Sore itu Syifa baru saja pulang dari sekolah dengan menggunakan jasa ojek online yang dipesankan Bunda dari rumah. Ia segera masuk ke dalam rumah setelah memberi salam.
Di ruang tamu bunda sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Syifa tidak bertanya atau berusaha untuk mencari tahu. Tetapi ia yakin orang yang sedang diajak bicara oleh Bunda adalah Ayah.
“Apa enggak terlalu cepat, Yah?” tanya Bunda gusar. Menggigit bibir bawahnya kuat.
Bunda menoleh ketika menyadari anak gadisnya sudah pulang, berdiri di hadapannya. Sejenak hubungan teleponnya ditunda. Menyodorkan tangan ketika Syifa ingin mencium tangannya. Sepasang matanya menatap raut murung yang terpancar di wajah anak gadisnya.
“Kamu baru pulang, sayang?” tanyanya seraya mengelus kepala Syifa.
“Iya Bunda,” seulas senyum tipis nan kecut tersungging di bibir Syifa. Tanpa banyak bicara Syifa bergerak masuk ke dalam kamarnya.
Ada kegelisahan yang berkecamuk di dalam lubuk hati Bunda. Pandangannya tidak luput pada punggung putri sulungnya yang bergerak pergi meninggalkannya.
"Halo, Bun ... bunda masih di situ ..." suara dari seberang menyadarkannya dari lamunan.
"Iya, Ayah ... Bunda masih ada di sini." kembali fokus pada pembicaraannya via telepon.
Syifa melepaskan tas selempang dari bahunya. Melemparnya di atas kasur dengan sembarang. Tubuh kurusnya terasa lemah seperti tak bertenaga dihempaskan di atas kasur. Wajahnya menengadah menatap plafon kamarnya. Tatapannya nanar menatap benda yang didominasi warna putih itu. Bayangan hari-hari yang pernah dilalui bersama Angga bagaikan slide video yang berputar bergantian di sana.
Sesekali Syifa tersenyum ketika teringat kenangan indah bersamanya. Tiba-tiba air matanya turun tanpa ragu saat kenangan menyakitkan itu muncul di pelupuk mata. Setelah diputuskan cinta oleh Angga, gadis malang itu harus menghadapi kemurkaan Ayahnya. Karena telah mengetahui hubungannya dengan cowok itu.
Brak!
Ponsel kesayangan Syifa jatuh ke lantai dengan sangat keras. Ayah membantingnya dengan sengaja di depan matanya setelah membaca semua chat yang dikirimkan Angga. Gadis itu sangat ketakutan. Tidak berani mengangkat wajahnya yang tertunduk dalam. Untunglah, ponsel itu tidak sampai mendarat di wajahnya. Ayah mengepalkan tangannya erat agar emosinya tidak sampai meluap-luap. Apalagi sampai mendaratkan pukulan di pipi tembam putri kesayangannya. Mata pria berkumis tipis itu merah. Untuk pertama kalinya dia terlihat sangat marah. Karena anak gadisnya telah melanggar perintahnya dan mencederai kepercayaannya.
Bunda tidak bisa berkata-kata untuk meredam kemarahan suaminya. Wanita itu hanya menatap putrinya cemas. Sebagai seorang ibu, hatinya sangat terluka melihat kemarahan suaminya kepada putrinya. Dia merasa sangat bersalah telah mengadukannya.
"Baik kalau begitu. Kamu harus menemui jodohmu minggu depan. Bila perlu dipercepat hari pertunangannya." suara Ayah bergetar namun tegas.
Syifa tidak menjawab. Hanya diam seperti manakin. Menghela nafas pun tidak berani bersuara.
"Kamu jangan coba-coba menghindar apalagi sampai kabur. Kalau kamu tidak ingin bernasib sama dengan hp kamu di lantai itu." menggertak menunjuk ke arah ponsel yang tergeletak di sudut ruangan.
Diam-diam Syifa melirik dari ujung ekor matanya. Hatinya sangat sedih.
Cinta pertama telah kandas. Menyisakan luka hatinya yang dalam. Kini Syifa harus menghadapi perjodohan itu. Gadis ayu itu seakan tidak memiliki energi menghadapi semuanya secara bersamaan. Tetapi tidak ada pilihan yang bisa menyembunyikan dirinya dari kenyataan.
Masih bisakah Syifa berdiri tegak dengan wajah terangkat setelah apa yang dilaluinya? Apalagi sejak putus dari Angga, teman-teman sekolahnya selalu mencerca dan menghinanya . Menahan rasa sakit ketika Angga dan Rima bermesraan di muka umum. Terkadang muncul pikiran untuk pindah sekolah, menghindari tekanan dan mencari suasana baru. Tapi ia yakin keinginannya akan ditolak mentah-mentah oleh Ayah dan Bunda. Walaupun ia bisa menggunakan seribu alasan agar dikabulkan. Tentu saja tanpa mengungkit masalah kandasnya kisah cintanya dengan Angga. Kalau masih ingin selamat.
“Elo harus kuat,Pa. Elo enggak boleh keok di depan si cecunguk itu,” ujar Nadya menyemangati. Hanya dialah satu-satunya sahabat yang selalu ada di saat suka maupun duka seperti saat ini.
Syifa mendengus berat. Ia baru menyadari alasan dibalik larangan Ayah yang selalu membatasi pergaulannya. Rupanya diam-diam Ayah telah menjodohkannya disaat usianya masih belia.
Kenapa harus ada perjodohan di zaman yang katanya sudah milleniai? Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Gue hanya ingin bahagia masa remaja yang indah tanpa beban. Gue bukan Siti Nurbaya. Karena sekarang bukan kisah Nurbaya.
Drreett! Drreett! Ponsel Syifa bergetar. Kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas. Ada sebuah notifikasi di layar ponselnya yang dilapisi fiber glass retak parah. Karena dibanting Ayah tempo hari. Untunglah ponselnya tahan banting jadi tidak sampai mesinnya rusak.
Pesan dari grup kelas. Syifa enggan membukanya. Kemudian ia letakkan ponselnya di atas Kasur begitu saja.
Syifa beranjak duduk. Menyeka sisa tetesan air mata yang tadi membasahi pipinya. Menghela napas panjang agar dua rongga di dadanya terasa lebih plong. Lalu beranjak ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan ganti pakaian, ia pergi ruang tengah. Menyalakan televisi. Menonton acara tv yang biasa ditonton Ade, adik lelakinya. Film kartun anak. Berharap bisa menghibur hatinya yang duka. Namun tetap saja tidak bisa membantu.
*
Pada malam hari di dalam ruang makan. Ayah membahas rencana perjodohan Syifa dengan seorang pemuda bernama Zikra, seorang mahasiswa tingkat akhir. Bunda menanggapi dengan antusias. Namun Syifa bersikap dingin. Nafsu makan yang susah payah diajaknya berdamai agar makanan yang ada di dalam piringnya bisa habis dengan segera. Ia sudah tidak ingin mendengar rencana perjodohannya lagi. Ia ingin segera masuk dan mengurung diri di dalam.
"Kira-kira kapan rencana pertunangan mereka, Yah?" tanya Bunda ingin tahu.
Rona wajah Syifa langsung berubah kecut.
Bunda ... kenapa tanya begitu sih? Bikin hilang mood aja.
"Rencananya sih, setelah Teteh selesai ujian nasional. Nikahnya kalo Teteh udah terima ijazah SMA," jelas Ayah.
Mendadak Syifa terbatuk karena tersedak makanan yang sedang dikunyahnya. Buru-buru diraihnya gelas yang berisi air putih. Lalu diteguknya hingga setengah.
"Pelan-pelan dong, Teh, kalo makan enggak usah terburu-buru. Tersedak deh, jadinya," imbuh Bunda mengusap punggung putri sulungnya.
Syifa hanya tersenyum kecil. Menganggukkan kepala.
"Teteh mau jadi pengantin ya, Yah?" celoteh Ade polos.
Ayah tersenyum lebar menanggapi celotehan putra bungsunya. Membelai rambutnya lembut.
Ya Tuhan. Mengapa jalan hidup hamba seperti ini? Dibohongin pacar sendiri. Sekarang dijodohin udah kayak Siti Nurbaya aja. OMG! Sekarang zaman udah milenial, tapi mengapa gue ngerasa hidup di zaman kolonial? Syifa mendengus pelan dan berat. Diteguknya lagi air di dalam gelas yang sama hingga habis.
Syifa langsung masuk ke dalam kamarnya setelah selesai membantu Bunda mencuci piring. Duduk bersandar di kepala ranjang dengan dialasi bantal pada punggungnya, sungguh menyenangkan.
Ponsel layar sentuh yang sudah seharusnya diservis atau dilem biru, alis dilempar beli yang baru. Masih saja dipeliharanya sangat baik. Bukan karena sayang mengeluarkan uang. Tapi memang tidak punya uang. Sejak kedua orang tuanya tahu tentang hubungannya dengan Angga, setengah uang jajan bulanannya dipotong oleh Bunda sebagai hukuman yang diterimanya. Hingga ia sering kelimpungan bila tiba-tiba ada tugas kelompok yang menuntutnya mengeluarkan sejumlah uang. Bahkan untuk jajan setiap hari di sekolah, ia harus pintar-pintar mengaturnya agar tidak kehabisan uang jajan.
Matanya masih menatap layar ponselnya yang retak. Gambar wajah Angga terpatri di ponselnya. Rasa sukanya pada pemuda itu masih belum luntur dari hatinya. Hingga ia mengalami betapa sulitnya menghapus kenangan bersama mantan. Apalagi jika sang mantan saban hari muncul di depan mata.
Huhh! Menyebalin! Ingin balikan, tapi sudah terlanjur ditolak sebelum bertindak. Ihh! Ingin bunuh diri rasanya namun takut mati. Ditambah dengan seenaknya mengumbar kemesraan di muka umum. Uuuhh! Ingin gue bunuh saja pacarnya tapi takut di penjara. Buru-buru Syifa menggelengkan kepala seraya mengacak-acak rambutnya sendiri.
Syifa langsung mematikan ponselnya. Lalu meletakkannya di atas meja di samping tempat tidurnya. Dan memadamkan lampu kamarnya. Ia pun segera membaringkan tubuhnya dan terlelap dalam tidur.
Syifa kini tampak berusaha menerima kenyataan, alasan kenapa putus hubungannya dengan Angga adalah faktor kedua orang tuanya yang tidak mau merestui. Selain itu, kenyataan tentang Angga yang tidak pernah mencintai secara serius, karena lelaki yang tidak bisa dipungkiri ketampanannya telah memilih perempuan lain. Sementara dirinya hanya dijadikan mainan, penghibur hati lelaki brengsek tak tahu malu itu saat sedang sedih.
Sekarang tidak ada alasan untuk Syifa menolak perjodohannya dengan pemuda yang sama sekali belum dikenalnya. Seakan ia tidak punya kekuatan untuk menolak perjodohan itu seperti biasanya. Dalih-dalih yang sering digaungkannya kini senyap tanpa suara. Ia tidak mau menabuh genderang perang lagi pada Ayah dan Bunda. Ia ingin berdamai. Tidak ingin membuat Ayah murka seperti kemarin. Ia pun tidak ingin melihat Bunda menangis, seperti saat Syifa nyaris kena pukul Ayah. Bunda mengemis dengan berurai air mata untuk meminta pengampunan Ayah.
Bunda pernah bercerita, bahwa dulu Syifa dan pemuda itu sangat akrab. Usia yang terpaut empat tahun membuat anak lelaki itu sangat menyayangi Syifa. Dia memiliki seorang adik perempua yang sebaya dengan Syifa. Gadis kecil itu sering iri dengan Syifa. Hingga terkesan merasa Syifa telah merebut kasih sayang Kakaknya darinya. Tetapi entahlah. Ia tidak bisa mengingatnya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus Sehat
2023-07-28
0
Christy Oeki
bahagia selalu
2022-07-06
0
Raini Sidarra aceh
semangat kk
2020-07-15
1