Syifa telah selesai mandi dan ganti pakaian. Semua baju kotornya telah dimasukkan ke dalam kantong kresek. Mungkin ia harus berterima kasih kepada kakak mahasiswi yang telah berbaik hati meminjamkan pakaian padanya. Termasuk sabun dan sampo yang dipakainya. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Ya iyalah, selama dunia
belum kiamat pasti ada orang-orang baik di sekitar kita. Tidak mungkin dalam satu tempat isinya hanya ada orang jahat. Emangnya sarang penyamun?
Syifa mendengus pelan. Keluar dari kamar mandi rumah yang dijadikan base camp para mahasiswa dan mahasiswi kelompok KKN. Ia terkejut saat melihat Nadya tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar mandi.
Nadya menyeringai lebar. Seakan dia sedang mengajak Syifa untuk berdamai. Namun Syifa menanggapinya dingin. Beranjak pergi dari hadapan Nadya.
“Pokoknya elo harus bertanggungjawab kalo nyokap bokap gue marah,” jelas Syifa menenteng kresek pakaian kotornya.
“Bukan gue yang buat elo jadi kotor-kotor begitu,” kilah Nadya membela diri. Berjalan membuntuti.
“Tapi elo kan yang udah ngajak gue ke sini?” Syifa memutar tubuhnya sejenak menghentikan langkahnya.
Kontan Nadya ikut menghentikan langkahnya secara otomatis.
“Iya sih,” gumam Nadya. “tapi, kalo masalah elo beramtem sama mereka, bukan gara-gara gue. Itu kesalahan elo sendiri yang mau terpancing sama omongan mereka.”
“Jadi elo mau cuci tangan?”
“Gue kan belum makan, ngapain cuci tanga?”
“Itu cuma ungkapan doang, Nadya,” sahut Syifa cepat.
“Oh. Enggak gitu juga, Pa.”
Syifa melipat kedua tangannya di depan dada. Mendengus keras. Sorot matanya tajam. Berhasil membuat Nadya tertunduk takut.
“Kenapa sih, elo enggak ngertiin gue? Padahal gue udah banyak nolongin elo. Salah satunya gue mau gantiin posisi lo sewaktu kencan buta kemarin,” suara Nadya terdengar lirih. Bibirnya terlihat mencebik.
“Ohhh. Elo minta gue balas budi karena kebaikan lo sama gue, gitu?” Syifa maju satu langkah ke depan.
“Bukan begitu maksud gue,” kilahnya cepat mendongakkan wajah.
“Terus apa?”
“Gue cuma kepingin elo bantuin gue gitu doang kok, enggak lebih.”
“Bantu?” Syifa mengerutkan dahi. “Bantu apa?”
“Itu,” Nadya tersipu malu. “Gue mau elo bantuin gue pdkt sama Bang Zikra.” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya karena malu sendiri.
“Apa? Jadi elo mau merebut calon suami gue juga?” Syifa mendelik tajam.
“Bukan-bukan,” jawab Nadya cepat sembari mengibaskan kedua tangannya.
Ya ampun. Kenapa gue lupa? Calon suaminya si Cipa namanya Zikra juga, kan?
“Ehemm!” terdengar suara orang berdehem cukup keras.
Sontak Syifa dan Nadya terkejut. Mereka menoleh ke sumber suara. Seorang pemuda bernama Zikra muncul di hadapan mereka. Tanpa basa-basi dia mengintruksikan Syifa datang ke ruang pertemuan, untuk membahas masalah pertengkarannya dengan Tasya. Syifa pun langsung mengiyakan.
Langkah kaki Syifa melambat ketika baru memasuki ruangan. Rasa gugup yang teramat mendadak menderanya. Matanya menyisir setiap sudut ruangan. Mayoritas orang-orang yang hadir berjas almamater. Hanya dirinya, Nadya, Pak tani, dan dosen pamong yang tidak menggunakannya. Ditemani Nadya, gadis berambut panjang itu memasuki ruang.
Hehhh! Kenapa gue jadi mirip terdakwa begini?
Syifa menelan ludahnya hingga membasahi kerongkongannya yang kering.
Pertemuan itu dipimpin oleh dosen pamong. Kemudian Tasya dan Syifa diberi kesempatan melakukan pembelaan atas diri masing-masing. Termasuk menceritakan kronologi peristiwa menurut persepsi masing-masing.
Suasana di ruang pertemuan sangat serius dan sedikit menegangkan. Sesekali rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi yang hanya jadi penonton terdengar bersorak. Ada pula yang berkomentar di belakang dengan suara bisikan namun dapat terdengar jelas oleh orang lain. Tasya mendapat kesempatan berbicara terlebih dahulu. Hampir semua ucapannya menyudutkan Syifa.
Syifa beberapa kali menyela dan menyanggah ucapan mahasiswi tingkat akhir itu. Namun semuanya dapat dipatahkan. Alasannya ia adalah orang luar yang seharusnya tidak masuk ke dalam area mereka.
Tibalah Syifa mendapat giliran berbicara. Tapi ia nyaris kehilangan kata-kata untuk membela diri. Ia hanya bisa berkata jujur. Entah mereka bisa terima atau tidak tentang kejujurannya. Ia tidak bisa mempresiksinya.
“Sebelumnya, saya mohon maaf terutama kepada kakak Tasya, karena mungkin saya sudah menyakiti secara fisik atau …”
“Gue enggak maafin,” sela Tasya cepat.
“Huuuu …” seru para mahasiswa dan mahasiswi yang duduk di kursi penonton kompak.
“Tenang, tenang, tenang anak-anak!” titah dosen pamong menenangkan.
Mereka pun tenang.
“Tasya, beri kesempatan adik ini berbicara, tolong agar tidak menyela,” pinta dosen pamong. “silahkan adik lanjutkan.”
“Terima kasih pak.”
Keringat dingin membasahi keningnya. Degup jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Rasa gugup yang tidak berkesudahan sulit dikendalikannya. Ia menarik nafas perlahan, lalu dihembuskan pelan-pelan.
“Saya mohon maaf kepada Bapak Dosen dan kakak-kakak mahasiswa, karena kedatangan saya dan teman saya sudah mengganggu ketenangan kalian semua.” suara Syifa terdengar pelan namun jelas didengar.
Tasya membuang muka.
“Saya juga minta maaf kepada Bapak pemilik sawah, udah merusak sawah Bapak. Saya mengakui kalo saya salah.” Syifa terdiam. Wajahnya tertunduk dalam. Getar suaranya semakin lama semakin jelas terdengar.
Nadya ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Syifa saat ini. Tetapi dia tidak bisa menolongnya dalam hal ini. Jika seandainya masalah yang dihadapi Syifa hal lain mungkin dia bisa berdiri di barisan paling depan. Seperti ketika Angga memutuskan hubungan secara sepihak dengan Syifa. Dia yang menghajar Angga sampai babak belur. Dia pun mau menjadi pengganti Syifa saat kencan buta. Meskipun pada akhirnya dia maupun Syifa belum tahu siapa sebenarnya pemuda itu.
“Jujur Pak, saya enggak tahu bakalan seperti ini. Saya pun enggak tahu teman saya bakalan ngajak saya ke sini,” Syifa menunjuk Nadya.
Nadya terkejut, menyadarkannya dari lamunan. Bonang menatap adiknya sinis. Nadya menundukkan kepalanya.
“Saya enggak punya niat atau rencana mau berantem sama kak Tasya, Pak.” suara Syifa bergetar. Bulir-bulir bening meluncur dari pelupuk matanya yang indah.
“Lalu mengapa kalian bisa sampai merusak sawah Pak tani ini?” selidik dosen pamong menunjuk Pak tani yang duduk di sebelah kirinya.
Syifa menoleh ke arah Tasya yang sedang mendelik memelototinya.
“Itu karena Kak Tasya yang mendorong saya, Pak.”
“Bohong, Pak!” sanggah Tasya cepat. “dia yang dorong saya duluan, Pak.”
“Itu enggak benar, Pak. Kak Tasya yang mendorong saya duluan bersama kedua temannya.”
Syifa dan Tasya sibuk memberi statemen pembenaran sebagai pembelaan diri masing-masing. Sedangkan para mahasiswa yang lain ikut sibuk menyoraki mereka. Hingga suasana di ruang pertemuan menjadi sangat gaduh.
Pak dosen memukul meja agar suasana kembali tenang. Pria berkacamata minus itu menyuruh Syifa menjelaskan dengan detil kronologi peristiwa tadi siang.
Syifa pun menceritakan kronologi dari awal kedatangannya bersama Nadya di areal persawahan. Hingga perjumpaannya dengan Tasya dan kedua temannya. Tasya merasa terganggu dengan suara Syifa yang berisik memanggil nama seseorang seperti Tarzan di hutan.
“Kalo boleh Bapak tahu, nama siapa yang kamu panggil? Apa hubungan kamu dengan orang yang kamu panggil?” tanya dosen ingin tahu.
Syifa menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya sibuk memilin ujung bajunya. Ia sangat gugup. Terlebih saat menyadari Zikra sedang menatapnya lekat dengan rona penasaran menunggu jawabannya. Dilihatnya orang-orang yang ada dalam ruangan satu per satu. Tidak ada wajah yang ingin dilihatnya. Ya, dia. Si cupu berkacamata minus
tebal, berambut lepek. Kalo nyengir terlihat gigi ompongnya di bagian depan atas.
“Ayo, jawab saja, tidak perlu takut,” desak pria bertubuh kekar itu.
“Ehhh. Nama Z-Zikra, Pak,” sahut Syifa pelan.
“Siapa? Coba diperjelas lagi.”
Syifa terdiam sejenak. Mengulum bibirnya tegang.
“Zikra. Muhammad Zikra Al Fathir,” ujarnya cepat.
Sontak suasana menjadi riuh rendah. Dosen pamong menatap Zikra heran.
“Dan dia … calon suami saya.”
Kontan mereka berteriak histeris. Terutama para mahasiswi. Sepertinya mereka patah hati berjamaah.
Zikra menghela nafas panjang seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Dosen pamong meminta penjelasan pada zikra.
Syifa kembali menyisir setiap sudut ruangan. Mendadak matanya berbinar setelah melihat pemuda yang sedari tadi dicarinya muncul di antara para mahasiswa di bangku belakang. Ia beranjak berdiri. Dengan lantang ia memanggil nama Zikra seraya melambaikan tangan ke arahnya.
Semua orang yang ada di dalam ruangan terkejut. Tak terkecuali pemuda itu. Dia terlihat bingung. Dia sangat risih ditatap oleh banyak orang. Tanpa berkata apa pun dia memilih pergi meninggalkan keramaian.
Syifa mengerutkan dahi melihat pemuda yang dianggapnya calon suami pergi begitu saja.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
sehat selalu
2022-07-06
0
Risma Dewi Lestari
bikin ngakak sumpah🤣🤣🤣🤣
2020-08-16
2