Zikra meletakkan paper bag yang dibawanya di atas meja. Menarik kursi kosong di samping Rifa’i lalu duduk.
Bonang dan Rifa’I mendongakkan wajah seraya mengerutkan kening. Tatapan mata mereka penuh tanya.
Nadya langsung mengenali paper bag itu.
“Iya,” sahut Zikra cepat, menjawab pertanyaan yang tidak terlontar dari mulut dua temannya dan Nadya. Tetapi dia bisa membaca isi pikiran mereka, yang tersirat jelas dari tatapan mata penasaran masing-masing. “tadi Syifa menitipkan padaku sebelum dia pulang.”
“Apa? Pulang?” pekik Nadya terlonjak kaget.
Zikra menganggukkan kepala.
“Kok dia main ninggalin gue gitu aja, sih?” gumamnya.
“Sepertinya dia terburu-buru, setelah dapat telepon,” terang Zikra seraya menyibakkan rambut bagian depan yang nyaris menutupi matanya.
“Telepon?”
Zikra mengangguk lagi.
"Telepon dari siapa?"
"Sepertinya dari orang tuanya, karena setelah itu mukanya langsung pucat. Dan langsung pamit pulang."
Nadya mendengus berat. Pasti bokapnya. Pikirnya.
*
Syifa melihat mobil sedan silver yang sering digunakan Ayah pergi ke kantor, terparkir di depan gerbang rumahnya. Tidak lama kemudian, Ayah dan Bunda keluar dari rumah dengan membawa dua tas besar. Sementara Ade sibuk dengan pistol mainannya, yang bisa mengeluarkan berbagai macam bunyi jika ditarik platuknya.
“Teteh,” seru Bunda menyadarkannya dari lamunan. “ayo, cepat ganti baju.”
“Emangnya kita mau ke mana, Bun?” tanya Syifa ingin tahu.
“Sudah, jangan banyak tanya,” sergah Ayah memotong pembicaraan. “cepat lakukan yang Bunda suruh, karena kita harus segera sampai sebelum gelap.”
Tanpa banyak tanya, Syifa langsung mengikuti yang diperintahkan oleh orang tuanya.
Ayah tampak sangat fokus melihat jalan tanpa arus lalu lintas yang padat di depan kemudi. Memang arus lalu lintas pada jam-jam seperti ini terlihat lengang, tanpa kemacetan yang berarti.
Bunda duduk di jok depan samping kemudi. Sesekali mengajak Ayah berbicara. Terkadang memperingati
Ade yang tidak bisa duduk manis di kursi belakang bersama Syifa. Sedangkan Syifa hanya terdiam melihat pemandangan di luar jendela dari dalam kendaan yang terus saja bergerak.
“Uwa sedang sakit parah, jadi kita harus datang ke rumah Uwa sekarang juga,” begitu kata Bunda sebelum mobil yang membawa mereka melesat pergi dari halaman rumah.
Syifa mendengus pelan tanpa bergeming.
“Sori, Nad. Gue buru-buru tadi, soalnya tiba-tiba bokap gue telepon, nyuruh gue pulang,” ucapnya penuh sesal ketika masih di dalam angkot perjalanan pulang via telepon.
“Ah, elo. Tuman banget, ninggalin gue melulu,” sahut Nadya dari seberang sana.
“Iya, gue akuin gue salah. Pantas kok kalo elo bilang gue kuman.”
“Kuman?” Nadya mengerutkan dahinya. “tuman, Bambang …”
“Oh.”
“Tuman itu bukan kuman, tapi kebiasaan,” jelas Nadya.
“Oh, sori!”
Syifa menyalakan layar ponselnya. Terlihat jam analog yang menunjukkan pukul 17.30.
“Setengah enam,” bisiknya.
Suara riuh rendah orang mengaji di dalam kamar Uwa, merupakan sebuah pemandangan lirih. Ayah langsung memeluk tubuh renta tak berdaya, berbaring di atas tempat tidur berselimutkan kain batik panjang. Air matanya tumpah seketika diiringi suara tangis yang tidak dapat disembunyikan.
Sanak saudara Ayah yang sudah hadir sejak siang tadi langsung menyingkir, memberikan ruang untuk mereka yang baru tiba.
Kakak tertua Ayah, Cang Sholeh mengelus punggung Ayah untuk menguatkan. Pria berkumis hitam dengan kombinasi warna putih, menandakan usianya sudah tidak muda lagi, tidak jua sanggup menahan air matanya.
Bunda menangis bersimpuh di depan tempat tidur Uwa. Syifa pun menangis di samping Bunda. Ade yang tidak mengerti apa-apa, duduk dipangkuan Bunda seraya mengusap air mata Bunda dengan tangan kecilnya.
“Bunda kenapa nangis?” tanyanya polos. “itu kenapa Uwa, Bun? Kok diam aja?”
Bunda hanya mencium pipi bocah itu.
“Bunda enggak boleh nangis,” pinta Ade manja. “Teteh juga enggak boleh nangis.”
Sore telah beranjak malam. Kondisi rumah Uwa mengharu biru, tercekap kesedihan mendalam. Suara isak masih terdengar dari dalam kamar Uwa.
Syifa tidak bisa tidur dalam situasi seperti itu. Meskipun tubuhnya sudah berbaring di atas tempat tidur, namun matanya tidak terasa kantuk sedikit pun. Berbeda dengan Ade yang sedari tadi sudah tertidur begitu lelapnya. Mungkin untuk anak kecil sepertinya, pemikiran tentang masalah yang sedang mereka hadapi, tidak memengaruhi pikirannya yang masih murni. Tidak ada yang harus dipusingkan. Apalagi sok-sokan ikut campur urusan orang dewasa. Tidak seperti Syifa yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran orang dewasa. Mau tidak mau ia memang harus belajar dari sekarang. Bukan karena iseng, tetapi memang sudah menjadi tuntutan baginya.
Syifa merubah posisi tidurnya. Suara orang mengaji masih terdengar dari dalam kamar Uwa, yang terletak di sebelah kamar yang ditidurinya. Pikirannya menerawang jauh ke dunia sana. Ia teringat pembicaraan yang tidak sengaja didengarnya saat dirinya hendak mengambil air minum di dapur. Ayah dan tiga orang kakak lelakinya,
sedang membicarakan pesan terakhir yang sempat diutarakan Uwa kepada Cang Madih.
Ayah mendengarkan seksama. Begitu pula dengan kedua kakaknya yang lain. Setiap kalimat yang meluncur dari mulut kakak kedua Ayah, bagaikan titah raja yang harus dijalankan. Ayah langsung menyetujuinya tanpa membantah sedikit pun.
Sakit Uwa terbilang bukan sakit baru. Melainkan sakit strok yang sudah menahun. Tetapi untuk saat ini kondisinya sedang menurun dan sangat mengkhawatirkan semua anaknya. Mungkin karena faktor umur yang kian menua. Hingga tubuh wanita renta itu tidak mampu melawan penyakitnya.
Syifa terbeliak kaget ketika menangkap dengar, bahwa salah satu keinginan Uwa adalah melihat cucu perempuan dari anak bungsunya menikah di hadapannya, sebelum ajalnya datang menjemput. Dan cucu yang dimaksud adalah dirinya. Karena sangat terkejutnya, ia tidak sengaja menjatuhkan gelas kaca hingga pecah berurai di
lantai. Sontak menimbulkan kegaduhan, dan menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar.
Syifa menghela nafas panjang. Dalam hati ia berdoa, agar Uwa besok bisa sembuh dan hidup normal seperti sediakala. Meskipun mustahil. Setidaknya ada peluang untuk mengulur pernikahan sampai ia bisa menyelesaikan masa SMA-nya.
Bunda terpekur di keheningan malam. Rasa bersalah pada putri sulungnya terus saja datang menghantuinya. Rasa yang tidak akan mampu terbayar oleh apa pun. Bulir air bening menitik dari pelupuk matanya yang sendu. Tidak ada seorang ibu di dunia ini yang ingin putri kesayangannya, menderita dalam jurang yang tidak tahu dimana dasarnya.
Seandainya dulu, aku tidak mendukung suamiku. Mungkin anakku tidak akan mengalami nasib seperti ini. Pikirnya lirih.
Sepuluh tahun silam. (flashback)
Fauzi menerima saran ibunya untuk menjodohkan putri semata wayangnya, baru berusia tujuh tahun, dengan putra sahabatnya, Surya. Ketika itu bocah lelaki itu usianya genap sebelas tahun.
Bukan tanpa alasan perjodohan itu terjadi. Melainkan wasiat yang harus direalisasikan sebelum Handoko, ayahnya Surya meninggal dunia. Ketika itu Pak Handoko yang sakit keras mengatakan, dirinya dan almarhum bapaknya Fauzi, pernah mengikat janji untuk menyatukan hubungan dengan menikahkan anak mereka. Namun anak mereka tidak bisa dinikahkan, karena keduanya dikaruniakan anak laki-laki. Kemudian mereka tetap melanjutkan perjodohan itu untuk cucu-cucu mereka.
Dari sekian banyak cucu ayahnya Fauzi tidak ada satu pun yang cocok untuk cucu lelakinya Handoko. Karena terpaut usia yang sangat jauh. Barulah setelah anak perempuan Fauzi lahir, perjodohan itu benar-benar dilaksanakan. Walau harus menunggu hingga tujuh tahun lamanya.
Di hadapan jasad Handoko, sepasang bocah itu didandani layaknya sepasang pengantin. Kemudian dinikahkan sebagaimana orang dewasa melakukan akad nikah di depan penghulu.
Suara tangis Bunda membangunkan Syifa yang baru terlelap. Dilihatnya wanita itu menangis di sudut kamar. Hatinya perih. Air matanya pun tidak bisa dibendung hingga tumpah ruah di pipi. Dpeluknya wanita yang telah melahirkannya erat.
"Bunda, jangan menangis," pinta Syifa lirih.
"Maafkan, Bunda, sayang ... maafkan."
Syifa hanya diam, dan mengeratkan pelukkannya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
sehat selalu
2022-07-06
0