Chapter 5.1

Kami pergi ke toko senjata, dan si pemilik toko bersandar pada meja konter dan menyambut kami saat dia melihatku masuk bersama Astia. Aku hanya mau kekuatan yang bisa mendukungku, itu saja. Kalau Astia tidak ada perlengkapan, tidak ada gunanya semua ini.

"Beri aku senjata yang bisa dipakai perempuan ini. Harga dibawah 10 perak."

"Hmm. Hanya 10 perak, kan?"

"Ya. Apa kau punya pakaian atau jubah juga?"

"Tentu, kau boleh memilikinya secara gratis."

Si pemilik toko bergumam pelan saat dia meletakkan beberapa pisau di meja konter.

"Dengan angaranmu, inilah yang bisa kau dapatkan."

Dari kanan ke kiri ada pisau perunggu, pisau baja dan pisau besi.

Sepertinya harganya berubah berdasarkan tipe penggunanya ya.

Aku menyuruh Astia memegangnya dan kemudian memilih yang kupikir paling cocok untuknya.

"Yang ini."

Astia terlihat pucat saat memegang pisau di tangannya. Dia menatap si pemilim toko lalu menatapku.

"Dan ini pakaian serta jubahmu." Si pemilik toko melemparkan pakaian itu kepadaku sebelum menuntun kami keruang ganti.

Aku memberi Astia pisau serta pakaian itu dan menyuruhnya masuk. Dia masuk ke dalam dan terbatuk sepanjang waktu saat dia bersamaku.

"Kau harus mandi."

Ada sungai mengalir di padang rumput. Sungai itu mengalir melewati negara terpecah menjadi tiga anak sungai, dan aku pernah melihat sungai itu baru-baru ini. Ada ikan di sungai itu, dan jika aku bisa menangkap ikan di sana, aku bisa menghemat pengeluaran uangku untuk makan.

Aku bisa meminjamkan kamar mandi untuk Astia, tapi kamarku untuk satu orang aja. Apa aku harus gantian dengan Astia?

Astia selesai ganti baju dalam hening dan segera berlari ke arahku. Tentunya jika dia tahu kalau membangkang, dia hanya akan menghasilkan penderitaan yang lebih untuknya.

Aku mengawasinya, duduk dan mulai berbicara.

"Baiklah, Astia, ini senjatamu. Kuharap kau mulai sekarang menggunakannya dan membantu untuk melawan monster. Apa kau mengerti?"

Aku hanya ingin dia membantuku dengan mengasah kemampuan Astia lebih lanjut.

Dia terus mengarahkan tatapan penuh ketakutan padaku dan mengangguk.

"Baiklah kalau begitu. Kuberikan pisau ini padamu..."

Aku berdiri, mambuat jarak dari Astia.

"Sekarang, Asria, serang aku."

"Ehhhh?!"

Astia mengeluarkan jeritan kaget dan tampak terkejut sampai-sampai dia hampir menjatuhkan pisaunya.

"Aku... Uh..."

"Itu perintah. Lakukan."

"Aku... Tidak."

Dia terus menggelengkan kepalanya. Tapi dia adalah budak, dan ada sihir yang akan menghukum dia untuk pembangkangan.

"Ugh..."

"Lihat itu? Kalau kau tidak menyerangku, kau lah yang tersakiti."

Dia terbatuk lagi.

Wajah Astia menampilkan kesakitan, tangannya gemetar ketakutan. Dia membetulkan pegangan pisaunya.

"Kau..." Gumam pemilik toko dari meja konter.

Astia menenangkan diri, memberanikan dirinya, dan menyerangku dari depan.

"Seranganmu lemah, berusahalah lebih cepat!"

"...?! Tapi."

Astia mundur setelah melakukan percobaan pertama. Serangannya mudah terbaca buatku.

Pulih lagi, dia memperkuat pijakannya dan menerjang ke depan untuk menyerang kembali.

Serangan Astia seperti asal-asalan, tapi itu cukup kuat untuk melukai seseorang.

"Cukup." Aku memberhentikan gerakan Astia, memegang tangannya saat dia menyayat udara.

"Bagus."

Aku mengelus kepalanya, ini apresiasiku padanya karena telah mencoba sekuat tenaga. Dia menunjukkan ekspresi terkejut sebagai tanggapannya.

"Sepertinya kau sudah bisa. Kalau begitu ayo mulai."

"...Uhuk."

Dia terbatuk lagi. Sepertinya dia masih sakit. Apa aku terlalu memaksanya?

"Oh ya aku lupa."

"Apa?"

Si pemilik toko menatapku.

"Jagalah perempuan itu, sepertinya kau akan menjalani kehidupan yang berat."

"Terima kasih."

Kami meninggalkan toko dan pergi menuju padang rumput. Astia tampak terkejut dengan semua toko yang berjajar. Dia memegang tanganku saat dia berjalan dan melihat ke kanan dan kiri. Saat kami berjalan di kota, kami berhenti saat mencium aroma lezat di udara.

Aku masih mempunyai banyak uang . Kalau dipikir-pikir aku sangat lapar.

Aku bisa mendengar perut Astia bergemuruh, aku menatapnya, dan...

"Ah!"

Dia segera menggelengkan kepalanya, membantah perutnya bergemuruh. Buat apa coba?

Aku butuh Astia untuk menjadi kuat. Tidak ada gunanya membeli pisau kalau tidak menajamkannya. Kalau Astia lapar, dia tidak bisa bertarung dengan baik.

Aku melihat sekeliling, mencari tempat yang murah untuk makan. Lalu kami menemukannya, dan masuk ke dalamnya.

"Ayo masuk."

Tempat itu agak ramai, dan pelayan tampak kebingungan saat dia memandu kami ke tempat duduk. Saat kami berjalan ke meja, Astia melihat sebuah keluarga sedang makan di ruangan itu.

Astia menatap mereka. Ada anak-anak sedang memakan makanan anak-anak, mungkin. Dia menatapnya penuh rasa iri.

Jadi itu yang dia inginkan ya, ternyata begitu. Kami duduk dan aku membuat pesanan.

"Tolong makanan murah untukku, dan dia mau makanan seperti yang dimakan anak kecil di sana."

"Apa?!"

Astia terkejut. Apa yang membuatnya terkejut? Apa karena umurnya mungkin setahun lebih muda dariku, jadi dia tidak ingin makanan anak-anak?

"Baik tuan. Semuanya 10 keping tembaga."

"Oke."

Aku memberinya satu keping perak dan menerima kembalian. Kami menunggu makanandalam diam, dan Astia menatap sekeliling restoran ini. Aku melihat beberapa orang duduk di meja mengarahkan tatapan mereka ke arahku sambil berbisik-bisik.

"Ke...kenapa?"

"Hm?"

Astia mengatakan sesuatu, jadi aku menatapnya. Dia menatapku dengan ekspresi bingung di wajahnya. Dari tadi apa yang dia khawatirkan?

"Kau kelihatannya ingin memakannya. Apa kau mau sesuatu yang lain?"

Dia menggeleng.

"Bagaimana bisa anda ... memberiku makan?"

"Sudah kubilang, kau terlihat ingin memakannya."

"Tapi."

Aku tahu dia membenciku, tapi dia juga sedikit keras kepala.

"Pokoknya, makanlah biar punya tenaga. Kalau kau berjalan-jalan sekurus itu, kau bisa mati karenaku."

"Makanan datang, silahkan." Kata si pelayan membawakan makanan. Dia menyajikan makanan anak-anak di depan Astia dan sebuah hidangan di depanku.

Astia masih menatap makanannya.

"Apa kau gak mau makan?"

"Bolehkah?"

"Iya."

Apa dia akan selalu minta izin untuk melakukan sesuatu yang harusnya dia lakukan? Dia kelihatan tenang saat ini, tapi setidaknya dia harus mendapatkan nutrisi agar dia tidak sakit-sakitan.

Umurnya mungkin setahun lebih muda dariku, tapi perilakunya seperti anak-anak saja. Apa dia tidak pernah mendapatkan kebebasannya saat dia bersama orang itu?

Dia ragu sesaat sebelum akhirnya dia memakannya dengan tangan kosong.

Terasa bisikan di sekitar semakin parah, tapi itu bukanlah sesuatu yang harus kukhawatirkan. Astia menjilati jari-jarinya setelah menghabiskan porsinya.

"Gimana rasanya?"

"Enak sekali!"

Aku makan siang bersama Astia dan berpikir mau kemana kami selanjutnya.

Kami selesai makan, meninggalkan restoran, dan berjalan menuju padang rumput.

Astia sedang dalam suasana hati yang bagus, dia sedikit menyanyikan sebuah lagu saat kami berjalan. Tapi saat kami meninggalkan kota dan sampai di padang rumput, dia gemetar ketakutan.

Dia pasti takut dengan monster.

"Jagan takut. Aku akan melindungin dari para monster itu."

Astia terlihat kebingungan lagi.

"Lihat. Aku bahkan dengan mudah mengatasi seranganmu itu tadi. Gak sakit sama sekali."

"Itu tidak sakit?"

"Sama sakali gak sakit."

Yah, kena aja enggak apalagi dia menyakitiku.

"Ayo pergi."

"Baik... Uhuk!"

Dia batuk sepanjang hari, tapi saat ini aku harus menyelesaikan urusanku. Kami sedang mencari tanaman-tanaman herbal yang bisa ditemukan di hutan.

Ada satu!

Tidak ... ada kawanan kelinci. Mereka ada di semak-semak pinggir hutan. Kelinci itu memiliki gigi runcing dan mata merah. Sepertinya itu tipe monster yang lemah, atau mereka hanya kelinci biasa? Aku mengatakan pada Astia untuk berhati-hati dan menarik perhatian kelinci itu. Segera setelahnya, mereka menyerangku.

Tapi itu tidak berdampak apa-apa bagiku.

"Tikam mereka dari belakang, Astia!"

"...Baik!"

Astia menyerbunya dan menikamkan pisaunya pada kelinci itu.

Diakhir pertarungan, kami mengambil dua kelinci untuk dibawa pulang.

"Bagaimana ... siapa anda sebenarnya, tuan?"

"Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang murid dari sekolah menengah biasa."

Yah, tidak ada salahnya memberitahu dia juga.

"Murid sekolah? Apa maksud anda itu mengenai tentang belajar?"

"Iya. Kau tahu tentang itu?"

Astia mengangguk. Tapi itu tidak salah, aku hanya murid biasa yang tiba-tiba kelempar ke dunia ini.

"Pokoknya rencana hari ini adalah mengalahkan monster-monster yang ada di hutan ini. Aku akan menahan mereka, lalu kau yang menikamnya."

"B-baik."

Kata Ellena di hutan ini hanya monster-monster lemah, jadi aku tidak terlalu khawatir bertemu monster yang kuat. Astia juga sudah terbiasa denganku. Dia lebih cepat menjawab daripada biasanya.

Kami terus berjalan di hutan, dan setiap kali kami bertemu musuk, aku menari perhatian mereka, menahannya dan Astia yang menyerangnya dari belakang. Setidaknya sedikit demi sedikit ini akan meningkatkan kemampuan Astia.

Kami juga mengambil tanaman herbal serta kayu kering untuk berjaga-jaga, dimasukkan ke tasku.

Semoga aku bisa meracik sebisa mungkin nanti.

Malam datang, kami meninggalkan hutan dan menuju tepi sungai.

"Uhuk..."

Astia, tidak mengeluh sedikitpun, dan bersamaku sepanjang waktu. Kami menghabiskan beberapa waktu berfokus untuk mengumpulkan tanaman herbal, kemudian kami sampai di sungai. Aku membuka tas, mengeluarkan kayu bakar dan menyerahkan pada Astia. Dia menumpuk kayu dan menyalakan api.

"Basuhlah tubuhmu sedikit. Kalau kau kedinginan, kau bisa menghangatkan diri di dekat api."

"Baik."

Astia melepaskan pakaiannya, kemudian membasuh tubuhnya. Aku mulai menguliti kelinci yang baru kuburu tadi, dan menyiapkan makan malam. Tidak ada monster di tempat ini, jadi semuanya tampak aman.

Aku tidak kembali ke penginapan karena hutan ini dengan ibukota lumayan jauh dan malam sudah tiba, jadi berbahaya jika kami berkeliaran saat malam. Aku juga ingin melatih diriku di alam liar dan memutuskannya di tempat paling aman yaitu di tepi sungai.

Aku mulai mengumpulkan barang yang kudapatkan hari ini. Kami punya tanaman obat dan tanaman yang kurasa tidak bisa ditemukan di padang rumput.

Ini pertama kalinya untukku. Sepertinya berburu bersamanya jauh lebih efisien. Membeli budak adalah hal yang bagus.

Aku mencoba meracik, mencoba mengingat resep yang mudah. Aku juga sedikit dibantu oleh master. Aku menemukan sebuah resep yang bisa dibuat menggunakan herbal yang kumiliki.

Adapun bahan-bahannya menggunakan batu dari sungai. Aku menggilingnya dengan batu.

Spesialis obat-obatan di duniaku mengerjakan sesuatu yang tampak dibuat dari material kumiliki saat ini, tapi ini jauh lebih kuno. Jadi aku menirukan apapun yang bisa kuingat.

Sepertinya ini akan berhasil.

...Lapor. Obat pemulihan telah dibuat....

Kualitas obat pemulihan ini memungkinkan akan efektif ketika segera dioleskan pada permukaan luka.

Jika aku mengumpulkan beberapa kombinasi lain yang tidak kuketahui resepnya, dan main asal saja, hasilnya pasti akan berakhir gagal dan menjadi tumpukan sampah.

Aku bisa mendengar derak kayu dalam api. Astia sudah selesai dan menghangatkan diri di dekat api.

"Sudah hangat?"

"Iya. Uhuk..."

Dia pasti mengalami suatu jenis flu. Bukankah aku baru saja membuat obat? Aku gak mau dia sakit karenaku. Mungkin bukan pilihan cerdas untuk memberikan sumber daya milikku, tapi tidak ada pilihan lain.

"Ambil ini."

Aku juga membuat obat yang bisa diminum. Jadi aku tidak tahu apakah flu itu ringan, tapi hanya ini yang kupunya.

"Tapi itu sakit, jadi ... ugh..."

Si pendiam ini mencoba mengatakan sesuatu yang egois. Tapi kalau dia tidak minum obat, mungkin dia akan lebih sakit.

Dia meraih dadanya kesakitan.

"Lihat kan?"

"Y-ya, baik."

"Nah, gitu dong."

Aku mengusap kepalanya, dia tidak mencoba menghentikanku.

Rambutnya begitu lembut. Aku menatapnya, dan keningnya mengerucut, seolah dia mengatakan, "Apa yang kau lihat?"

"Baiklah, waktunya makan malam."

Aku menusuk daging kelinci yang sudah kupotong pada sebuah tongkat, memanggangnya dan memberikan pada Astia.

Aku mencicipinya juga. Uh, dagingnya keras, aku juga tidak melembutkannya.

Tapi aku terkejut saat Astia melahapnya dengan rakus, mungkin dia sangat kelaparan sampai-sampai tidak menyadari kalau daging ini keras.

Aku kembali meracik. Jika pekerjaan sulit sudah kukuasai, pasti aku akan menyukainya. Matahati sudah terbenam sejak lama, dan segala sesuatu tertelan dalam kegelapan. Aku melanjutkan pekerjaanku di dekat api.

Setelah Astia selesai makan, Astia menatap api, terpesona. Dia terlihat mengantuk.

"Tidur saja kalau ngantuk."

Dia menggelengkan kepalanya.

Apaagi sekarang? Dia seperti anak kecil yang gak mau tidur. Tapi sepertinya di usia inilah Astia punya sikap pemberontak ya. Aku tidak menutup kemungkinan itu dan memakluminya. Lama-kelamaan dia juga bakal tidur juga.

Aku melanjutkan meracik selama beberapa saat dan kami sudah mengumpulkan banyak bahan hari ini.

Astia sudah tertidur, namun secara tiba-tiba mulai berbicara. "Tidak... Tidak ... tolong." Dia bermimpi buruk.

"Tidak! Tidaaak!"

Suaranya semakin membesar dan bernada tinggi bergema ditelingaku. Ini buruk. Gimana kalau jeritannya menarik monster? Aku berlari mendekat dan membungkam mulut Astia dengan tanganku.

"Ti...!"

Tetap saja, jeritannya masih menembus melewati jari-jariku.

"Tenanglah! Astia!"

Dia menjerit, tapi masih tertidur. Aku mengangkatnya dan memeluknya untuk menenangkannya.

"Tidaak! Ayah ... ibuu..."

Astia memanggil orang tuanya. Air mata berlinang di wajahnya. Dia mengulurkan minta tolong. Aku tidak tahu seperti apayang dia alami sebelumnya, tapi sepertinya dia mengalami trauma berat oleh perpisahan dengan orang tuanya.

"Tenanglah ... kau baik-baik saja."

Aku mengusap punggung Astia, berusaha menenangkannya. Dia menangis tersedu-sedu. Aku memeluknya dengan erat.

"Rrrrgh."

Seekor serigala muncul, tertarik oleh jeritan Astia.

"Ya ampun..."

Sungguh waktu yang tidak pas.

Aku menghunuskan pedangku dan berlari ke arah serigala itu.

"......!!"

...****...

"Sudah pagi?"

Semalam adalah malam yang berat untukku. Setelah aku menghabisi serigala, tangisan Astia mulai mereda. Tangisannya menjadi semakin keras kalau aku menjauh dari Astia. Lalu saat tangisannya menjadi keras, serigala muncul kembali. Jadi aku ngantuk banget.

"Um..."

"Kau sudah bangun?"

"Ahh?!"

Astia terkejut mendapati dirinya ada dipangkuanku, dan matanya melebar karena terkejut.

"Ah, sungguh melelahkan." Aku menghela napas berat karena kelelahan.

Masih ada waktu sebentar sebelum gerbang kota dibuka. Setidaknya ada waktu untuk aku tidur.

Pekerjaan kami hari ini adalah menjual obat yang sudah kubuat dan tanaman obat yang sudah kami kumpulkan. Kalau tanaman obatnya terjual lebih baik daripada obat itu sendiri, maka tidak ada gunanya membuat obat. Tapi aku yakin kalau petunjuk master tidak akan sia-sia.

"Aku mau tidur sebentar. Bisakah kamu memakan sisa daging kelinci tadi malam untuk sarapan?"

Astia mengangguk pelan.

"Baiklah kalau begitu. Kalau ada monster mendekat, bangunkan aku."

Sangat sulit untuk mataku terbuka. Aku merasa diriku dikuasai rasa ngantuk yang berat dan tertidur.

Apa yang dia takutkan? Aku gak berencana menanyai dia. Itu mungkin orang tuanya menjualnya atau dia diculik.

Tapi, kalau dijual oleh orang tuanya itu sih tidak mungkin, dia sangat cantik bukan. Bahkan jika kejadiannya diculik oleh Gio itu, aku tidak akan mengembalikannya. Ini tidak seperti aku yang menculiknya atau apa. Dia boleh membenciku, tapi aku harus bertahan hidup dan mencari cara bertahan dari kejamnya dunia ini.

****

Fuh~ Kasihan juga Astia. di umur yang masih remaja dia sudah mengalami ujian yang berat seperti itu:)

Tapi tengkyu yang udh baca dan mengikuti story ini sampai sekarang. Klo ada kata yang tidak tepat atau typo mohon dimaafkan.

Dah gitu aj. Arigatou

Assalamu'alaikum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!