Aleta melihat jam weker di atas meja kamarnya.
"Jam 03.00, kok di luar ramai ya seperti banyak yang sedang berbicara." Aleta membatin sendiri.
Dia terbangun gara-gara terdengar suara orang ngobrol di ruang tengah. Karena melihat masih jam 03.00, dan hari.ini dia tidak berniat untuk membikin jajanan pasar, Aleta melanjutkan tidurnya lagi.
Adzan Subuh dari loud speaker Masjid Al Ikhlas terdengar merdu mendayu di telinga Aleta, dan mengisi spirit baru untuk aktivitas hari ini. Aleta menyibakkan selimut, kemudian beranjak duduk, melipat selimut dan merapikan tempat tidurnya.
Perlahan Aleta menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dan beribadah pagi. Setelah mandi,. Aleta bermaksud untuk membangunkan adik-adik panti, mengajaknya sholat Subuh dan tadabbur alam. Tetapi kakinya baru akan menuju ke arah pondok, dia dikejutkan dengan sesosok laki-laki yang sedang di bersandar di soko pendopo. Tetapi Aleta segera menguasai dirinya, kemudian mendekati untuk melihatnya lebih jelas.
Tatapan mata hitam tanpa dihiasi senyum memandang Aleta seakan menguliti tubuhnya. Tatapan pak Devan cucu kakek Cokro, dan disampingnya sedang berbaring tiga laki-laki lainnya. Melihat tatapan dinginnya menjadikan Aleta enggan untuk menyapanya, dia melanjutkan langkahnya ke pondok untuk membangunkan adik-adik.
Setelah mengetuk pintu satu-satu, adik-adik panti reflek terbangun.
"Ayuk adik-adik segera membersihkan diri, dan sholat Subuh berjamaah. Kakak tunggu di mushola ya. Habis sholat kita tadabbur alam." kata Aleta lembut.
Mendengar kata tadabbur alam, menjadikan adik-adik semangat bangun dan segera beranjak dari tempat tidurnya.
Lima menit menunggu di mushola, adik-adik sudah siap untuk sholat Subuh berjamaah.
"Koko, hafalanmu yang paling lancar, sekarang Koko memimpin sholat berjamaah ya."
"Baik kak."
Aleta dan adik-adik kemudian mengerjakan sholat Subuh berjamaah. Dari pondok, Devan hanya melihat kesibukan yang ada di musholla kecil yang ada di dalam panti.
Setelah dzikir mereka bersiap-siap berangkat tadabbur alam.
"Kakak pamit sama ibu dulu ya, kalian tunggu kakak di halaman."
"Baik kak,"
"Kak Aleta, kemarin waktu Dewi tadabbur alam sama ibu, Dewi lihat di ujung desa ada yang jual burjo."
"Kenapa, Dewi mau burjo,'
"Iya kak, kemaren mau minta ibu tapi ga berani kak," jawab Dewi lirih.
"Baiklah, habis tadabbur alam nanti kakak belikan kalian semua burjo ya."
"Horeee..," serentak mereka mengekspresikan emosinya dengan lugas.
Dari Pendhopo, Devan hatinya sedikit tersentuh melihat kepolosan dan kesederhanaan anak-anak panti. Melihat mereka bersorak bahagia hanya untuk semangkok burjo, sudut mulut Devan sedikit terangkat ke atas.
Setelah berpamitan dengan Bu Rosna yang sedang membersihkan tempat tidurnya, Aleta segera menemani adik-adik untuk tadabbur alam.
*****
"Kakak, kita boleh nangkap kupu-kupu tidak."
"Buat apa, kalau dilepas lagi boleh, tapi kalau untuk mainan jangan. Kan kasian kalau kupu-kupunya mati."
"Dilepaskan lagi kak,"
"Ya boleh, hati-hati. Jangan jauh-jauh ya."
Aleta duduk diatas buk pinggir kali sambil mengawasi adik-adiknya berlarian. Sesekali senyumnya terbit di wajahnya melihat kelucuan tingkah adik-adik.
"Pagi mbak Aleta," sapa Bu Joko ramah.
"Pagi Bu Joko, mau ke sawah ya."
"Iya mbak, ini mau metik cabai sama kacang panjang. Ibu duluan ya mbak."
"Njih Bu,"
Para tetangga yang berjumpa dengan Aleta menyapanya dengan ramah dan penuh keakraban.
Dari kejauhan Devan sedang berjalan sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Devan sendiri tidak menyadari, tiba-tiba dia tertarik untuk mengikuti anak-anak panti jalan-jalan pagi. Baru jam 2 pagi Devan berlima sampai dari perjalanan Bandung - Klaten setelah menempuh enam jam perjalanan darat. Paksaan dan emosi kakek Cokro, akhirnya mengantarkan Devan sampai ke panti ini kembali.
"Kakak..., sini, bantuin Siti." teriak Siti dari kejauhan.
"Bantuin apa Sit,"
"Siti mau petik bunga matahari kak, tapi Siti tidak sampai tangannya."
"Tungguin bentar, kakak jalan kesitu."
Aleta bergegas menghampiri Siti di pinggir sawah, dan dia tidak menyadari ada Devan yang sedang menghabiskan rokoknya di dekat situ.
Tanaman bunga matahari yang dimaksud Siti ternyata batangnya mengarah ke kali pinggir sawah. Aleta mencondongkan badannya ke depan untuk meraih batangnya, tetapi Aleta tidak sadar kakinya menginjak tanah yang gembur di pinggir kali. Tiba-tiba kakinya terperosok masuk ke tanah sehingga badannya kehilangan keseimbangan. Aleta memejamkan matanya dan siap jatuh ke kali, tapi tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memegang pinggang, dan kepalanya membentur sesuatu yang hangat.
Aleta membuka mata, dan tersadar ternyata dia sudah ada di pelukan Devan. Seketika dia melepaskan diri dari tangan Devan.
"Makasih ya pak Devan, bapak sudah membantu saya." kata Aleta menangkupkan kedua tangannya untuk mengucapkan terima kasih.
Mendengar gadis itu kembali memanggilnya dengan sebutan Bapak, Devan hanya mendengus kesal. Tangannya dengan cepat meraih batang tanaman bunga matahari, kemudian memetik dua bunga dan memberikan pada Siti.
"Terima kasih pak." ucap Siti bahagia.
Devan mengangguk dan mengangkat sudut mulutnya ke atas sedikit.
"Sudah satu jam lebih kita tadabbur alam, jadi makan burjo tidak. Kalau jadi Ayuk segera bergeser, mumpung masih pagi tidak antri."
"Hore, asyik." anak-anak kembali bersorak.
Devan kembali tertotok hatinya melihat kepolosan mereka. Tanpa sadar dia ikut bergeser mengikuti anak-anak. Jika dilihat dari jauh, Devan dan Aleta seperti pasangan suami istri yang memiliki anak delapan.
"Pak burjo sama teh panas sepuluh ya."
"E.. mbak Aleta, tunggu ya mbak, Bapak siapkan."
"Ya pak, makasih."
Sekitar sepuluh menit, Burjo dan teh manis panas sudah disajikan Pak Umar. Aleta membagikan satu-satu kepada adik-adik, dan terakhir Aleta memberikan pada Devan.
Melihat anak-anak panti dengan lahapnya makan burjo, Devan tergerak untuk mencicipi. Perlahan dia menyendok dan memasukkan ke mulutnya. Campuran ketan hitam, santan, gula, dan kacang hijau seperti lumer di mulutnya. Tidak sampai menunggu lima menit, burjo di mangkok Devan sudah habis.
"Bapak mau nambah," tanya Aleta.
Devan menggelengkan kepala. Kemudian dengan telaten Aleta membantu makan adik-adik yang masih kesulitan untuk makan sendiri. Setiap gerakan dan kesigapannya tidak luput dari perhatian Devan.
"Siapa yang mau nambah lagi, Ayuk tunjuk jari."
"Udah kenyang kak."
"Ok say...,"
"Alhamdulillah." kata adik-adik serempak.
"Kalau sudah Ayuk kita jalan lagi sekalian kembali pulang."
"Ya, kak,"
Aleta menghampiri pak Umar untuk membayar burjo. Tapi belum sempat dia mengeluarkan uangnya, Devan sudah menyodorkan lima lembar uang pecahan seratus ribu kepada pak Umar.
"Cukup?" tanya Devan pada pak Umar.
"Lha sisanya masih banyak mas, cukup seratus ribu saja."
"Ambil saja," kata Devan sambil meninggalkan pak Umar.
"Terima kasih pak Umar, kami jalan lagi ya."
"Sama-sama mbak Aleta."
Aleta mempercepat langkahnya menjejerkan pada Devan
"Makasih ya pak traktirannya, saya jadi malu. Saya yang ngajak adik-adik makan, malah bapak yang bayar semua."
Sepertinya biasanya, Devan tidak menjawab, hanya melihat sekilas pada Aleta. Akhirnya mereka berjalan berdampingan sampai memasuki halaman panti. Bu Rosna dan kakek Cokro saling berpandangan, dan tersenyum merasa sudah melihat kedekatan Devan dan Aleta. Aleta yang tidak tahu apa-apa, bersikap natural.
"Kakek, ibu, assalamualaikum." sapa Aleta
"Wa Alaikum salam,"
"Kakek sudah pulih sehat."
"Kalau sehatnya sudah nak, tapi kalau pulihnya ya belum, tulang tua ya masih harus menunggu lama."
"Kok nak Devan bisa bareng sama Aleta."
Devan terdiam, akhirnya Aleta menjawab.
"Ga sengaja Bu, kami ketemu di pinggir sawah."
"Wah berarti jodoh itu," kata kakek Cokro.
"He...he.. kakek bisa saja.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
trisss
kakek bisa aja 😍
2021-08-20
2