Syifa dan Zikra masih menikmati makan malam di rumah makan lesehan pinggir jalan yang memiliki menu utama bebek bakar. Namun Syifa yang tidak suka bebek, memilih Ayam bakar lengkap dengan nasi putih dan lalapan. Sedangkan Zikra memesan bebek bakar.
Tanpa bicara mereka terlihat lahap menghabiskan makanan masing-masing. Zikra menyesap es teh manisnya. Matanya menatap tajam wajah yang pernah dikenalnya sepuluh tahun lalu.
Enggak percaya rasanya bisa melihat kamu lagi dengan keadaan dan cara seperti ini. Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Bayangan tentang masa kecilnya muncul dalam benaknya.
Mungkinkah dia ingat tentang aku? Atau masa kecil kami dulu sewaktu di desa. Tapi, aku ragu. Sedari tadi aja wajahnya selalu tertunduk. Sibuk menghabiskan makanannya. Dia pun enggak berusaha untuk ngobrol dengan aku. Walaupun sedari tadi aku sudah banyak bicara. Namun responnya datar. Menjawab pun hanya sekenanya aja.
Zikra mendengus pelan.
Syifa sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa. Segelas air jeruk peras pun sudah ludes tak tersisa.
"Btw udah jam berapa sekarang, nih?" tanya Syifa baru menyadari hari sudah sangat gelap.
"Jam sembilan."
"Apa? Udah jam sembilan?" Syifa mulai panik.
"Kenapa? Kok panik gitu?" selidik Zikra ingin tahu.
"Ya iyalah gue panik. Karena gue udah telat pulang ke rumah," sahutnya geram. "gue itu enggak boleh keluar malam lewat dari jam sembilan malam. Nah, sekarang malah udah jam sembilan, terus gue nyampe rumahnya jam berapa? Jam sepuluh? Bisa lewat gue."
"Masak sih orang tua kamu bisa seekstrem itu?" Zikra mengerutkan dahi seakan tidak percaya.
"Ah, elo belum tahu aja gimana bawelnya nyokap gue, juga galaknya bokap gue."
"Mana ada orang tua yang seperti itu?"
"Ada lah."
"Tapi orang tua aku enggak seperti itu."
"Ya iyalah gak sama. Orangtua kita kan beda. Gimana sih Lo?" Syifa bergegas bangkit dari tempat duduknya. Beranjak berdiri seraya merapikan gaun, dan memakai tasnya yang sempat dilepaskannya saat makan.
"Biar aku antar kamu pulang," cetus Zikra menawarkan diri.
"Enggak usah, makasih. Gue bisa pulang sendiri." ucapan Syifa terdengar sangat lugas. Bukan bermaksud sok jual mahal. Tetapi ia harus menolak tawaran pemuda asing yang sama sekali belum dikenalnya. Khawatir akan menimbulkan masalah baru. Meskipun ia bisa saja berbohong dengan mengatakan pemuda itu adalah calon suaminya. Lagi-lagi ia tidak berani ambil resiko.
"Tapi sekarang kan udah malam. Enggak baik seorang gadis jalan sendirian."
"Iya gue tahu. Lagian yang bilang sekarang pagi itu siapa?"
Lama-lama gadis itu menyebalkan juga.
Zikra mengulurkan tangannya ingin memperkenalkan dirinya pada Syifa. Berharap gadis itu mengenalinya.
"Oya, sedari tadi kita belum saling kenal satu sama lain. Kenalin aku ..."
"Sori, bukan gue sok-sokan atau sombong," sergahnya tidak mengizinkan pemuda itu menyelesaikan ucapannya. "sebaiknya kita enggak perlu saling kenal satu sama lain. Toh, setelah hari ini kita enggak akan ketemu lagi kan?"
Zikra terdiam. Hatinya terluka dengan ucapan teman semasa kecilnya.
"Dunia ini sempit. Kata orang hanya selebar daun kelor."
"Biarin aja mau selebar daun kelor atau selebar daun jambu. Gue enggak peduli. Kalo satu saat kita ketemu lagi, anggap aja kita enggak pernah ketemu."
"Tapi ..."
"Oya, berapa harus gue bayar makanan yang tadi gue makan?" Syifa mengalihkan pembicaraan. Padahal dalam hati ia khawatir uangnya tidak akan cukup.
"Enggak perlu, biar semuanya aku yang bayar. Anggap aja sebagai permintaan maaf karena sudah menyusahkan kamu tadi. Dan sebagai ucapan terima kasih telah menolong acara reuni aku dan teman-teman."
Syifa tersemyun semringah.
"Oke. Trims atas teraktirannya buat malam ini," ujarnya seraya beranjak berdiri. Merapikan gaunnya yang agak kusut, menyelempangkan tas di bahu.
Syukur deh, emang ini yang lagi gue tunggu. Makan enak tapi gratisan.
"Kamu mau kemana?" tegur Zikra berhasil menghentikan langkah gadis itu.
"Mau pulang lah, kan udah malam. Emangnya gue mau ngapain di sini terus?" sahutnya jujur.
"Biar aku antar pulang," Zikra menawarkan diri sebagai penebus rasa bersalahnya.
"Oh, enggak perlu. Enggak usah," Syifa mengibaskan kedua telapak tangannya. Wajahnya tampak ketakutan.
"Kenapa?"
"Gue enggak mau nambahin masalah aja," buru-buru ditutup mulutnya.
"Masalah apa?"
"Enggak papa. Lagian ini bukan urusan elo kok." Syifa segera bergerak pergi meninggal pemuda itu.
Di benaknya terus berpikir bagaimana agar ia tidak terlambat pulang. Pasalnya ia tidak pernah keluar lewat dari jam sembilan malam. Sedang waktu saat ini sudah menunjukkan setengah sepuluh lewat, mendekati jam sepuluh. Gurat kepanikan terlihat jelas di wajah polos gadis itu.
Zikra hanya mengamati Syifa dari kejauhan. Setelah membayar tagihan pemuda itu bergegas pergi meninggalkan halaman parkir rumah makan dengan mengendarai sepeda motor metiknya. Dilihatnya gadis itu masih berdiri di bibir jalan menunggu angkutan umum. Namun dia pergi meninggalkannya begitu saja. Dia tidak ingin mendapat penolakan lagi.
Gengsi rasanya kalo ditolak dua kali. Lebih baik aku enggak perlu menawarkan tumpangan sama cewek keras kepala itu. Pikirnya sebelum melesat pergi meninggalkan halaman parkir.
"Ih, dasar cowok enggak punya perasaan, masak ninggalin gue begitu aja. Seharusnya sebagai cowok gentle dia nawarin gue tumpangan kek, atau nungguin gue sampai gue dapat angkot kek," hardiknya lirih. "Udah ngajak gue ke tempat yang enggak pernah gue datengi, dan parahnya gue sekarang ada dimana? Kalo gue pulang mau naik angkot nomor berapa gue enggak tahu." bulir air matanya menitik dari pelupuk matanya.
Malam minggu yang begitu ramai. Deru mesin kendaraan sesekali diiringi bunyi klakson yang saling bersahutan tatkala sedang terjadi kemacetan. Berbanding terbalik dengan suasana hati Syifa terasa sangat sunyi. Gadis yang masih terduduk di kursi beton di pinggir jalan hanya mampu menikmati kepahitan dalam hidupnya. Putus cinta bukan sesuatu yang menyenangkan. Melainkan sesuatu yang sukses memporak-porandakan hati, hingga sulit berdiri tegak dengan wajah mendongak. Hanya bisa menunduk dan meratapi. Tak terasa pipi Syifa basah oleh air mata yang menganak sungai.
Desiran angin malam berhembus dingin hingga merambat masuk ke dalam sumsum tulang. Sweater yang dipakai Syifa tidak mampu menghangatkan tubuhnya yang terasa kedinginan. Ia memeluk bahunya sendiri dengan kedua tangan seraya menggosok-gosokkan agar tubuhnya terasa sedikit lebih hangat. Rambutnya hitam terurai panjang tertiup angin. Wajahnya tertunduk dalam.
Tiba-tiba terdengar suara deru sepeda motor mendekat, lalu berhenti tepat di depannya. Zikra turun dari sepeda motornya.
Berjalan sejurus mendekati tempat duduk Syifa. Membuka jaketnya untuk menyelimuti gadis yang sedang kedinginan itu dengan sukarela.
Syifa mendongakkan wajahnya setelah seseorang menyelimuti jaket di punggungnya. Matanya terbeliak saat melihat sosok itu kembali.
Diam - diam Zikra menunggui gadis itu dari kejauhan. Dia khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Syifa, jika meninggalnya sendiri di pinggir jalan seperti itu. Oleh sebab itu, Zikra tetap bertahan sampai gadis keras kepala itu pergi menaiki angkot.
Namun sudah beberapa mobil angkutan umum berbeda berhenti menghampirinya, tidak juga ia pergi. Hingga pemuda tampan dengan tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter itu gemas, melihatnya masih diam mematung di pinggir jalan.
"Elo?" Syifa beranjak berdiri seraya melepas jaket dari punggungnya. Lalu mengembalikannya dengan kasar kepada si empunya.
Dengan cepat Zikra meraih jaketnya sebelum menyentuh tanah.
"Kamu ngapain masih berada di sini? Bukannya tadi kamu bilang udah malam? Seharusnya kamu pulang, kan?" tegurnya.
"Iya sih, tapi gue enggak tau mau pulang kemana?" sahut Syifa membuang muka.
"Hahaha. Aneh, ternyata ada ya orang yang enggak tahu mau pulang kemana? Setahu aku, dimana-mana kalo orang pulang itu ke rumah. Kok, jadi keder gitu?"
"Anak TK juga udah tahu, kalo pulang pasti ke rumah," gumam Syifa sinis.
"Kalo udah tahu, ngapain kamu masih betah di sini?" todong Zikra geram. "Ya udah, pulang sana!"
"Terus, elo sendiri ngapain balik lagi ke sini? Bukannya elo udah pulang dari tadi?"
"Ahrk! Itu ..." Zikra tampak ragu mengatakan yang sesungguhnya pada Syifa.
"Apa?"
"Aku lagi ada urusan lain. Kamu aja pulang sana. Lagian kamu kan anak perempuan, enggak baik lama-lama berada di luar. Bisa masuk angin kamu nanti," jawabnya tanpa menatap wajah Syifa yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip.
"Kalo seandainya gue tahu dimana gue berada sekarang, terus gue tahu nomor angkot yang bisa gue tumpangin, pasti udah dari tadi gue sampai rumah, kali ..." sahutnya lirih.
"Apa? Jadi, kamu enggak tahu sama sekali daerah ini?" Zikra terkejut.
Syifa menggelengkan kepala. Bagaimana ia akan tahu banyak tempat bila ruang geraknya selalu di batasi oleh kedua orang tuanya. Tidak ada kebebasan baginya bermain di luar rumah, kecuali rumah Nadya.
" Ya ... kalo kamu enggak tahu daerah ini, kamu kan bisa pake aplikasi buat memesan ojek online, kan?" cetusnya ragu.
"Hp gue lowbet." suara Syifa terdengar bergetar. Menahan air matanya yang sudah memenuhi pelupuk matanya.
Zikra terperanjat kaget. Sepasang bola matanya menangkap tatapan nanar gadis yang sedang susah payah menahan tangisnya agar tidak pecah di hadapannya. Refleks tangan kanan Zikra menarik lengan Syifa, memeluknya erat.
Syifa terlonjak kaget. Sontak mendorong tubuh kekar Zikra menjauhi tubuhnya. Tak pelak satu tamparan mendarat di wajah tampan pemuda itu.
Ya ampun, apa yang gue lakuin barusan? Pikir Syifa seraya menatap telapak tangannya.
"Au!" pekik Zikra kesakitan. Menyentuh pipinya.
"Neng, kalo berantem sama pacar jangan di pinggir jalan, malu banyak yang lihat. Lebih baik selesaikan di rumah saja," seloroh seorang pejalan kaki yang kebetulan lewat dan melihat peristiwa itu.
Syifa tampak gelagepan. Hanya terdiam menatap orang itu berlalu dari hadapannya.
Zikra mengusap pipinya pelan.
"Ternyata selain keras kepala, kamu itu juga sadis, ya?"
"Sori ..." suara Syifa terdengar pelan penuh penyesalan.
Zikra mengernyitkan dahi.
"Tapi, siapa suruh main peluk-peluk segala. Jangan pikir cuma teraktir gue sepiring nasi, terus elo bisa peluk-peluk gue sebebas elo mau? Sori! Emang gue cewek apaan?" kilah Syifa geram.
"Ya, ya, aku minta maaf karena berani kurang ajar sama kamu, padahal tadi aku sebenarnya enggak bermaksud ..." Zikra menggantungkan ucapannya.
"Apa? Mau bilang elo itu cowok mesum?" sanggah Syifa cepat.
"Sembarangan. Aku cowok baik-baik, lahir dari keturunan baik-baik," kilahnya.
"Preeet!"
"Ya udah kalo enggak percaya. Toh, aku enggak maksa kamu buat percaya."
Sejenak suasana diantara mereka mendadak hening. Hanya terdengar deru suara kendaraan yang berlalu lalang. Sepasang manik mata Syifa dan Zikra saling beradu pandang dalam diam.
"Oke. Ini penawaran terakhir. Apa kamu mau aku antar pulang atau tidak? Kalo mau, ayo aku antar sekarang. Tapi kalo kamu tetap enggak mau, aku akan membiarkan kamu membeku di sini sampai besok pagi."
Syifa masih terdiam.
Zikra sudah tidak sabar menunggu jawaban dari Syifa. Namun gadis itu masih terperangkap dalam kebisuannya. Tidak ingin membuang waktu percuma, pemuda itu langsung menarik kesimpulan sendiri. Bahwa Syifa menolaknya untuk kedua kalinya. Tanpa ba-bi-bu Zikra bergerak meninggalkannya. Tetapi belum selangkah dia bergerak Syifa menyentuh lengannya. Kontan Zikra menoleh.
"Gue mau pulang," ucap Syifa dengan suara bergetar.
Kemudian Zikra menaiki sepeda motornya yang terparkir di pinggir jalan. Ada raut keraguan yang terpancar di wajah Syifa.
"Ayo, cepat naik!" seru Zikra.
Akhirnya Syifa duduk di jok boncengan sepeda motor Zikra. Kemudian sepeda motor yang membawa mereka melesat pergi diiringi hembusan angin. Syifa menarik erat ujung jaket Zikra untuk menghilangkan kengeriannya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus bersyukur
2022-07-06
0