Chapter 6 : Kau adalah Milikku

Matahari sudah tinggi di langit saat aku bangun. Astia menungguku.

"Apa kita akan kembali ke kota? Uhuk..."

"Ya."

Dia terbatuk lagi. Aku memberinya obat dan Astia menelan obat itu dalam diam.

Kami pergi ke toko obat dan mencoba menjual obat-obatan kami.

"Yah ini tidak buruk. Tuan, apa kau punya pengalaman dalam obat-obatan?"

"Um, tidak. Kemarin adalah pertama kalinya aku mencoba. Apa lebih menguntungkan menjual obat ini atau menjual tanaman obat secara langsung?"

"Kalau lebih efektif, obat lebih mudah digunakan, dan karena itulah mungkin lebih mudah untuk dijual."

Si pemilik toko menatap Astia. Dia lebih tenang dan kalem. Dia berbicara langsung dan sederhana, seolah dia tahu aku akan meragukan penilaiannya kalau matanya jelalatan diruangan itu.

"Saranku menekankan pada harga obat, jadi mungkin akan lebih menguntungkan untuk menjual obat."

"Hmm."

Itu akan bergantung pada resiko yang terlibat dalam peracikan, karena dalam beberapa presentasi dari upaya tentu akan berakhir dalam kegagalan. Itu salahku. Aku juga tidak tahu seberapa banyak biaya untuk mendapatkan peralatan yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut. Meski aku masih membutuhkannya.

"Apa kau punya peralatan yang sudah tidak terpakai?"

Si pemilik toko memasang ekspresi aneh, seperti setengah tersenyum.

Pada akhirnya dia mengambil tanaman obat sebagai upah untuk instruksi, dan membeli obat yang kubuat, kemudian memberikanku peralatan tua miliknya yang sudah tidak terpakai.

Dia memberi aku cobek serta penumbuk, dan juga beberapa benda lain seperti timbangan, dan sebagainya. Sepertinya membeli barang baru akan mahal.

"Peralatan ini sudah tua, aku tidak tahu akan bertahan sampai kapan barang itu."

"Tidak apa-apa. Sepertinya ini akan cocok untukku."

Sekarang, yang harus kami lakukan adalah kembali ke hutan untuk berlatih kembali.

Kami berjalan menuju padang rumput, melewati alun-alun kota. Pemandangan alun-alun kota menarik perhatianku. Di sana ada air mancur dan ramai seperti biasanya.

Astia melihatnya juga, ada kecemburuan di matanya.

"Kau boleh jalan-jalan di sana sepuasnya nanti."

Dia menatapku dengan terkejut.

"Apa kau tidak mau?"

"Bukam begitu ... iya aku mau."

Dia menggeleng dan tersenyum.

Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum.

"Saat kita sudah menyelesaikan pekerjaan kita hari ini, kamu bisa bebas di tempat itu, oke?"

"Yay!"

Dia tambak gembira. Itu bagus.

Kami kembali ke hutan dan mulai mengumpulkan tanaman obat sebanyak mungkin dan bertarung melawan monster. Ternyata ada desa di sisi lain hutan, tapi aku tidak memutuskan untuk pergi kesana.

Seekor monster yang belum pernah kulihat sebelumnya telah muncul.

Itu seperti tipe kuda, tapi dengan tanduk yang bercabang di kepalanya. Sepertinya monster ini terlihat berbahaya.

"Ada monster baru. Aku akan maju duluan dan melihat apa yang terjadi. Kalau aku mengatakan tidak masalah, larilah dan tikam monster itu di bagian lehernya.

"Baik!"

Jawaban yang bagus. Aku berlari ke arah monster itu. Saat aku mendekat, dia menunjukkan tanduknya dan tiap menyeruduk.

Aku memancing monster itu ke arah pohon. Monster itu berlari ke arahku, saat dia hampir mengenaiku, aku menghindar sehingga tanduknya menancap ke pohon.

"Astia!" Aku memberi sinyal untuk menyerang saat monster itu lengah.

"Hiya!"

Dia menyerang monster itu dengan antusiasme yang lebih banyak daripada sebelumnya.

Monster itu telah mati dan meneteskan darah dari lehernya setelah ditebas oleh Astia.

Aku tidak bisa membawa monster ini ke kota, tapi mungkin tanduknya bisa dijual.

Sepertinya kemampuan Astia meningkat, dan aku bertanya apakah hal itu ada hubungannya dengan tipe musuh. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, kami juga mendapatkan berbagai jenis tanaman obat baru. Dengan hati-hati aku mengumpulkan sebanyak yang aku bisa.

Matahari sudah condong ke barat. Aku awalnya berencana untuk ke arah huta lebih jauh lagi, mungkin sudah terlambat. Selain itu, aku tidak yakin peralatan Astia akan mampu menghadapi monster di sana.

"Aku lapar..."

Perutnya keroncongan saat menatapku.

"Baiklah, ayo kita kembali dan cari makan."

Kami tidak melanjutkan perburuan dan kembali ke kota.

Saat kami memasuki kota, aku menuju ke toko dan memutuskan menjual tanduk monster yang tadi kami kalahkan.

Ditambah dengan penjualan sebelumnya hari ini, kami telah mendapatkan 20 keping perak. Itu sudah untuk mengatasi keuanganku di masa depan.

Aku tidak bisa membayangkan akan digunakan untuk apa tanduk itu oleh mereka, tapi mereka membelinya dengan harga tinggi, mungkin itu berguna untuk mereka. Tanaman obat kami sudah terjual. Jadi makanan apa yang akan kami beli untuk makan malam.

Itulah yang kupikirkan, tapi Astia sudah memokuskan matanya pada sebuah makanan, sepertinya dia menginginkannya. Aku tidak berencana memanjakannya, tapi harganya terlihat murah, jadi tidak masalah.

"Kamu mau makan itu?"

"Hm, sungguh?"

"Yah, kamu mau makan itu, kan?"

Dia segera mengangguk.

Dia jauh lebih cepat menanggapiku. Aku juga memanggilnya dengan lebih akrab daripada sebelumnya. Tapi sepertinya dia masih membenciku.

"Uhuk..."

Dia masih batuk.

Dalam diam aku memberi obat pada Astia dan memesan makan di stand itu. Mereka menjual seperti daging dan kentang, dibentuk kecil dan ditusuk sate.

"Nih buat kamu."

Aku memberi dia satu tusuk, dan setelah dia menelan obatnya, dia mengambilnya dan tersenyum.

"Terima kasih."

"Oh... Ya."

Dia terlihat senang. Dia mengunyah daging itu sembari kami berjalan di kota, dan menuju ke penginapan.

Aku ingin sebuah tempat untuk kabur dari teror malam Astia dan memutuskan untuk membawanya ke penginapan agar Astia terhindar dari kegelapan.

Kami masuk ke dalam kamar dan membongkar barang bawaan.

Astia resah seperti menunggu sesuatu dan matanya berkilauan. Aku tahu apa yang dimaksudnya.

"Iya iya, pergilah. Kembalilah sebelum makan malam, oke?"

"Baik!"

Sepertinya di dunia ini para budak merupakan subjek penganiayaan, tapi aku melihat bahwa jika Astia seorang petualang, dia bisa dibiarkan sendiri.

Aku melihat Astia berlari tidak sabaran dari jendela, memokuskan pandanganku untuk meracik.

Sekitar 30 menit berlalu. Aku mendengar percakapan yang menarik perhatian.

"Ayolah nona, temani kami sebentar, oke?"

"Benar gadis cantik, kami tidak akan berbuat kasar padamu kok."

"Tidak... tapi aku." Astia berbicara pelan dan bingung dengan keadaannya.

Apa-apaan itu? 

Aku melihat keluar jendela. Di jalanan ada dua laki-laki, jelas orang itu kurang ajar, dan mereka mendekati Astia untuk merayunya. Tidak peduli ini dimana, selalu ada orang yang seperti ini.

"Lihat, aku punya sesuatu yang bagus di sini."

"Aku... umm..."

Astia mungkin paham kalau para budak berada di kelas paling rendah, makanya dia terlihat tidak ingin melawan. Tapi kedua orang itu tidak mengetahuinya.

Huff... Aku meninggalkan kamar dan berjalan menuruni tangga.

"Ayolah!"

"Tapi aku... umm..."

Astia terlihat lemah dan ketakutan, dan bisa dikatakan kedua orang itu memaksa Astia untuk mengikuti mereka. Mereka mulai menarik tangan Astia.

"Tunggu sebentar, sialan!"

"Apaan? Siapa bocah ini?"

Aku tidak tahu sampai batasan umur berapa hingga mereka semua tidak memanggilku bocah? Terserahlah, aku berusia 17 tahun. Siapa yang tahu usia berapa yang mereka anggap usia pertumbuhan di tempat ini? Kurasa aku adalah seorang bocah bagi mereka..

"Apa mau kalian coba-coba mengambilnya dariku?"

"Apa pedulimu? Dia bukan punyamu."

"Dia milikku! Aku bersamanya. Kalau kalian mencoba menyentuhnya sedikit saja, kalian akan menyesal!"

Aku punya batas kesabaran untuk bersimpati pada kedua orang itu, makanya aku marah.

"Apa yang kau bicarakan? Apa kau berani menantang kami?"

Orang pintar akan merenung, orang bodoh akan tersinggung. Aku tersenyum karenanya.

"Kalau begitu, biarkan aku melihat seberapa jauh kemampuan kalian untuk menari di hadapanku."

Astia menatapku sambil terkejut.

"Bocah sialan, beraninya kau meremehkan kami!"

Aku tidak peduli meski mereka lebih tua dariku. Aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Kalau Astia yang salah aku akan minta maaf, tapi kalau mereka suka melanggar peraturan, mereka harus dihukum.

Mereka lari menyerangku.

Aku tersenyum, menghindari serangan kedua orang itu dengan mudahnya.

"Apakah hanya ini kemampuan kalian?"

"Kau..."

Apa yang dipikirkan Astia saat melihatku? Dia terlihat tersenyum.

Aku menendang ke arah orang itu, lalu mendorongnya. Kedua orang itu terjatuh. Aku berada di atas tubuhnya dan memukulnya dengan tinjuku ke wajahnya. Semoga mereka jera karena wajahnya sudah biru begitu. Pfft.

"Nah sekarang... Apa kau yakin ingin melanjutkan niat busukmu itu?"

"Awas kau!"

Aku bangun dan kedua pria itu bangkit berdiri dan kesakitan.

"Mati saja sana! Argh!"

"Lu aja sana mati duluan."

Mereka pergi dan lari di jalan, dan aku mencemooh mereka sebelum masuk penginapan lagi.

"Um ... aku..."

Astia memegang tanganku.

"Berhati-hatilah dengan orang seperti mereka."

Dia segera melepaskan tangannya, perlahan dia mengangkat tangannya dan tersenyum

"Terima kasih."

"Ya, tidak masalah."

Aku mengusap kepalanya, wajahnya tersipu saat dia berpaling.

Matahari turun dari cakrawala, dan sekarang sudah malam. Perut Astia mulai keroncongan lagi, aku merasa bersalah saat aku tidak membawa bahan-bahan makanan untuk makan malam. Jadi kami meninggalkan kamar untuk makan malam di ruang makan penginapan.

Daging yang kami beli sebelumnya hanya untuk mengganjal perut kami.

Astia belum pernah memesan makanan, jadi dia tidak tahu apa yang dipesan. Kami sebelumnya menghabiskan bermalam di hutan. Aku rasa itu masuk akal jika aku memberinya makanan enak.

"Kami pesan hidangan daging panggang dan salad."

Kurasa ini cukup memenuhi nutrisi, kurasa.

"Baik!"

Airil menerima pesanan dan tersenyum saat dia melirik ke arah Astia.

Airil kembali membawa makanan yang kami pesan dan menghidangkannya padaku dan Astia.

Dia tetap berada di situ setelah mengantarkan pesanannya dan tersenyum saat melihatku dengan Astia. Aku tidak peduli dengannya, tapi apa yang dipikirkannya?

"Mari makan."

"Ya!"

Astia makan malam dalam diam, tapi dia sekali-kali memegang tanganku sepanjang waktu.

Dia pasti berumur sama denganku atau lebih muda. Dia kelihatan lapar sampai-sampai bisa memakan porsiku juga.

"Jadi... Apa dia ini kekasihmu, kak Yuuki?

Aku yang lagi minum hampir memuncratkannya, tapi kutahan. Dia ini menunggu momen ini ya.

"Jangan bercanda. Dia hanya rekanku."

Masalah mulai terjadi. Jika Ellena tahu hal ini, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Apa dia juga menginap di kamarmu?"

"Memangnya kenapa?"

Aku mulai membenci pertanyaan yang ambigu ini.

"Hoo~" Airil tersenyum licik. "Jadi apa yang kakak lakukan akhir-akhir ini?"

"Hmm? Tidak ada yang spesial."

Sepertinya Airil mulai memikirkan pemikiran yang aneh, Aku membiarkannya. Sepertinya Airil akan membiarkan Astia tinggal di kamarku, yang sebenarnya itu tidak diperbolehkan.

"Kita akan pergi berburu lagi besok, jadi makanlah sampai kenyang malam ini."

"Baik!"

Saat kami duduk di sana, aku menyadari bahwa aku memiliki beberapa masalah lain yang harus kuselesaikan. Aku memutuskan untuk mengurusnya saat kami sudah kembali ke kamar.

"Rambutmu berantakan. Biar kurapihkan."

"...Baik."

Astia terlihat cemas. Aku menempatkan tanganku pada kepala Astia.

"Nggak apa-apa, aku tidak akan memberimu gaya rambut yang aneh atau semacamnya."

Beneran dah, setiap aku melihat rambutnya yang terlalu panjang membuatku ingin memotongnya.

Aku menyisirkan jariku pada rambut Astia untuk mencari ide yang perlu dilakukan, aku mengambil pisau milik Astia dan mulai memotong. Aku mulai memotong rambut Astia yang terlalu panjang, hasilnya panjang rambutnya sekitar bahu.

"Selesai. Nah, kamu kan lebih cantik kalau begini."

Gaya rambutnya tampak lebih normal daripada sebelumnya.

Astia berputar-putar, tersenyum dan tertawa. Dia tampak senang.

Aku membersihkan tumpukan potongan rambutnya, dan bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan selanjutnya.

"Waktunya tidur."

"Baik."

Astia tidur di tempat tidurku, semoga tidak ada bau aneh di tempat tidur itu. Dia terlihat lebih terbuka dan jujur daripada kemarin.

Dia mungkin akan berteriak lagi di malam hari, jadi aku memutuskan untuk mencoba menyelesaikan racikanku secepat mungkin.

Aku mencoba membuat minuman berenergi.

Minuman itu berkualitas rendah tapi lumayan efektif untuk meringankan kelelahan dan dengan cepat menyegarkan orang yang meminumnya. Lalu aku membuat obat kualitas menengah untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Tapi tidak efektif untuk penyakit serius.

Pada akhirnya aku membuat 5 minuman berenergi dan lumayan banyak obat.

Sulit untuk membuat sesuatu yang berkualitas tinggi, jadi aku tidak akan  berpikir meracik akan menjadi kegiatan rutinku. Aku bukanlah dokter atau apapun yang berhubungan dengan farmasi.

"...Mmmm..."

Aku merenggangkan badan dan memutuskan untuk istirahat malam ini. Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur nyenyak, karena setiap malam Astia menangis karena mimpi buruknya. Aku berbalik dan menatap Astia, dia sudah tertidur. Tapi sepertinya dia sudah hampir mulai berteriak.

"Ahhh!"

Aku menggunakan tanganku untuk membungkamnya, dan dia mulai tenang. Aku memeluknya sejenak dan mengusap kepalanya.

Dan begitulah. Astia jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Aku melepaskan dia, tapi dia mulai menangis lagi. Aku yang niatnya tidur di sofa malam ini, tapi tidak ada pilihan lain, aku akan tidur bersama Astia malam ini.

Uhh ... dinginnya. Dingin sekali.

Aku bisa merasakan sinar matahari menyinari wajahku, dan aku membuka mata. Seharusnya Astia tidur dipelukanku, tapi aku melihat dia meringkuk di sudut ruangan.

"Ada apa?" Kataku sambil mengusap mata.

"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku."

Apa yang terjadi? Aku tidak tahu apa yang kulakukan tadi malam, apakah aku mengigau lalu menyakitinya?!

Aku mulai panik karena dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh, sesuatu pasti ada yang salah. Aku yang mencoba mengatasi kepanikan ini dengan tenang, lalu ingin mengetahui kenapa aku begitu kedinginan dan alasan dibalik Astia meminta maaf.

"Memangnya ada apa?"

"Sepertinya aku merepotkanmu, dan berteriak sepanjang malam."

"Huuh~"

Aku menghela napas panjang. Kukira aku berbuat macam-macam kepada Astia, dia juga berpikir aku akan marah.

Aku tidak mengerti kenapa Astia meminta maaf sampai sebegitunya, tapi aku tidak ada alasan untuk marah karena hal ini.

Matanya terlihat ketakutan, aku berjalan mendekati dia, mengulurkan tanganku, tapi Astia meringkuk menjauhi tanganku.

"Oh ayolah..."

Aku menepuk pundak Astia yang gemetar.

"Aku tidak masalah, yang penting kamu tenang dulu. Aku gak akan marah kok."

"Um.."

Astia menatapku penuh kebingungan.

"Apa tuan nggak marah?"

"Nggak kok. Kenapa aku harus marah kalau kamu gak ada salah sama sekali."

Aku ke belakang penginapan, di sana ada sumur. Aku mencuci pakaian lamaku, air dari sumur itu sangat dingin. Aku mencuci pakaianku di papan cuci, kemudian mengemasnya dan menggantungnya di cabang pohon untuk menjemur.

"Kalau begitu..."

Astia terus berjalan di sampingku seolah dia adalah hal terburuk di dunia ini. Itu yang membuatnya bingung.

"Sudah kubilang tidak usah khawatir kepadaku."

"Y-ya."

Dia gadis yang jujur, tapi kalau dia kehilangan motivasinya, aku akan kerepotan.

"Kamu kenapa? Aku tahu kalau kamu membenciku dan tidak ingin dekat-dekat denganku, tapi setidaknya bertahanlah bersamaku ya."

"...? T-tidak, bukan begitu."

Tiba-tiba perutnya keroncongan lagi, wajahnya tersipu lagi.

"Mau sarapan?"

"Um... tentu."

Astia memegang lengan bajuku dan berjalan di sampingku. Tapi kenapa aku mengatakan hal pesimis seperti itu, tiba-tiba itu keluar dari mulutku.

Aku memberinya obat pada Astia. Kurasa dia mempuanyai semacam penyakit dan butuh obat secara teratur.

Dia menciumnya dan menutup hidungnya.

"Ugh.. pahit sekali."

"Sudah tahan saja. Memang begitu rasanya obat."

Astia menghabiskan obatnya dan menatapnya, seakan dia akan melempar obatnya karena tidak mau.

Yang masih kupikirkan apa masih ada waktu sebelum bencana itu datang. Lalu bagaimana aku mengatasinya, bagaimana aku memulai awal perjalanan ini dengan Astia? Apakah dia masih bisa bertahan denganku, kuharap dia selalu bersamaku. Aku takut dia tidak punya tujuan hidup, jadi aku harus terus bertahan di dunia yang keras ini.

***

Terima kasih telah membaca cerita ini, semoga kalian menikmatinya.

Kalau ada kesalahan kata atau typo mohon dimaafkan. Terima kasih.

Dah segitu aj, Arigatou. 

Assalamu'alaikum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!