Tamu undangan dari berbagai belahan dunia, duduk pada tempat yang disediakan di lapangan peringatan perang, yang terletak di luar benteng Astapura.
Ditengah lapangan itu ada monumen khusus yang dibangun untuk mengenang pertumpahan darah putera Pandu dan Kurawa satu abad yang lalu.
Tampak para pemuka agama Hindu sedang melantunkan doa-doa untuk leluhur yang telah gugur pada pertempuran Bharatayudha.
Setelah doa dan puji-pujian dilantunkan ketua pemuka agama Hindu memberkati para Raja dan tamu undangan yang hadir agar di masa depan tidak terjadi lagi pertumpahan darah yang sama.
Sementara itu di luar wilayah peringatan perang, Siddarth beserta prajuritnya memacu kuda mereka mengejar prajurit Indrajaya yang datang mengacaukan upacara.
Suara meriam ditembakan ke udara dan suara tabuhan gendang mulai terdengar, pertanda doa telah selesai dibacakan sekaligus pertanda bahwa mereka harus semakin bergegas.
Prajurit Indrajaya yang dipimpin oleh ketua pemberontak bernama Ankush tiba di lapangan merah, sebelum menuju wilayah peringatan perang.
Konon dinamakan lapangan merah
karena tanah di lapangan itu, dipenuhi darah Kurawa.
Sejauh mata memandang tampak di hadapan Ankush, tumpukan karung yang berisi pasir yang cukup tinggi. Ankush menduga di balik tumpukaran karung tersebut bersembunyi prajurit Astapura.
“Tembak!” perintah Ankush kepada prajurit menembak.
Seketika terbentuklah formasi prajurit menembak, yang dilindungi oleh perisai prajurit tombak.
Ankush bersembunyi diantara perisai sambil mengawasi sekeliling lapangan merah.
Panah telah menghujam karung-karung tersebut dan isinya tumpah ruah, namun tidak tampak satu pun prajurit Astapura yang keluar dari persembunyian.
“Tahan!” teriak Ankush agar prajurit berhenti memanah.
Bersamaan dengan teriakan Ankush, panah berapi di tembakan ke arah karung-karung tersebut.
“Lari!” perintah Ankush pada prajuritnya setelah sadar isi dari karung-karung tersebut adalah bubuk mesiu dan panah berapi tersebut telah membakar bubuk mesiu dan meledakan separuh lapangan tersebut.
Prajurit Indrajaya di hadang oleh Siddarth dan prajuritnya yang telah berbaris rapi di belakang mereka.
Pertarungan sengit tidak terelakan.
Siddarth melawan Ankush berakhir dengan kekalahan Indrajaya, dan kepala Ankush dipenggal oleh Siddarth.
“Mundur!” perintah kepala prajurit setelah melihat Siddarth mengangkat kepala Ankush, pertanda pertempuran dimenangkan oleh Astapura.
Prajuri Indrajaya yang tersisa lari terbirit-birit meninggalkan lapangan merah.
Siddarth menggambil salah satu tombak menusukan pada kepala Ankush, lalu tombak tersebut ditancapkan di lapangan itu.
Suasana hari peringatan perang semakin meriah karena mereka menyangka bahwa bubuk mesiu yang diledakan adalah bagian dari acara puncak.
Semua hadirin bertepuk tangan. Raja Sri Narendra ikut bertepuk tangan merayakan kemenangan Astapura.
Acara berikutnya adalah tarian.
Gayatri dan Utari bergabung bersama penari utama. Kelincahan dan gerakan Gayatri yang gemulai menarik perhatian undangan, terutama Ibu Suri dan Istri Raja Sri Narendra.
Raja Daneswara ikut senang saat melihat Raja Sri Narendra tersenyum sepanjang tarian yang dibawakan puterinya. Gayatri semakin bersemangat setelah mendengar sorak-sorai undangan meneriakan namanya.
“Siapa wanita itu?” tanya Raja Sadewa dari Khasmir kepada penasihatnya.
“Puteri Gayatri, puteri Raja Daneswara dari Nusantara” bisik penasihatnya.
“Sayang sekali aku telah memiliki istri dan sepuluh selir,jika tidak aku akan memperistri Puteri Daneswara, hahahaha” ujar Raja Sadewa sambil tergelak.
Puteri Gayatri terus menari hingga musik berakhir.
“prok, prok, prok” semua hadirin bertepuk tangan.
Wajah Gayatri bersemu merah, sedangkan Utari menyenggol lengannya.
“Setelah ini kau akan jadi wanita paling dicari di seluruh Hindustan” Canda Utari yang membuat wajah dan telinga Gayatri semakin memerah.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments