Setelah mendengar kabar mengenai kondisi papahnya yang mendadak kehilangan detak jantungnya, Adella langsung bergegas menuju rumah sakit, melupakan seseorang yang sedari tadi ia tunggu.
Ia masih punya waktu untuk orang tersebut, tapi untuk papahnya? ia tidak ingin terlewat walau sedetik. Ketika sampai di rumah sakit, ia berlari menyusuri koridor yang lumayan ramai. saking terburu-burunya, Adella sampai menabrak hadis berusia sekitar 9 atau 10 tahun.
"Maaf, maaf ya dek, kakak buru-buru," ujar Adella sembari membantu gadis bangun. "kamu gapapa kan?" tanya Adella.
gadis itu bersedekap dengan menunjukkan wajah galaknya, "Kakak ga liat ada aku? karena kau kecil jadi ga keliatan?" omel gadis itu, entah kenapa Adella justru tersenyum, biasanya jika ia dimarahi seperti itu ia akan berbalik memarahinya, tapi dengan gadis kecil ini rasanya ada magnet yang menarik kedua sudut nya hanya dengan melihat ekspresi merajuk gadis yang berdiri di hadapannya.
Adella berjongkok, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya dan memberikannya pada gadis yang tidak ia ketahui namanya.
"Ini gantungan kunci punya kakak yang di kasih sama ayah kakak, ini benda paling berharga yang kakak punya, jadi kakak kasih buat kamu sebagai permintaan maaf." lalu Adella mengeluarkan sesuatu lagi dari saku jaketnya, "Dan ini lolipop kesukaan kakak, buat kamu," lanjutnya sembari menyodorkan permen gagang warna-warni itu.
Adella izin pamit untuk menemui ayahnya yang sedang sakit, sebenarnya gantungan kunci itu sangat berarti untuknya, itu pemberian ayahnya sehari sebelum ulang tahunnya, anggap saja itu sebagai kado ulang tahun yang di berikan ayahnya tapi ya sudah lah, masih ada banyak yang ia miliki sebagai kado dari ayahnya.
Dari jarak beberapa meter, Adella bisa melihat ibunya yang menangis di dalam pelukan kakak laki-lakinya. Hatinya seketika menjadi gelisah, bayang-bayang kepergian Tiara kembali bermunculan seperti memori lama yang diputar ulang. dengan langkah gontai, ia mendekat secara perlahan, mencoba menghilangkan segala kemungkinan buruk yang ia ciptakan didalam pikirannya.
"Ibu, Abang, kenapa?" tanya nya dengan suara yang lemah. Tanpa mengatakan apapun, sang ibu langsung memeluk erat dirinya. kekhawatiran kembali merajai hatinya, apakah ada hal buruk yang memang benar terjadi?
Ia menatap kakaknya sembari mengusap punggung ibunya, Laki-laki itu, Gavin Arya Prasetyo bahkan enggan untuk menatap balik bola matanya. Gavin terduduk lemas di kursi koridor.
"Ayah udah pergi Del," ujar Gavin pelan, bahkan hanya bisa di dengar dirinya sendiri, tapi Adella memiliki pendengaran yang tajam hingga ia bisa mendengarnya meskipun beradu dengan suara tangisan ibunya yang semakin keras.
detak jantungnya seketika berhenti, napasnya seolah tercekat, kakinya tak bisa lagi menopang tubuhnya sendiri jika saja ibunya tidak membantunya menahan tubuh lemah yang seolah tak bertulang ini. Air matanya menetes perlahan dalam kebisuan yang mendadak menyerang dirinya.
Pergi? benarkah?
Adella melepas pelukan ibunya, seketika jiwa nya kembali, ia langsung masuk ke dalam ruang rawat ayahnya. di sana para suster tengah mencabut semua alat yang membantu ayahnya bertahan hidup selama ini, bahkan wajah ayahnya sudah memucat, sudah benar-benar tidak ada kehidupan.
Yang bisa ia lakukan saat ini hanya menangis dalam diam, ia ingin menangis sambil berteriak membangunkan ayahnya seperti yang terjadi di dalam novel kemudian ayahnya akan terbangun kembali, tapi rasanya sangat mustahil bukan?
Apalah dayanya yang hanya bisa menangis di kebisuan, ia hanya bisa menatap tubuh yang tak bernyawa di hadapannya ini. Hidupnya kembali hancur, kembali berantakan, kembali terluka, lagi dan lagi orang-orang disekitarnya memilih pergi jauh hingga sulit ia gapai, memilih meninggalkannya dan enggan kembali.
ayahnya benar-benar menyusul Tiara, benar-benar ingin menjaga kakaknya di sana, benar-benar memilih menemani kakak perempuannya dari pada putri bungsunya.
"Ayah sebenarnya ingin sekali menemani Kak Tiara, disana pasti dia kesepian."
kalimat itu menjadi tanda untuknya, tapi sayangnya saat itu Adella terlalu lugu untuk mengerti segala hal yang dikatakan ayahnya, yang ia tahu ayahnya akan terus bersamanya, tapi kenyataan pengkhianati harapannya.
Adella menghapus air matanya kala para suster itu izin keluar, ia tersenyum kecut, "Ayah benar-benar ninggalin Adel? apa ayah ga bisa bertahan lebih lama? kenapa ayah milih nemenin Kak Tiara dari pada aku? aku yang butuh ayah, aku butuh kehadiran ayah, aku butuh dukungan ayah, aku butuh ayah disetiap langkah yang aku ambil ," kata Adella sesekali menyeka air matanya.
Marah, sedih, kesal, bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Ia memeluk erat tubuh ayahnya untuk terakhir kalinya karena para suster tersebut kembali lagi dan meminta agar dirinya menyingkir karena mereka akan mengurus jenazah tersebut.
"Baik-baik di sana ayah."
Adella segera keluar ruangan dan langsung berlari tanpa menghiraukan Kakak dan ibunya. ia tidak bisa memperlihatkan kehancuran dirinya dihadapan mereka, ia tidak bisa menjadi gadis yang pura-pura kuat karena saat ini ia benar-benar rapuh.
Adella memilih untuk berdiam diri di kursi taman rumah sakit yang berada di bawah pohon, ia teringat saat-saat terindah bersama ayahnya, laki-laki terhebat yang ia miliki itu kini sudah pergi, benar-benar pergi dan tidak akan kembali.
tiba-tiba seseorang berlari melewatinya dan bersembunyi di atas pohon. Adella yang sedari tadi menangis dibuat melongo melihat laki-laki sebayanya yang sudah bertengger di atas pohon dan sesekali memberinya kode dengan menempelnya telunjuk di bibirnya.
Tidak lama beberapa suster menghampirinya dan bertanya mengenai laki-laki yang mengenakan baju pasien yang berlari ke arah sini, lantas Adella menggelengkan kepalanya hingga mereka semua kembali ke dalam.
Adella berdiri, lalu mendongakkan kepalanya menatap laki-laki aneh itu.
"Turun, udah pada pergi," ujarnya pada laki-laki itu.
Akhirnya laki-laki itu turun dengan sedikit kesulitan, lalu mengatakan terima kasih pada Adella. ketika pertama kali melihat laki-laki yang sudah berada di hadapannya ini, Adella merasa familier.
"Gua takut jarum suntik jadi gua lari," ujar laki-laki itu, "Nama gua Galen," katanya lagi sambil mengulurkan tangannya.
Adella hanya menatap uluran tangan tersebut tanpa berniat menjabatnya, ia kira dengan duduk di taman suasana hatinya menjadi semakin baik, nyatanya tidak. Tanpa basa-basi ia meninggalkan laki-laki yang bernama Galen itu, ia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing, semenjak dua tahun yang lalu seketika kepribadiannya berubah menjadi tertutup dan tak tersentuh, ia membuat pembatas diri yang sangat tebal sebagai perlindungan dirinya sendiri.
***
Pemakaman Wijaya Prasetyo baru saja selesai, beberapa orang sudah pulang. Adella, Gavin, dan ibunya langsung kembali ke mobil dengan bantuan para bodyguard yang menghalangi para wartawan yang haus akan informasi mengenai kepergian ayahnya, meminta keterangan yang sesungguhnya.
Baik Adella, Gavin dan Rena, engga untuk berkomentar apapun pada media, biarkan masalah kecelakaan tersebut menjadi rahasia yang akan mereka pecahkan sendiri.
Mata Adella tidak sengaja melihat laki-laki berbaju hitam yang tidak jauh dari mobilnya yang terparkir dipinggir jalan. ada yang aneh dari laki-laki itu, dia diam seperti patung disana, tetapi matanya menyorot sendu pada dirinya.
Adella mengabaikan para bodyguard nya dan memilih mengejar laki-laki itu yang sudah berjalan cepat menyusuri trotoar. Meskipun sudah berlari, tapi Adella tetap kehilangan jejak laki-laki itu.
Tetapi ia menemukan sesuatu, sebuah sapu tangan berwarna putih yang bertuliskan nama Galen Leonardo.
"Siapa Lo?" teriak Adella, ia mengusir malunya, persetan dengan orang-orang yang memperhatikannya dan melihatnya seperti orang aneh, ia tidak peduli.
Apakah orang bernama Galen ini salah satu musuh ayahnya yang sedang mematai mereka?
Saat tengah memperhatikan sapu tangan tersebut, beberapa wartawan datang menyerbu dirinya dan memberi banyak pertanyaan.
mendadak Adella bungkam dan mencari celah untuk menuju mobilnya, lalu beberapa bodyguadnya segera membantu dirinya agar terhindar dari para wartawan yang tidak tahu waktu. bagaimana mereka bisa begitu percaya diri menanyakan mengenai kematian seseorang pada keluarganya? tidakkah mereka memiliki perasaan untuk bertanya seperti itu?
Tindakan mereka justru menambah kesedihan yang tertoreh di hati Adella, Gavin, bahkan ibunya. Mereka sudah tertekan dengan kepergian Wijaya, ditambah pertanyaan mereka, seolah mereka tengah menabur garam di luka yang basah. perih? jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Olan
mampur thor. salam dari Hate But Love. mari saling dukung😘
2021-10-05
1