Syifa sudah berteriak-teriak seperti orang gila. Namun orang yang dipanggilnya seperti tidak punya telinga. Boro-boro mau menyahut, menengoknya saja ogah. Ia mendengus resah.
“Ih, nyebelin banget sih? Mulut gue udah kayak terompetan, masak dia enggak dengar juga?” gumamnya kesal.
“Hei! Berisik!” seru salah satu mahasiswi dingin, tiba-tiba berdiri di hadapan Syifa. Gadis cantik berkulit bersih. Rambutnya terurai panjang. Di samping kanan-kirinya ada mahasiswi lain berdiri mengapitnya layaknya dayang-dayang. "Siapa kamu?"
Syifa terperanjat kaget. Belum sempat membalas sapaan, ia sudah diberondong banyak pertanyaan.
"Kenapa kamu teriak-teriak menyebut nama Zikra? Udah kayak Tarzan aja. Apa hubunganmu dengan dia?"
"Maaf Kak. Tadi saya cuma mau panggil calon suami saya, Tapi ..."
Ketiga mahasiswi itu tergelak menertawakan jawaban polos Syifa yang terdengar konyol bagi mereka.
"Yakin anak kecil kayak elo gini jadi calon istri Zikra?" selidik seorang mahasiswi yang berdiri di sebelah kanan. “Jangan mimpi deh!”
"Anak kecil, kakak saranin jangan cari penyakit dengan mengaku-ngaku pacar atau calon istri Zikra, deh," timpal mahasiswi yang berdiri di sebelah kiri.
"Kenapa?" tanya Syifa ragu.
Ketiga mahasiswi itu saling beradu pandang. Lalu menyeringai sinis.
Syifa mengerutkan dahi. Pikirannya banyak diliputi pertanyaan tentang ketiga kakak mahasiswi di hadapannya. Mengapa mereka tiba-tiba repot mempertanyakan hubungannya dengan pemuda bernama Zikra? Apakah mereka punya hubungan khusus dengan pemuda cupu itu? Entahlah.
"Oh, jadi kamu belum tahu?" mahasiswi yang berdiri di sebelah kanan bergerak maju ke depan Syifa. Tatapannya sinis dan dingin. Bagai harimau lapar yang siap menerkam mangsanya.
Kontan Syifa bergerak mundur selangkah ke belakang. Mendadak rasa takut muncul menyelimuti hatinya.
*
Nadya tertunduk dalam. Senyumnya yang lebar kini terlihat muram. Kedatangannya ke tempat KKN kakak lelakinya tidak bisa memuluskan jalannya untuk mengenal lebih jauh tentang Zikra. Omelan Abangnya benar-benar memukul telak langkahnya mundur. Betapa tidak, selain ia akan kalah saing dengan kakak mahasiswi yang
sudah jelas-jelas banyak mengejarnya sejak lama. Ia akan kecewa berat karena sudah punya calon istri.
Nadya menangis seraya memajukan bibir bawahnya.
“Diam, jangan nangis. Bikin gue malu aja,” seru Bonang dengan mata mendelik.
Nadya langsung menghentikan tangisnya. Namun tidak merubah bentuk bibirnya yang tidak sedap dipandang.
“Sama siapa elo kemari?” selidik Bonang.
“Sama teman,” sahutnya pelan.
“Mana orangnya? Sedari tadi gue enggak lihat orang lain selain elo.”
Nadya meneloh ke belakang. Dia merasa temannya tadi ada bersamanya. Berdiri tepat di belakangnya. Tetapi Syifa mendadak hilang tanpa jejak. Dia tergagap saat didesak Abangnya untuk menunjukkan temannya, Syifa.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri. Terdengar suara gaduh. Di kejauhan sekelompok mahasiswa dan mahasiswi bersorak di pinggir sawah. Mereka seakan sedang memberi semangat kepada orang yang ada di lahan persawahan yang penuh lumpur.
“Ayo! Ayo! Ayo!” pekik mereka bersahut-sahutan.
Nadya dan Bonang beradu pandang. Tanpa komando mereka berlari mendekati tempat kejadian.
“Tasya! Tasya! Tasya!” pekik sekelompok mahasiswa dan mahasiswi bersahutan.
Mereka memberi semangat untuk seorang mahasiswi yang sedang berjibaku di kubangan lumpur sambil menghajar seorang gadis yang usianya jauh lebih muda darinya.
Gadis itu tidak patah arang. Walaupun usianya masih sangat muda, tubuhnya kurus dan lumaya tinggi mampu menjatuhkan lawannya beberapa kali ke dalam lumpur.
“Ayo! Ayo! Ayo!”
Nadya terbeliak kaget melihat Syifa berada di kubangan lumpur bersama seorang mahasiswi.
“Syifa!”
Sementara seorang petani pemilik sawah marah besar. Setelah mengetahui hasil bajakannya rusak akibat ulah dua gadis yang sedang baku hantam. Sebenarnya pertikaian antara Syifa dan Tasya tidak seekstrem seperti pegulat yang bisa membanting lawan bak membanting bantal kapuk. Mereka hanya perang saling lempar lumpur ke tubuh
lawan.
Bersama dosen pamong dan ketua kelompok, petani berhasil menghentikan pertikaian di antara dua gadis itu.
“Hentikan!” pekik dosen pamong.
Sontak keriuhan yang menghebohkan mendadak hening. Tak pelak kedua gadis yang masih sibuk berjibaku di lumpur, langsung menghentikan aktifitasnya. Serta merta mendongakkan kepala masing-masing.
Tasya terbeliak kaget melihat dosen pamongnya yang tampak geram melihat tingkah polahnya.
Tidak berbeda dengan Syifa. Reflex menghentikan pertikaiannya dengan gadis yang lebih senior darinya.
“Kamu?” Zikra terkejut melihat gadis itu.
Syifa membulatkan matanya menatap pemuda yang juga menatapnya tajam. Ia sangat terkejut bisa bertemu lagi dengannya. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan bertemu dengannya setelah malam itu. Tapi, mengapa malah sekarang bertemu lagi?
Benar kata peribahasa yang mengatakan, ‘Dunia selebar daun kelor’. Kemana pun Syifa melangkah pada akhirnya bertemu jua dengan dia. Pemuda dingin, baik hati, dan ketampanannya tidak diragukan lagi.
“Tasya! Apa yang kamu lakukan di sini? Bikin malu saja.” Todong dosen pamongnya.
Tasya menundukkan kepalanya.
*
Semua mahasiswa dan mahasiswi kelompok KKN telah membubarkan diri. Begitu pula dengan dosen pamong dan petani itu meninggalkan tempat kejadian. Kini tersisa Syifa, Tasya, dan Zikra. Sedangkan Nadya melihat dari kejauhan karena desakan dari Bonang.
“Bersihkan tubuh kalian. Setelah itu kalian datang base camp,” titah Zikra pada dua gadis yang bermandikan lumpur di hadapannya.
Tasya langsung menurut. Lalu melenggang pergi.
Syifa terdiam mematung di tempatnya berdiri. Air matanya mengucur dari pelupuk mata.
Zikra yang hendak beranjak pergi, mengurungkan niatnya karena mendengar isakan gadis muda itu.
“Kenapa? Kamu mau pakai air matamu sebagai senjata ampuh untuk menghindari dari tanggung jawab?” tanya Zikra dingin. "Ingat, air mata kamu enggak bisa merubah keadaan, ya."
Syifa menyeka air matanya dengan tangan yang penuh lumpur.
“Siapa bilang? Gue enggak begitu kok,” kilahnya lirih. Masih mengusap air matanya.
“Lalu, kenapa kamu menangis? Dan masih berada di sini? Udah pergi sana!” suaranya terdengar tegas dan dingin. Menyiratkan kewibawaan.
“Elo itu bodoh atau apa sih? Coba lo pikir, gue datang ke sini aja baru, itu pun diajak sama teman gue yang enggak punya perasaan,” tutur Syifa berlinang air mata.
Maafin gue, Pa. gue udah bikin elo menderita kayak gitu.
“Terus kamu mau apa?”
“Terus … gue enggak tahu mau kemana? Gue juga enggak punya baju ganti,” sahutnya jujur.
“Terus?”
“Sedari tadi elo ngomong terus-terus melulu, udah kayak tukang parkir. Intinya gue enggak tahu apa-apa, titik!” Syifa geram.
Zikra mengangguk-anggukkan kepala. Entah dia mengerti atau tidak. Lalu memutar tubuhnya hendak melangkah
ke depan.
“Dasar aneh! Sama anehnya sama cewek tadi,” gumam Syifa kesal.
“Aneh? Kenapa?” Zikra memutar kepalanya melihat Syifa.
“Ya aneh aja. Udah tahu gue enggak apa-apa, kenapa kakak mahasiswi tadi ngajakin gue ribu? Terus, sok ngaku-ngaku sebagai pacar calon suami gue. Dia bilang gue halu karena kepedean bilang gue calon istrinya ...” Syifa tidak melanjutkan ucapannya.
”Calon istri?” bisik Zikra mengulangi kalimat terakhir Syifa sedikit ragu.
“Terus, apa bedanya sama dia? Cantik-cantik matanya katarak. Atau emang matanya udah buta, mau sama cowok kayak calon suami gue? Sebenarnya gue juga sendiri, ogah sama dia …” Syifa menjeda ucapannya sejenak. “kalo bukan karena udah dijodohin dari kecil … yah, terpaksa deh. Tapi, kok bisa ya dia selingkuh?”
Zikra memutar tunuhnya setelah mendengar penjelasan Syifa. Dahinya mengernyit. Rasa ingin tahu mendadak membuncah di dadanya.
“Siapa calon suami kamu?”
“Zikra. Muhammad Zikra Al Fathir.” Sahutnya mantap.
Zikra terperanjat kaget. Degup jantungnya berdetak sangat kencang. Tatapan matanya sangat lekat pada gadis mungil di depannya.
Mungkinkah itu aku?
Bersambung …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
ceria selalu
2022-07-06
0