Syifa terbeliak kaget saat perempuan itu membawanya memasuki aula sekolah yang luas. Sudah ada banyak orang memadati ruangan itu. Sepertinya sedang ada pesta. Bukan pesta besar atau pun mewah. Para tamu undangan yang hadir pun terlihat tidak menampilkan status sosial yang mencolok. Dari wajah-wajah yang Syifa amati mereka semua sepertinya sebaya.
"Sekarang kamu harus naik ke atas panggung. Karena kami semua sudah lelah menunggu kedatangan kamu. Dan kami udah enggak bisa menangani mereka lagi, karena sedari tadi mereka udah enggak sabar mendengar suara kamu." tuturnya panjang lebar. "aku harap kamu enggak mangkir lagi."
Syifa mengerutkan dahi. Berusaha mencerna maksud setiap kalimat yang meluncur dari bibir perempuan di hadapannya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya nyengir seperti orang bodoh.
Apa ini? Dia ngomongin apa juga gue enggak ngerti.
"Tapi, saya bukan ..." Syifa mengibaska kedua telapak tangannya.
"Ayo, cepat naik!" desaknya menyorong tubuh Syifa mendekati panggung.
Syifa berusaha menjelaskan tentang dirinya bukan seorang penyanyi. Tapi ia hanya gadis biasa yang tidak bisa bernyanyi.
Ya ampun, gimana ini? Kakak ini terus aja desak gue untuk nyanyi di atas panggung. Padahal gue udah omongin, gue bukan artis, gue bukan biduan. Kalo gue paksain naik ke atas panggung, terus suara gue terdengar jelek, gue enggak bisa bayangin gimana reaksi mereka semua. Aduh ... sama aja gue bunuh diri.
Syifa mendengus berat.
Di luar gedung. Dua sosok pemuda tengah berbicara serius.
"Bon, aku minta sekarang kamu harus menghentikan Puspa," pinta pemuda yang belakangan diketahui bernama Zikra.
"Tapi Zik ..."
"Dia bukan artis yang kalian tunggu." Zikra ingin menjelaskan, namun dia tahu sekarang bukan waktu yang tepat. Dia harus menyelamatkan gadis itu. Kalo tidak acara reuniannya akan tambah hancur dengan suara gadis yang belum tentu enak didengar.
"Maksudnya?" tanya Bonang belum mengerti.
"Kebanyakan nanya." Zikra bergerak masuk meninggalkan temannya di depan gedung.
Di dalam aula. Hiruk pikuk orang-orang yang memenuhi ruangan tampak antusias melihat seseorang berdiri di atas panggung.
Syifa sudah berdiri di atas panggung. Wajahnya tampak pucat pasi. Kedua tangannya gemetar menggenggam erat mikrofon. Tatapannya nanar melihat ke sekeliling ruangan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba semua orang mulai gusar hanya melihat Syifa berdiri mematung di atas panggung.
"Ayo cepetan nyanyi!" pekik perempuan bernama Puspa setengah berteriak.
Nyanyi? Bagaimana mungkin? Pegang mikrofon aja badan gue udah panas-dingin begini. Jadi boro-boro gue bisa
nyanyi?
Tak lama berselang Zikra datang bersama teman keribonya, Bonang.
Syifa menoleh pada pemuda tampan itu. Tatapan matanya mengiba, seolah sedang meminta pertolongan.
Zikra membalas tatapan gadis belia itu. Kemudian berbicara pada Puspa, menjelaskan tentang gadis yang tengah
mematung di atas panggung.
"Ayo dong cepetan nyanyi!" seru salah satu tamu undangan yang berdiri tepat di depan panggung.
"Iya, emangnya kita-kita cuma mau melihat kamu jadi patung di panggung," timpal tamu yang lain.
Hiruk pikuk mulai terjadi. Mereka semua kini benar-benar gusar dan geram.
Puspa sepertinya tidak menerima apa pun alasan Zikra. Dengan kesal diserahkannya tas rajut milik Syifa yang sempat disitanya karena menolak naik ke atas panggung. Lalu perempuan berpenampilan menarik itu, meminta salah satu anggota musik pengiring langsung memulainya.
Dentum suara drum bertali diiringi iringan suara alat musik yang lain, hingga tercipta komposisi irama musik yang
merdu. Seketika suasana riuh rendah penonton mulai tertib. Tidak ada yang protes lagi.
Ya Allah, gimna ini? Gue harus nyanyi apa? Gue enggak pernah nyanyi di muka umum seperti ini. Gue hanya jago nyanyi di kamar mandi.
Syifa mendengus berat. Menatap para penonton yang sudah tidak sabar menunggu nya bernyanyi.
Zikra bergerak mendekati pinggir panggung.
"Kamu nyanyi saja yang kamu bisa," imbuhnya.
Syifa menggelengkan kepala.
"Anggap saja kamu enggak sedang berada di atas panggung. Bayangkan kalo kamu sedang ada di tempat lain."
Syifa masih belum bisa memiliki keberanian. Kepalanya menggeleng lagi.
"Ayo, bernyanyilah!" seru Zikra. "Nyanyikan lagu yang biasa kamu nyanyikan di dalam kamar mandi."
Syifa hampir menangis.
"Aku yakin kamu bisa. Pejamkan matamu kalo kamu takut."
Syifa berusaha mengendalikan diri. Mencoba mengikuti saran pemuda yang sama sekali belum dikenalnya. Memejamkan mata. Membayangkan dirinya seolah berada sendiri di dalam kamar mandi. Memegang mikrofon seperti memegang gayung saat mandi. Suara-suara berisik di dalam aula sekolah mendadak hening.
Syifa menarik nafas panjang. Sebuah lagu milik Rizky Fabian, mengalun merdu dari bibir Syifa. Sontak semua yang
hadir terkagum.
Zikra tersenyum lega. Perlahan dia berjalan menjauhi panggung. Menikmati indahnya suara gadis yang seharusnya
tidak berada di sini.
Maaf nona aku bukan bermaksud mengerjaimu. Aku akan minta maaf kepadanya setelah turun dari panggung. Pikirnya.
Senyum Zikra masih mengembang. Dia memutuskan keluar menghindari keramaian.
Zikra berharap gadis itu masih menungguinya di kafe. Sedangkan dia belum bisa beranjak dari acara reuninya yang nyaris hancur gara-gara artis pengisi acara mendadak jatuh. Kemudian dia meninggalkan ruangan pesta, mencari tempat yang lebih nyaman untuk menelepon. Tas rajut milik gadis itu masih bersamanya. Tanpa canggung dia menyelempangkan di bahunya.
Sebuah nama bertuliskan 'Syifa' muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia melakukan sambungan telepon.
Tiba-tiba ponsel yang berbeda di dalam tas milik Syifa berdering. Awalnya Zikra ragu mengambilnya. Khawatir
gadis itu marah kepadanya karena telah lancang menyentuh barang miliknya. Tetapi Zikra heran, saat sambungan teleponnya tidak terjawab hingga mati secara otomatis, maka ponsel Syifa ikut mati.
Akhirnya dia memberanikan diri mengambil ponsel Syifa dari dalam tas. Sungguh mengejutkan. Layar ponsel Syifa
rusak berat. Tetapi gadis itu tetap membiarkannya, seakan tidak ada upaya untuk diperbaiki.
Ya ampun hp rongsok kayak gini masih dipakai.
Zikra menghubungi nomor itu lagi. Lagi ponsel Syifa berdering. Pemuda itu terkesiap. Dia tidak menyangka bahwa
gadis yang sejak sore tadi ditunggu kini berada di depan matanya. Rona bahagia langsung terpancar jelas di wajahnya. Gurat senyum di bibirnya terlihat jelas. Tetapi Zikra heran mengapa gadis itu tidak mengenali walaupun sudah membawa sebuket mawar merah muda. Walaupun seharusnya berwarna merah. Dan yang lebih mengherankan lagi Syifa tadi terlihat tidak membawa mawar.
Zikra ingin menyangkalnya berdasarkan fakta-fakta di TKP. Namun ada yang lebih sulit dipungkiri adalah
nomor yang dihubunginya berada di tangannya. Beberapa kali dicoba hasilnya tetap sama.
"Enggak mungkin seperti ini."
"Hei, apa yang elo lakuin sama hp gue? Elo mau nyadap hp gue ya?" tuding Syifa tiba-tiba muncul di hadapan Zikra.
Buru-buru Zikra memutuskan hubungan teleponnya.
"Enggak lah, buat apa? Emangnya kamu orang penting di negeri ini, sampai aku sadap hp kamu," kilahnya.
Menyerahkan semua barang milik Syifa.
"Terus, tadi ngapain elo periksa-periksa hp gue?" selidiknya penuh curiga.
"Oh, tadi hp kamu bunyi, terus aku keluarin dari tas. Tapi setelah itu aku bingung antara mau jawab atau
enggak. Jadi ya ..." Zikra menggantungkan ucapannya bingung harus memberi alasan apa lagi.
Syifa segera memeriksa ponselnya. Ternyata Zikra benar ada banyak notifikasi panggilan dilaporan panggilan masuk. Ia gusar.
Bagaimana ini? Syifa terlihat sangat frustasi. Ia takut kalo calon suaminya sampai mengadukan tentang pertemuan sore tadi pada orang tuanya. Apa yang akan dijawabnya nanti. Menghela nafas berat.
"Kamu lapar enggak?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Apa?
"Ya iyalah. Secara sedari tadi gue enggak sempat makan atau jajan. Semua itu gara-gara elo yang ngajak gue ke
tempat nyebelin ini." gerutunya memalingkan wajahnya. "Elo harus membayar kerja keras gue hari ini."
"Kerja keras?"
"Iya. Karena gue udah di suruh nyanyi di atas panggung. Padahal jelas-jelas gue bukan penyanyi."
"Oh iya." Zikra tersenyum kecil, memperhatikan keimutan wajah Syifa yang ternyata bila diperhatikan
menggemaskan juga.
Ternyata gadis yang tengah berdiri di hadapannya, adalah gadis kecil yang dulu sering diajaknya bermain sewaktu
masih kecil. Sekarang gadis itu telah bermetamorfosa menjadi gadis yang cantik.
"Hei, Mas, Bang," telapak tangan Syifa melambai di depan wajah Zikra.
Zikra berkedip, sadar dari lamunannya.
"Ah, gimana sih, tadi katanya mau ngajakin makan, eh sekarang malah ngelamun."
"Sori-sori." Zikra tidak enak hati karena ketahuan sedang melamun.
Zikra membawa Syifa ke rumah makan. Memesan beberapa menu makanan untuk mereka makan. Tak lupa air minum juga dipesan. Dalam hati Zikra ingin sekali mengatakan kepada Syifa, bahwa dirinya pemuda yang ingin ditemui sore tadi. Namun urung dia utarakan. Pasalnya sejak tiba di rumah makan, Syifa terus saja membahas pemuda yang ditemuinya di kafe, kemudian hilang entah kemana.
"Rupanya dia sudah menemukan pemuda lain di kafe tadi, yang dipikirkannya calon suaminya," bisiknya
dalam hati.
Semua makanan dan minuman yang mereka pesan telah datang. Tanpa ragu Syifa menyantapnya.
"Siapa tahu cowok itu bukan cowok yang kamu cari," cetus Zikra tiba-tiba.
Syifa terkejut dan terbatuk mendengar ucapan Zikra. Buru-buru ia meraih gelas minumannya, lalu meneguknya
hampir setengah.
Walaupun sebenarnya gue berharap begitu.
"Sori. Maksud aku, emangnya kamu berpikir cowok yang ingin kamu temui bukan dia, tapi orang lain."
ungkap Zikra menegaskan.
"Mana bisa gue mikir kayak gitu. Gue kan belum pernah ketemu dia, dan lihat mukanya seperti apa. Lagian
gue percaya sama Nadya. Enggak mungkin dia bohongin gue. Dia kan sahabat sejati gue."
"Tapi kan dia cuma manusia biasa, bisa aja salah."
"Emang sih."
"Apa kamu enggak mencoba berpikir kalo cowok yang kamu tuju itu aku?"
"Udah stress kali lo ya. Ya enggak lah. Lagian alasan gue percaya cowok itu cowok yang dijodohin sama gue,
karena dia bawa sekuntum mawar merah."
Zikra terdiam.
"Emangnya elo lupa? Elo kan bawa sebuket mawar merah muda," lanjut gadis itu tersenyum puas. "Aneh lo!"
Seandainya sebelum datang ke kafe, aku masih bisa mendapatkan stok mawar merah, mungkin kejadiannya enggak salah faham seperti ini.
Zikra mengingat kejadian yang dialaminya sebelum datang ke kafe. Ketika itu dia datang ke toko floris untuk
membeli mawar merah yang disyaratkan dalam kencan buta nya. Tetapi entah mengapa setiap tempat yang didatangi selalu habis stok mawar merah. Kemudian berhubung dia sudah telat sepuluh menit dari waktu yang telah ditentukan. Tanpa pikir panjang langsung membeli stok mawar yang ada. Kebetulan dari sekian banyak warna mawar yang tersisa hanya warna merah muda terlihat menarik dimatanya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus berkarya
2022-07-06
0
Penjaga Hati
lanjuuut kk ♥️
salam dari karyaku😊
2020-07-24
1
Uswatun Hasanah
Hi, readers, trims y bagi yg udh baca n ngelike cerita aku. tolong berikan saran dan kritikan yg membangun supaya cerita yg kubuat bisa lebih bagus lagi. stay read y 😁🙏
2020-03-21
2