"Mbah sudah membuka simpul simpul syaraf Angger sewaktu memijit tubuh Angger kemaren. Selanjutnya tinggal melatih fisik dan kebugaran juga ketrampilan Angger saja". mbah Hardjo kembali mengangkat cangkir dan menyeruput kopinya sejenak kemudian kembali melanjutkan ceritanya.
"Ilmu ini hanya diwariskan kepada Keluarga Angger saja, itupun tidak semua keturunan, hanya yang mempunyai bakat dan sifat yang baik dan sholeh saja."
"Kalo begitu bapak juga mewarisi ilmu ini Mbah"? Tirta menyela cerita Mbah Hardjo.
"Setau Mbah, Bapak Angger kurang mempunyai bakat seperti Angger dalam hal olah kanuragan, jadi Beliau tidak menurunkan ilmu ini kepada Bapak Angger, juga setau Mbah, Bapak Angger agak pemalas dan kurang serius, maaf ya menyinggung bapaknya Angger".
"Iya mbah, Tirta tau kok, memang Bapak agak pemalas, tapi dia baik dan menyayangi kami semua" Tirta menimpali.
"Banyak keturunan Beliau, ada puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah Ngger,! tapi hanya yang terpilih saja yang berhak mewarisi ilmu beliau, dan sekarang ini di jaman ini Anggerlah yang terpilih, dan sebagai permulaan, Mbah yang akan mengajari Angger."
Tirta mengangguk angguk mendengar kan ceritanya Mbah Hardjo.
"Dan Angger harus tatap bekerja keras untuk berlatih dan Mesu diri. Mbah hanya bisa membantu , Tapi semua tergantung usaha dan kemauan Angger Tirta."
Ketika cangkir-cangkir sudah mulai kosong, Mbah Hardjo Bangkit berdiri.
"Marilah Ngger kita akan mulai berlatih". Mbah Hardjo mengajak Tirta untuk menuju sebuah lereng bukit di belakang padepokan. Di lereng bukit dibelakang padepokan terdapat sungai yang mengalir cukup deras dengan batu-batu kali yang cukup besar dan berwarna hitam..
"Ayo Ngger ikuti Mbah." segera Mbah Hardjo berlari lari kecil dengan sesekali melompat menghindari semak dan perdu. Ketika sampai di pinggiran sungai yang beraliran deras tapi jernih, Mbah Hardjo berhenti sejenak, memandang aliran sungai dan berkata pada Tirta,
"Kita akan mulai berlatih di sini Ngger. Angger harus melompat lompat diatas batu-batu itu Ngger, Angger harus ber hati-hati jangan sampai terjatuh, batunya licin karenaq permukaannya ada lumut nya" demikian Mbah Hardjo mulai memberi petunjuk.
Tirta mendengar kan apa yang di katakan Mbah Hardjo. Dia sempat berpikir mana bisa melompati batu batu itu, sedang jarak antar batu ada yang berjauhan dan ada yang berdekatan.. yang agak jauh saja bisa mencapai dua tiga meter bahkan ada yang jauh lagi.!
Setelah memberikan beberapa petunjuk, Mbah Hardjo tanpa ragu mulai melompat dengan tenang, dua kali lompatan mbah Hardjo sudah sampai di tengah sungai yang beraliran deras,
"Ayo ngger lompatlah, Jangan khawatir jatuh, tenaga dan kecepatan Angger kan sudah meningkat jauh, tinggal mengaturnya untuk digunakan memberatkan kaki supaya tidak jatuh ke air" seru Mbah Hardjo.
"Hup" Tirta mulai melompat di batu pertama.. tidak jauh memang hanya kisaran satu meter, mudah saja , tapi ketika kaki sudah menginjak batu kali, terasa licin, dia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya dengan merentangkan kedua tangannya, segera dia mengayunkan kaki nya lagi untuk menjangkau batu kedua. Mbah Hardjo sudah melontarkan dirinya ke batu berikutnya yang berjarak hampir tiga meter. Tirta dengan mudahnya melompati batu kedua yang berjarak dua meteran.
Mudah lompatnya tapi ketika kaki dah menginjak batu, baru terasa kesulitannya, batu dengan kontur permukaan yang tidak rata dan licin!.
"Byur" terdengar suara air karena tubuh Tirta yang tercebur air sungai. Airnya tidaklah dalam tapi derasnya lumayan, namun dengan kekuatan Tirta yang sekarang . Tirta masih dapat menahan derasnya air untuk tidak terseret arus air sungai.
Mbah Harjo tersenyum melihatnya.
"Ayo Ngger coba lagi, atur kekuatan ke telapak kaki" saran Mbah Hardjo.
"Siap Mbah" teriak Tirta. dengan sigapnya Tirta Sudah melompat keatas batu lagi.
Dia berkonsentrasi mengarahkan kekuatan dan keseimbangannya untuk mencoba lagi. Mbah Hardjo kemudian berlompatan lagi dari satu batu ke batu laennya lagi.
Tirta mengikuti di belakangnya dengan susah payahnya, walau seringkali jatuh kecebur sungai beberapa kali, Tirta tidak patah arang. Mbah Hardjo terus memberikan semangat dan petunjuknya.
Tanpa terasa sudah tengah malam, lompatan-lompatan mereka sudah semakin cepat saja. Jika saja ada yang menyaksikannya pasti akan dikira hantu sungai yang main kejar-kejaran.
"Sudah Ngger, untuk hari ini sudah cukup. Kita pulang ke padepokan lagi."
"Iya Mbah, jawab Tirta."
Tanpa terasa mereka berlompatan hampir lima jam. Terasa angin malam yang dingin menerpa tubuh Tirta, bajunya basah kuyup sehingga menciptakan bayangan tubuhnya yang kurus dan ceking.Sedang Mbah Hardjo,,, pakaiannya masih kering tanpa terkena air setetespun!
Tirta memandang Mbah Hardjo dengan kagum.
"Mbah bajunya tidak basah sedikitpun, sedang aku basah kuyup gini Mbah",
Mbah Hardjo hanya tersenyum kemudian menanggapi,
"Nanti kedepannya Angger juga mampu melakukan nya.Ini kan baru pertama Ngger, masih ada latihan-latihan berat yang akan Angger jalani kedepannya"
"Iya Mbah, Tirta akan berusaha lebih giat lagi" mbah Hardjo kemudian mengajak Tirta pulang ke padepokan lagi. Mereka berjalan beriringan menuju padepokan .
Selama perjalanan Mbah Hardjo banyak memberikan arahan-arahan dalam mengerahkan dan mengatur tenaga dan juga menjaga keseimbangan tubuh.
Tanpa terasa langkah mereka sudah sampai di padepokan. mbah Hardjo segera masuk kedalam dan keluar dengan membawa teko berisi air putih.
"Ayo Ngger, minum dulu" iya mbah. Tirta segera mengambil teko dan menuangkan air putih kedalam cangkir dan segera meneguknya, begitu pula Mbah Hardjo.
"Bentar Mbah,, Tirta mau kasih kabar ke Ibu dulu kalo Tirta pulang terlambat."
"Silahkan Ngger'" jawab Mbah Hardjo. Tirta segera mengambil hape dan segera menelpon ibu di rumah.
"Beberapa kali di telpon nggak di angkat " keluh Tirta.. Akhirnya ketika hampir putus Asa,, ada terdengar jawaban dari sebrang,
"Malem malem belum pulang, Ibu dah khawatir" semprot Ibu.
"Iya bu, ini Tirta sudah selesai kok, dah mau pulang. Tirta gak nginep kok bu" Tirta buru buru menutup panggilan sebelum ibu mengomelinya lebih jauh.
"Angger ganti baju dulu.. ini ada baju kering Ngger, biar nggak masuk angin nanti. Walau agak lusuh masih pantas dipakai kok Ngger."
Mbah Hardjo segera menghampiri Tirta dan memberikan satu setel baju kering walaupun agak lusuh.Tirta segera mengambil baju dan memakainya lansung. Dia tidak perlu malu pada mbah Hardjo, sebab mereka sama sama laki-laki.
"Biar lah baju Angger ditinggal disini aja, kedepannya Angger kan harus berada disini. Kalo perlu angger minta ijin sama bapak ibunya Angger kalo mau Angger akan seringkali kesini bahkan menginap disini" Mbah hardjo mengemukakan sarannya.
"Tapi kalo Bapak ibunya Angger tidak setuju juga tidak apa-apa." tambah Mbah Harjo.
"Iya Mbah, Tirta akan minya ijin Bapak dan Ibu Mbah."
Setelah berganti baju yang kering mereka duduk-duduk di dingklik (kursi ) kayu jati panjang di teras pendopo sambil menikmati udara malam .
Mbah Hardjo mengeluarkan sebatang rokok dan menawarkannya pada Tirta,
"rokok ngger, ini lintingan Mbah sendiri, dari tembakau sendiri yang Mbah rajang sendiri."
pembungkus rokok ini dari daun Jagung ( klobot dalam bahasa jawa). Tirta tidak langsung menerimanya, dia masih ragu.
"Ini rokok apaan,, tampilannya Nggak menarik sama sekali!" batinnya.
Mbah Hardjo sepertinya tau keraguan Tirta.
"Ndak papa ngger ini rokok yang asli tidak ada tambahan apa apa tidak mengandung bahan " kimia" seperti rokok-rokok sekarang.. Bahkan rokok ini bisa menyembuhkan beberapa penyakit Ngger".
Tirta menerima rokok tersebut, kemudian Mbah Hardjo mengeluarkan lagu satu rokok dari kotak atau cepuk tempat dia menyimpan rokok, dan segera menyalakannya. Segera bau rokok menyebar memenuhi udara malam terlihat seperti asap kereta saja.
Tirta juga segera menyalakan rokoknya yang diberikan mbah Hardjo tersebut, segera dua sumber asap mengepul dengan derasnya..
"Uhuk,,uhuk uhuk uhuk.."Tirta terbatuk-batuk begitu menyedot rokok tersebut.." rasanya aneh mbah" gumam Tirta..
"Tidak apa-apa Ngger ,itu karena rokok ini rokok asli tanpa ada zat kimianya."
Tirta sendiri bukanlah perokok, karena di rumah Bapak sama sekali tidak merokok (udud) jadi jika ada yang ketahuan merokok pasti dimarahi Bapak dan Ibu. Akan tetapi karena pengaruh teman-temannya, Tirta sering kali mencuri-curi merokok diluaran. Seringkali juga Tirta ketahuan Ibu menyembunyikan rokok di kamarnya! .
Tirta melanjutkan rokok nya.. rasanya tidak cocok dengan lidahnya.. tapi diusahakannya untuk di habiskannya rokok itu, demi menyenangkan Mbah Hardjo.
"Tugas Mbah sebenarnya hanya menjaga padepokan ini Ngger, juga merawat kebun disekitar padepokan ini. Mbah mengabdi pada beliau sudah turun temurun dari orang tua Mbah, dan sekarang ini Mbah tinggal disini sendirian, istri mbah sudah , meninggal beberapa tahun yang lalu." Mbah Hardjo menghela napas panjang ketika menyebut nama istrinya. kemudian segera melanjutkan ceritanya
"Anak mbah ada 2 orang laki laki dan perempuan, usianya sudah 50 an yang perempuan, dia tinggal di luar daerah mengikuti suaminya. Sedangkan yang laki-laki usianya 45 an, seusia Bapak nya Angger". Mbah Hardjo berhenti sejenak karena rokok sudah habis, Sedangkan rokok ditangan Tirta sudah habis sejak tadi, soalnya dia ingin cepat cepat menghabiskannya.
"Nanti jika ada halangan dengan Mbah, anak Mbah yang akan membimbing Angger. nama anak mbah adalah" Damar" ". Tirta mendengar dengan seksama cerita Mbah Hardjo.
"Hari sudah larut Ngger, tadi Angger sudah janji untuk segera pulang kan? oh ya ini ada sedikit oleh oleh buat ibu Angger" .
Mbah Hardjo segera masuk kedalam bilik dan keluar dengan satu bungkus plastik besar.
"Ini Ketela pohon, Talas juga ada sedikit buah Nangka, bawalah ngger."
"Ahh ngerepotin Mbah aja" , sela Tirta.
"Tidak Ngger, ,, hasil kebun sekitar padepokan sangat berlebihan buat hidup Mbah dan keluarga Damar anak saya."
"Ya udah Mbah, Tirta pamit dulu,, sudah larut ," pamit Tirta.
"Jangan lupa besok kesini lagi ya Ngger, jangan bosan untuk mendalami kanuragan warisan leluhur Angger." Tirta mengagguk pelan " Iya mbah..
Setelah mengucapkan salam kemudian Tirta berjalan menuju ke Mushola kembali, dimana dia markir motornya disana. Sambil berjalan dia menengok kebelakang, dia penasaran dengan padepokan tersebut kenapa kemaren tidak terlihat dan dia sering lewat sini juga tidak pernah dijumpai bangunan joglo yang lumayan besar tersebut. ketika menengok kebelakang, alangkah terkejutnya Tirta, Bangunan padepokan tersebut kembali tidak ada, dia bingung ! padepokan sebesar itu kenapa bisa tidak terlihat dan hilang. Dia bertekad besok akan menanyakan hal ini pada Mbah Hardjoikoro.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
rajes salam lubis
mantap
2023-04-10
3
panji_anom
pribumi sekali.... like it
2023-02-16
0
ketombee
👍☕
2022-07-04
2