Syifa mendengus resah. Rona kesedihan terpancar jelas di wajah cantiknya. Sekali lagi pemuda itu pergi meninggalkannya. Tanpa kata apalagi menyapa. Apakah ada yang salah pada dirinya? Atau dia yang salah? Ahh. Bete! Terlalu jual mahal.
Suara riuh rendah di dalam ruangan menyadarkan Syifa dari lamunan. Hukuman yang akan didapat Syifa dan Tasya telah diputuskan. Keduanya akan membantu Pak tani membajak sawahnya selama satu minggu.
Tidak ada yang mau menerima hukuman itu. Baik Syifa maupun Tasya memiliki alasan masing-masing. Namun hukuman tetap hukuman. Tidak ada satu hal pun yang dapat membatalkannya.
Tasya nyaris ngamuk mendengar keputusan itu. Pasalnya besok adalah hari terakhir mereka mengadakan KKN di desa ini. Setelah dua minggu lamanya mereka hidup berbaur di lingkungan yang jauh dari keramaian kota. Hanya suara jangkrik dan katak yang meramaikan suasana malam di desa. Gadis itu ingin segera pulang merengkuh semua kenyamanan di rumahnya.
Semua orang meninggalkan ruangan. Menyisakan Syifa dan Nadya di dalamnya.
Nadya mencoba menguatkan Syifa agar tidak bersedih. Memeluk sang sahabat. Membiarkan dia menangis dalam peluknya.
“Bagaimana dengan sekolah gue, Nad? Kalo gue menjalani hukuman itu? Gue harus ngomong apa ke Bunda, kalo tahu gue enggak sekolah? Kalo pun gue jalanin dua-duanya enggak bisa. Karena jarak rumah, sekolah dan tempat ini jauh,” tutur Syifa lirih.
“Sori, Pa. Seandainya kita enggak ke mari, mungkin enggak kejadian begini,” ujar Nadya penuh penyesalan.
Syifa menepis pelukan Nadya. Berusaha tetap tenang, meskipun tidak bisa.
“Elo sih, sok-sokan main rahasia – rahasian segala. Tuh, jadinya begini, kan?” semprotnya. ”mana besok ada try out di sekolah,” lanjutnya mendengus resah.
“Kamu tenang saja, tetaplah bersekolah seperti biasa. Tidak usah memikirkan hukuman itu,” imbuh Zikra tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
“Mana bisa begitu?”
“Aku yang akan menggantikan posisi kamu untuk menjalani hukuman itu,” jelasnya.
“Emang bisa begitu?”
“Hmm. Aku sudah membicarakannya sama Pak Edy tadi,” jawabnya.
“Pak Edy?”
“Iya. Dosen pamong aku.”
“Oh!” bibir Syifa membulat seperti lingkaran seraya menganggukkan kepala.
Tasya sangat bersemangat, setelah mengetahui dia akan menjalankan bersama Zikra. Itu berarti selama satu minggu full dia akan selalu bersama Zikra. Pemuda yang sudah lama disukainya. Namun tidak pernah memberi respon balik padanya.
Nadya merengek minta diantar pulang oleh Bonang. Namun berulang kali Bonang menolaknya.
“Elo kan datang ke sini atas kemauan lo sendiri, jadi elo pulang sendiri. Ngapain elo minta gue anterin pulang,” semprot Bonang.
“Elo tega banget sih, Bang sama adek lo sendiri. Biar begini – bigini gue kan adek lo satu - satunya,” rajuk Nadya.
Syifa tidak mau ikut campur dalam drama kakak – adik itu. Ia memilih pergi menjauh. Memberi ruang kepada Nadya dan Bonang menyelesaikan urusan yang berbau drama keluarga.
Hari mulai bernajak petang. Lembayung merona di kaki langit. Awan berarak mengikuti hembusan angin. Rumah – rumah penduduk yang terletak berjauhan antara satu sama lain, menandakan penduduk di desa ini masih belum terlalu banyak. Nuansa hijau terlihat di sana – sini. Selain tumbuhan yang ditanam pemilik tanah, rupanya masih
banyak tumbuhan yang tumbuh secara liar hidup bebas tanpa perlu ditanami.
Syifa memejamkan mata menikmati hembusan angin sore, berhembus menerpa ujung – ujung rambutnya
yang panjang. Biasanya nuansa seperti ini selalu dirasakan jika berkunjung di kampung halaman Ayah.
Gue jadi kangen sama kampung halaman Ayah. Kayaknya udah lama kami enggak ke sana.
Syifa menghela nafas pelan. Senyum kecil menyungging di bibirnya.
Sebelum keluar dari base camp, Syifa sempat meminta maaf pada Tasya. Walaupun hanya ditanggapi dingin olehnya. Setidak – tidaknya ia sudah beritikad baik. Ia pun sudah mengucapkan rasa terima kasihnya pada Vindy, mahasiswi yang baik hati telah meminjamkannya pakaian. Dan Syifa telah berjanji akan segera mengembalikan
setelah dicuci bersih di rumah nanti.
“Udah, santai aja. Baju kakak masih banyak kok,“ imbuhnya ramah ketika itu.
Rasa terima kasih pun diucapkannya pada Zikra. Pemuda yang sudah beberapa kali ditemuinya sebelumnya. Tetapi tidak pernah saling menyapa antara satu sama lain, setelah pada awal perjumpaannya saat kencan buta. Hari ini dia sudah menjadi penolong baginya. Menolong dengan menggantikan dirinya menjalani hukuman yang seharusnya dilakukan sendiri. Entah alasan apa yang diucapkannya sehingga Pak dosen mau menerima permintaannya.
Memori ingatannya memutar bayangan pemuda cupu yang selalu kabur bila melihatnya. Sampai detik ini Syifa belum mendapatkan jawaban, mengapa dia selalu menghindarinya? Apakah karena orang yang pertama dilihatnya adalah Nadya? Jadi dia tidak mengenalinya.
Syifa mendengus keras. Wajahnya tertunduk seraya memejamkan mata. Beberapa kali angannya menuntun pada setiap pertemuannya dengan Zikra. Pemuda itu seakan sedang memberi memberinya tahu tentang siapa sebenarnya pemuda yang dicarinya selama ini. Walaupun dia tidak berbicara blak – blakan tetapi kata – katanya kerap mengusik batinnya.
Apa mungkin dia bukan dia?
Sebuah mobil sedan hitam melesat meninggalkan desa. Hari hampir gelap saat mobil itu membawa Syifa, Nadya, Bonang, dan Zikra. Tidak ada pembicaraan yang menarik mengisi perjalanan mereka. Seakan mereka terjebak dalam kebisuan. Hanya Nadya yang berulang – ulang mengucapkan terima kasih kepada Zikra, karena telah bersedia mengantarnya pulang. Tidak seperti Abangnya yang enggan mengantarnya pulang. Sementara Bonang sibuk menyanggah setiap ucapan yang meluncur dari bibir Nadya.
Diam – diam Zikra melirik kursi belakang melalui kaca spion yang ada di atas kepalanya. Matanya tertuju
pada seorang gadis yang duduk di kursi belakang. Gadis itu duduk di sebelah Nadya. Tatapan matanya hanya terpfokus pada pemandangan di luar jendela mobil. Entah apa yang sedang dipikirkannya, dia tidak bisa membacanya.
“Eh, Neng Cipa,” ujar Bonang menyadarkan Syifa dari lamunannya. Dia sedikit memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah gadis itu secara langsung.
Serta merta Syifa menoleh ke sumber suara.
“Iya,” sahutnya cepat.
Bonang menyeringai lebar seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Sori, gue boleh kan panggil lo dengan sebutan itu?” Bonang terlihat canggung.
“Oh, ya gak papa kok, Bang.”
“Ayo, elo mau modusin teman gue ya, Bang?” selidik Nadya curiga. "ingat Bang, Cipa udah punya calon, awas lo kalo sampai ..."
Bonang langsung mentoyor kening adik perempuannya dengan jari telunjuknya.
"Sembarangan aja lo kalo ngomong," semprotnya.
"Terus, elo mau ngapain bermanis - manis ria sama si Cipa?"
"Dasar bocah ingusan! Gue belum ngomong, belum apa udah nuduh macam - macam." Bonang mendengus keras.
"Udah - udah, kalian Kakak - adik tapi kelakuan kayak Tom and Jerry. Ribut melulu enggak pernah damai kalo ketemu," akhirnya Zikra angkat bicara tanpa bergeming dari kemudinya.
Pukulan telak untuk Nadya dan Bonang. Kontan mereka terdiam.
Syifa tersenyum kecil melihat tingkah polah kakak - adik itu. Meskipun sudah bertahun - tahun bersahabat dengan Nadya. Tetapi baru kali ini ia bisa berbicara langsung dengan kakaknya. Selama ini Syifa mendengar tentanng Bonang dari hanya cerita Nadya. Ternyata orangnya lebih unik dari sekedar cerita yang didengarnya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
cerria selalu
2022-07-06
0