, Lui" Luigi lemas seketika, tulang tulang di tubuhnya, rasanya terlepas begitu saja, Luigi meremang, hawa dingin merayapi sekujur tubuhnya, Steiner mengusap lembut lengan Luigi, permukaan kulitnya yang lembut terasa menonjolkan pori porinya. Jantung Luigi berdegub kencang, ia ingin berteriak, ingin menghindari pesona itu, namun Luigi tak sanggup.
"Stein--
Dan tatapan mata Steiner, seketika meruntuhkan segalanya, rasa yang begitu asing, rasa yang menyerang perasaannya, kegelisahannya juga ketakutannya. Bunga itu terlepas dari tangan Luigi dan tangan Luigi justru merayapi wajah Steiner yang telah mendekat dengan memiringkan kepalanya. Steiner memejamkan matanya dan saat itu juga Luigi mencium lembut bibir laki laki yang baru satu hari dikenalnya.
Steiner, akupun jatuh cinta padamu.. Ini sangat Aneh.. Aku tak percaya dengan perasaanku.. Stein.. Apakah ini Cinta pada pandangan pertama? Siapa kau, Stein..
-
-
-
Like yang mucho mucho mucho (banyak)! #kata Train. Dan kopi segentong #kata Thorgen 🤣
Bila kamu menyukai Novel ini, Jangan Lupa Dukungan Vote, Like, Komen, Koin, Poin dan Rate bintangku yaa Reader Tersayang.
Biar aku semangat nulis lagu disela - sela waktu jadwal kuliahku yang padat. Terima kasih Reader tersayang 😘😘🥰🥰💕💐
-
-
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Mystera11
thor aq mampir setelah baca Blue Train... disana kapan up nya thor😭😭😭
2022-07-04
0
Ibelmizzel
baru baca udah suka sx,apalagi karya author sangat 👍
2022-05-30
0
Aruna arfiana
ya aku baca di sini dulu sambil nunggu si train muncul
2022-04-30
0