Kami berjalan di padang rumput dan menetapkan operasi kami di hutan dan pegunungan. Kami bertarung jauh lebih lancar dari sebelumnya.
Kurasa kami sudah terbiasa. Pengumpulan tanaman herbal juga berjalan dengan baik.
Lalu kejadian itu terjadi.
Selama ini kami kebanyakan melawan monster lemah, namun monster yang lebih kuat muncul.
Seekor monster berwarna gelap ... seekor serigala? Direwolf. Itu sebutan untuk monster itu.
"Roarr!"
Direwolf itu menatap kami beberapa saat sebelum menyerbu kami sambil mengintimidasi dengan taringnya yang tajam.
"Awas!"
Mungkin berpikir dia lemah, serigala itu menargetkan Astia. Jadi aku berlari menuju Astia.
Buk!!
Aku menabrak dan menjatuhkan serigala itu. Aku mengunci pergerakannya.
"Kena kau! Astia tikam dia!"
"Ahh... aku..."
"Ada apa?"
"Tapi aku..."
Direwolf ini terus meronta-ronta, mencoba melepaskan dirinya dari genggamanku.
"Lakukan saja! Kalau kamu gak melakukannya, aku gak akan melindungimu lagi."
Tentu, kami menghabiskan banyak waktu bersama, dan menjadi lebih terikat, tapi aku masih butuh Astia untuk bertarung bersamaku. Kalau kami tidak melakukannya, kami berdua akan mati di masa depan kelak. Lebih baik bertahan hidup bersama daripada sendiri.
"Hiya!!"
Astia mengeluarkan teriakan seperti anak kecil dan menusuk direwolf itu terus menerus. Saat dia mencabut pisaunya, darah menyebur keluar.
Direwolf itu mati tergeletak di tanah. Astia melihatnya, dan kemudian terus menatap darah yang ada di pisaunya. Dia menjadi pucat dan terlihat dia seperti akan lari.
Dia sepertinya takut dengan monster buas.
Tapi kupikir tidak ada waktu untuk simpati. Kami harus melakukan hal yang seperti ini hingga ratusan kali atau ribuan kali.
"Rrrrr!"
Kawanan direwolf lain muncul dari semak-semak dan menyerbu ke arah kami berdua.
"Ah!"
Saat ini aku membantu Astia dan ikut menyerang serta melindungi Astia di saat sama.
"Kamu harus menjadi lebih kuat. Aku butuh kamu untuk membantuku."
"Tapi..."
"Kurang dari sebulan, sebuah monster kelas bencana dengan kehancuran yang besar akan datang melanda negara ini."
"Apa?!" Astia terkejut karena itu.
"Itu sebabnya kamu harus lebih kuat, jauh lebih kuat dari saat ini. Sebelum bencana itu datang, kamu dan aku harus menjadi cukup kuat untuk menghadapinya."
Astia mendengarku dan gemetar ketakutan.
"Kamu akan melawan monster itu."
"Ya, tidak ada pilihan lain. Karena itu aku di sini. Aku melakukannya bukan untuk kesenangan ... kalau kamu memikirkannya seperti itu, kamu dan aku sangat mirip. Aku tidak berada dalam posisi itu untuk mengatakan hal itu, karena akulah yang memaksamu. Kamu boleh sebebasnya membenciku, tapi setidaknya aku tidak ingin kamu mati.
"...."
"Jadi jangan beri aku alasan untuk melepaskanmu."
Dia kuberi kebebasan untuk berekspresi tentang diriku, jadi dia boleh membenciku atau menerimaku atau menganggapku keluarga ataupun mencintaiku. Karena perasaanya terhadapku juga merupakan dari tanggung jawabku padanya.
"Aku paham... tuan. Aku akan ... bertarung."
Wajahnya yang pucat perlahan-lahan mendapatkan kembali warnanya. Dia mengangguk, kemudian dia berpaling pada direwolf dan menikamnya menggunakan pisau yang berlumuran darah.
Astia tiba-tiba terlihat penuh tekad. Matanya teguh.
Direwolf itu tertebas di depannya. Astia menatapnya dan kemudian perlahan menutup matanya. DIa melangkah maju dan membetulkan pegangan pada pisaunya.
"Serahkan padaku yang di sana."
"Ya!"
Aku menghunuskan pedangku.
Ini adalah kenyataan, bukanlah sebuah permainan. Kalau aku bisa, aku akan berpaling. Tapi itu bukan pilihan.
Kami berhasil melumpuhkan tiga serigala, dan saat kami menghabisinya, serigala lainnya melarikan diri. Serigala itu lebih khusus daripada serigala kebanyakan, makanya mereka lebih buas daripada biasanya.
Beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa kawanan kelinci yang melintas di dekat kami setelah kami menghabisi para direwolf.
"Astia! tangkap beberapa dari mereka."
"Baik!"
Astia menangkap dua ekor kelinci. Disaat yang sama aku menguliti kulit direwolf ini. Sepertinya kulit ini bagus untuk dijual.
"Tuan, um, tolong ... jangan tinggalkan aku."
Astia menatapku dan memohon padaku, ekspresinya terlihat sedih. Dia pasti tidak ingin kembali ke penguasa budak yang bernama Giorgino itu.
Dia menangis di malam hari, masih sakit, dan terlihat kurus. Kalau aku tidak berhati-hati, dia mungkin akan mati, dan itu sangatlah buruk.
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku akan berada dalam keadaan yang sulit kalau Astia mati. Kepalaku pusing, sekarang waktunya untuk memikirkan bagaimana caranya membuat Astia lebih kuat.
Kemungkinan aku akan mengajarkan seni bela diriku padanya di sela-sela pekerjaan.
"Aku ingin membantumu, tuan."
Astia bertingkah seperti orang cerdas, menyerang dan membunuh para direwolf. Dia bahkan menyerbu untuk menyerang monster itu bahkan sebelum aku punya kesempatan untuk membantunya.
Itu bagus, bahkan jika itu tampak kasar.
Apa yang kulakukan bukanlah hal yang baik. Segalanya hanya untuk menjadikan Astia lebih kuat dan itu cukup egois.
Tapi aku memang benar-benar tidak mempunyai pilihan.
Kami memutuskan untuk menginap di hutan malam ini. Kami mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun. Kami jadi lebih terbiasa bermalam di hutan ini.
Aku mengambil beberapa tanaman herbal yang bisa dimakan dan merebusnya dengan daging kelinci untuk makan malam. Masih ada daging yang tersisa, jadi aku menusuknya menjadi sate dan memanggangnya.
Aku berencana kembali ke kota besok siang, tapi aku tidak yakin apakah kulit dari direwolf bisa dijual atau tidak.
Setelah memasak, aku mencicipinya. Seperti yang sebelumnya, dagingnya keras dan sedikit tidak berasa. Aku juga tidak memasukkan bumbu pemanis atau asin, jadi yah rasanya hanya begitu.
"Ini makanlah."
Aku menyerahkan semangkuk sup dan sate pada Astia.
"Nikmat sekali."
Perutnya bergemuruh, matanya berkilau saat dia menggigit makanannya. Dia memakannya seolah itu adalah makanan paling lezat di dunia.
Aku mengalihkan perhatianku pada pekerjaanku dalam meracik dengan penerangan api.
Dengan uang yang kuhasilkan dari obat, semoga saja aku mengupayakan agar kami bisa mendapatkan peralatan baru tanpa menggunakan uang yang diberikan raja.
Aku menghaluskan tanaman herbal menggunakan cobek serta penumbuk dan memerasnya ke dalam tabung. Aku membuat resep yang kutahu.
Aku mencapai akhir dari kegunaan peracikan. Selain itu kedua resep itu adalah yang kukuasai melalui keberuntungan. Aku juga kehabisan bahan.
"...Uhuk."
Aku memberi Astia sebotol obat dan dia meminumnya dalam diam.
"Kita akan bergantian menjaga apinya. Kamu bisa duluan dan aku akan membangunkanmu kalau sudah giliranmu."
"Baik."
Astia sungguh penurut dan jujur. Dia bertindak seperti orang yang benar-benar berbeda saat kami bertemu.
"Selamat malam."
"Ah... Ya, malam. Oh hei, kita akan menjualnya besok jadi kamu bisa tidur pakai selimut domba mumpung kita masih punya."
Sambil memasak, aku menggunakan api untuk mengasapi kutu dari selimut itu, dan aku memberikannya pada Astia. Selimut itu kuperoleh sebelum aku datang ke hutan ini. Selimut ini tidak terlalu tebal, tapi seharusnya itu cukup hangat.
"Baik."
Dia mencium bulu domba itu.
"Apa diasapi?"
"Ya, ini bau asap."
"Kurasa begitu."
"Pakai ini, kurasa ini cukup hangat untukmu."
Astia duduk dan bersandar pada punggungku. Lalu dia memejamkan mata.
Aku terus berlatih meracik dan kemudian melamun, dan menjaga apinya. Menunggu teriakan rutin Astia, aku sudah terbiasa karena itu. Setidaknya, kami harus menjalani kehidupan seperti ini selama beberapa minggu kedepan.
Di hari ketiga sejak bertemu Astia, aku semakin baik dalam penanganan.
"Hmm...?"
"Sudah bangun?"
Loh Astia tidak menjerit.
Oh jadi begitu. Punggungnya bersandar padaku saat dia tidur, jadi kehangatan itu telah membuatnya lebih baik. Kalau dia bisa tidur dan menyentuh orang lain, mungkinkah dia akan baik baik saja?
"...Aku lapar."
Bukannya tadi dia sudah makan, ya? Apa dia kelelahan jadi tenaganya cepat terkuras?
"Ini buatmu."
Aku memberinya daging panggang yang tersisa, yang rencananya akan kusimpan untuk nanti sarapan.
"Baiklah, giliranku tidur. Bangunkan aku jika terjadi sesuatu."
"Mmm."
Astia mengangguk saat dia mengigit daging itu.
Aku senang bahwa dia lebih bahagia daripada biasanya dia biasanya, tubuh juga lebih normal dan tidak kurus lagi.
Kami bertukar giliran tidur dan tidak lama setelahnya pagi menjelang.
....
Saat siang ada masalah baru.
Kami sedang berburu kelinci yang bermata merah dan bergigi runcing. Mereka disebut kelinci mata merah.
"Ah..."
Pisau Astia yang kuberikan telah retak.
"Ini pakailah."
Aku menjulurkan pisau cadangan milikku saat aku menguliti kelinci tadi malam. Astia mengambilnya dan memburu kelinci mata merah kembali.
"Aku sungguh minta maaf."
"Gapapa. Semakin lama barang digunakan pasti akan rusak juga. Pisau itu patah bukan salahmu dan bukan masalah besar."
Pisau itu murah dan aku juga tidak pernah mengasahnya.
"Ayo balik ke kota."
"Baik, tuan."
Kami sudah memperoleh banyak barang. Setelah membagi barang bawaan, kami berjalan menuju kota. Sesampainya di kota, kami menjual semua barang jarahan dan obat-obatan, dan berhasil mendapatkan 70 keping perak.
"Aku penasaran apa yang terjadi?"
"Pisaunya maksudya?"
Aku dan Astia makan di kedai pinggir jalan.
Kami menghasilkan uang yang cukup untuk bertahan hidup dari hasil kerja keras kami. Kalau aku memasak daging kelinci, kami bisa makan gratis. Itu bisa mengurangi sedikit masalah.
"Ayo pergi ke toko senjata."
"Ya."
Kriiuuk...
Aku mendengar suara dari perut Astia.
"Aku lapar."
"Lah, bukannya kamu baru saja makan?"
Apa ini pubertas atau apalah. Berapa kali dia butuh makan dalam sehari?
"Beri kami peralatan terbaik dengan harga 65 perak dan sebuah pisau juga."
Si pemilik toko senjata menepuk jidatnya.
"Kurasa aku juga salah memberimu senjata murah seperti itu ... tapi kau harus merawat senjatamu."
"Maaf, aku menggunakannya seolah senjata itu seperti senjata milikku pribadi. Tindakanku buruk, huh." Aku menghela napas.
Mungkin karena perburuan dengan monster lemah yang memiliki darah, itu bisa memengaruhi pisaunya. Diatas semua itu, kami tidak pernah membersihkan ataupun mempertajam pisaunya, jadi membuat pisaunya semakin cepat rusak.
Tapi hal lain dengan pedang panjang milikku. Pedang ini dilapisi dengan semacam hal khusus yang membuatnya bertahan dari semua itu, lagipula harga pedangku lumayan cukup mahal.
"Tapi kau tahu, baru tiga hari sejak terakhir aku melihat kalian. Kalian terlihat jauh lebih sehat."
"Begitukah?"
Astia tersenyum. Aku tidak tahu apa yang mau dikatakan si pemilik toko senjata itu.
"Hm? Kau kelihatan senang juga."
"Memang!"
Ini saatnya untuk tawar menawar. Sepertinya pemilik toko keadaan hatinya sedang bagus.
"Hei, carikan senjata yang seharga 65 perak."
"Gimana denganmu?"
"Aku sih tidak usah."
"Sungguh?"
"Apa aku terkihat butuh sesuatu? Astaga..."
Dalam pertarungan yang sudah kami lalui, aku belum pernah terluka sedikitpun. Au hanya mengajari teknik menghindar dan menyerang pada Astia.
"Aku bisa hanya dengan melihatmu. Kau sepertinya memiliki kecerdasan yang tidak biasa yang kau sembunyikan."
Si pemilik toko memicingkan matanya terhadapku, dia seolah menginterogasi setiap gerakanku. Tapi dia tidak akan menemukannya sedikitpun.
"Aku anggap itu sebuah pujian."
"Nah sekarang..."
Pria itu mengelus dagunya saat dia menatap Astia.
"Mungkin sudah saatnya kau move on dari pisau. Apa kau sudah siap memakai pedang."
"Apa menurutmu aku bisa menggunakannya."
"Sepertinya kau cocok menggunakannya. Mungkin harus dimulai dengan sebuah pedang pendek."
Pria itu ke sudut toko dan menggeledah sebuah kotak.
"Huh."
"Aku akan memakai pedang?" Astia bertanya padaku.
"Kurasa begitu."
Pria itu kembali, dan dia membawa sebuah pelindung dada kulit.
"Ini sebuah pedang besi pendek, dan sebuah pelindung dada terbuat dari kulit."
Pria itu menyerahkan pada Astia dan memasangkan pelindung dada pada pakaian Astia.
Disaat yang sama, suara gemuruh keras terdengar dari perut Astia. Wajah Astia memerah karena malu.
"Oh ya aku lupa."
"Gimanapun dia juga dalam masa pertumbuhan, kan? Dan kau harusnya sudah mengetahuinya saat kau bersamanya."
"Yah, aku tahu itu. Kalau begitu kamu tetap di sini dan dengar penjelasannya. Aku akan mencari makanan, oke?"
"Ya, aku akan menunggumu." Kata Astia.
Pria itu tertawa saat mendengar percakapan aku dengan Astia.
"Baiklah, pergi sana. Aku akan mengajari dia dasar-dasarnya saat kau pergi."
Aku meniggalkan toko senjata dan pergi kepasar.
Disaat aku menuju pasar, masalah tiba-tiba muncul.
"Yo! Yuuki."
Ellena berpas-pasan denganku di jalan. Kenapa aku harus menemuinya saat ini, akhh! Dan juga aku tidak sadar dengan keberadaan dia lagi!
Aku terus jalan dan tidak mendengarkan ocehannya.
"Hei, Yuuki. Apa kau mendengarku?" Ellena terus mengikutiku.
Akan menjadi masalah jika dia menggodaku di saat seperti ini.
"Huh~" Aku menghela napas. "...Jadi apa maumu sekarang?"
"Ah, tidak, aku hanya bosan saat ini. Jadi aku memutuskan keluar rumah, lalu aku beruntung bertemu denganmu."
"Aku tidak sependapat denganmu. Apa aku hanya alat untuk kepuasan dirimu yang bosan itu, huh?"
"Oh ayolah Yuuki, tidak usah malu-malu begitu."
Dia menepuk bahuku seolah dia teman sejatiku saja.
"Jadi, kamu mau kemana saat ini?"
"Biasa saja, aku hanya ingin pergi membeli makanan."
"Baiklah aku akan ikut denganmu."
"Hah?!"
Aku terkejut dengan perkataanya. Aku benar-benar tidak ingin ada yang mengangguku hari ini, tapi saat aku membeli makanan, Ellena terus melontarkan banyak pertanyaan, tentang ini itulah. Tidak ada yang masuk akal dengan pertanyaannya. Aku terpaksa menjawabnya untuk dia puas, agar dia tidak mengikutiku untuk hari ini.
Tapi dia malah terus mengikutiku. ******.
Aku membeli beberapa makanan dan kembali ke toko senjata bersama Ellena. Si pemilik toko sedang mengajari bagaimana menggunakan pedang baru miliknya.
"Ngerti?"
"Makasih!"
Ellena masuk ke toko senjata mengikutiku, lalu dia memasang wajah terkejut saat melihat Astia.
"Tidak kusangka budak yang saat itu kita selamatkan bisa secantik ini."
"Makasih." Astia memasang seyum kecut di wajahnya.
Lalu Astia memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan si pemilik toko terus berbicara tentang bagaimana mengayunkan pedang, dan bagaimana caranya menghindari serangan.
Yang sudah diajarkan oleh pemilik toko, sudah pernah kuajarkan pada Astia. Jadi mungkin Astia akan lebih mengerti saat dijelaskan olehnya, tapi kita juga tidak bisa berpatokkan pada buku terus menerus.
"Kau mau mempelajari ini?" Kata si pemilik toko.
"Tidak, aku nonton saja."
"Ya, kemmapuanmu cukup tinggi jadi tidak masalah. Tapi kalau kau kehilangan keseimbanganmu, kau akan berada dalam masalah serius."
Kata si pemilik toko, dan dia menyelesaikan pengajarannya. Aku menyerahkan pembayarannya, lalu pria itu memberiku batu hitam kepadaku.
"Apa ini?"
"Itu adalah sisa dari batu obsidian. Ada pedang yang terbuat dari material itu, dan pedang itu akan menjadi kelas yang sangat tinggi kalau dibuat."
"Jangan bilang..."
...Lapor. Itu adalah batu obsidian yang berguna menambahkan bijih mentah ke dalam sebilah pedang....
Tiba-tiba master bereaksi terhadap hal ini.
Meski begitu, kurasa sisa batu ini tidak cukup material untuk menambahkan.
...Benar. Itu dikarenakan untuk membuat sebilah pedang dibutuhkan setidaknya 2 kilogram untuk membuatnya....
"Jadi begitu..."
Ada begitu banyak bijih mentah yang bisa digunakan untuk menambahkan material untuk sebuah pedang. Tapi permasalahannya bukan untuk membedakan namun menggunakannya dalam kombinasi dengan bijih besi dalam penggabungan.
"Hey, mas. Memangnya kau bisa membuatnya?"
"Oh kau meremehkanku ya. Yah, jika kau mempunyai material yang cukup untuk penggabungan, aku sih tidak masalah.
"Begitu ya."
Ellena masih terdiam saat melihat pembicaraan kami. Dia terlihat tenang saat kami membicarakan sesuatu yang serius. Apa jangan-jangan otaknya tidak sampai?
"Baiklah, ayo pergi."
"Sudah mau pergi?"
"Ya."
Aku menepuk bahu Astia dan berjalan ke pintu.
Kami harus fokus pada peningkatan kemampuan dan kemudian mengamankan cukup makanan untuk menenangkan perut Astia.
"Emmm."
"Apa? Kalu lupa sesuatu?"
Dia bersandar di konter seolah dia tidak mau direpotkan oleh pertanyaan lagi."
Aku menggelar peta dan menunjuk desa yang dikatakan Ellena, dan menanyakan kepada pemilik toko.
"Desa itu tidak banyak penduduk, dan jalan menuju ke sana dihuni oleh monster yang serupa dengan dungeon tersebut, tidak seperti yang ada di hutan."
"Oke, bagus. Aku akan ke sana."
Kami harus meningkatkan kemampuan dan menghasilkan uang, sebelum hari yang diramalkan tiba.
"Jadi, setelah ini kau akan pergi kemana, Ellena?"
Ellena terdiam memikirkan sesuatu.
"Ah, sepertinya aku ada urusan penting saat ini. Jadi setelah urusanku selesai, aku akan menunggumu di depan gerbang kota."
"Baiklah kalau begitu... Kalau Raja Azaka panggil aku, beritahu aku ya."
"Oke."
Sepertinya Raja Azaka berharap lebih kepadaku, jadi kuprediksi kalau dalam waktu dekat dia akan memanggilku. Itulah sifatnya yang kuketahui.
Kami berpisah di toko senjata dan pergi ke desa itu.
****
Huh panjang juga. Terima kasih telah membaca chapter ini. Tapi masih ada lanjutannya dari chapter ini di chap selanjutnya
Jadi tunggu aja ya.
Kalau ada typo atau kesalahan kata mohon maaf ya
Dah gitu aj. Arigatou.
Assalamu'alaikum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments