Gadis bergaun pink renda yang dibalut dengan sweter putih tanpa mengaitkan semua kancingnya. Terpaksa kembali ke kafe meskipun dalam hati kecilnya ia enggan, setelah mendapat pesan singkat dari Bunda, dan memintanya untuk mengabadikan momen pertemuan mereka dengan melakukan swafoto bersama, nantinya akan dikirim ke orang tua si cowok, alias calon mertuanya.
Rasanya drama banget, tapi apa boleh buat Syifa sudah terlanjur meninggalkan kafe. Jadi untuk mewujudkan keinginan Bunda, maka mau tidak mau ia harus kembali ke titik semula. Kali ini Syifa tidak ditemani Nadya lagi. Setelah mendapat telepon dari Emaknya, gadis itu langsung pulang.
Syifa mendengus berat saat meja yang tadi di tempati Nadya sudah terisi oleh orang lain. Seorang pemuda mengenakan jaket kulit coklat muda. Usianya antara dua puluh satu tahun sampai dua puluh dua tahun. Padahal nomor meja itu sudah dipesan khusus oleh Bunda untuknya dan si cupu itu.
Syifa mendapat meja kosong di samping meja orang itu. Dia duduk di kursi tepat di belakang orang itu dengan harapan si cupu itu datang kembali. Gadis itu tidak bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas, karena mereka duduk saling memunggunginya. Dia hanya bisa melihat seikat rangkaian mawar merah begitu menawan di letakkan di atas mejanya.
Sepertinya orang itu sedang menunggu seseorang. Dari apa yang dibawanya sudah dapat ditebak orang yang ditunggunya seorang gadis spesial. Ya iyalah gadis, masak jejaka? Emangnya jeruk makan jeruk?
Cukup lama menunggu nyaris membuatnya membeku seperti air yang dimasukkan ke dalam freezer. Sepi sendiri di tengah keramain, walau pun kafe itu tidak sedang ramai pengunjung. Tapi mampu membuatnya bosan. Hampir dua gelas orange juice dihabiskannya sambil berharap penuh kehampaan.
Mendadak ponsel Syifa berdering. Dia langsung merogoh tas rajut yang sedari tadi menyelempang di bahunya.
Ia mengerutkan dahi ketika melihat sebuah nama asing tertera di layar ponselnya, ‘Si Calon?' Ini pasti kerjaannya Bunda, pikirnya.
Pasalnya ia merasa tidak pernah memberikan nomornya pada pemuda itu. Memang Syifa akui bahwa Bunda
yang sudah merencanakan dan menyiapkan segala kebutuhan berhubungan dengan kencan buta yang dilakoninya saat ini. Termasuk menyiapkan dress pink dan sepatu flat putih yang sedang dipakainya sekarang. Tidak lupa make up dan merapikan rambutnya.
“Halo, kamu di mana?” tanya suara di seberang sana tanpa basa basi.
“Gue masih di kafe,” sahutnya cepat.
“Terus, elo ada dimana? Perut gue sampai kembung nungguin elo di sini,” lanjutnya sebal.
“Kafe?”
“Ya iyalah kafe, masak kuburan,” tukasnya.
“Aku juga udah di kafe. Kamu duduk di mana?”
Syifa menyisir pandangannya ke sepenjuru ruangan kafe yang didominasi warna pastel. Berharap segera menemukan orang yang sudah membuatnya dongkol setengah mati di antara para pengunjung kafe.
“Gue …” pandangan mata Syifa tertuju pada pintu kafe yang terbuka lebar. Dia melihat si cupu yang menurut Bunda ganteng seperti Aliando, tapi kenyataannya cuma alakadarnya, sedang menerima telepon darinya.
Akhirnya dia nongol juga. Pikirnya.
“Halo, kamu dimana?” suara di seberang sana terdengar kesal.
Syifa melambaikan tangannya memberi kode tentang keberadaannya. Namun si cupu tidak merespon lambaiannya. Ia malah memutar tubuhnya ke arah lain, lalu melambaikan tangannya kepada orang lain yang ada di luar. Setelah itu pergi entah kemana.
Kontan Syifa terkejut juga heran dengan yang dilakukan calon suaminya itu. Mungkin matanya lagi siwer, maklum kacamatanya tebal yang lebih mirip dengan kaca nako itu kotor, jadi salah mengidentifikasi orang.
“Halo, halo, halo!”
Syifa beringsut dari tempat duduknya sambil masih menempelkan ponselnya di telinga. Matanya terus saja menyimak ke arah si cupu pergi.
“Tungguin gue, gue ke depan sekarang,” titahnya langsung pergi meninggalkan kafe.
Tetapi baru selangkah beranjak dari kursinya, tiba – tiba ia menabrak pemuda yang sedari tadi duduk di belakangnya, hingga buket mawarnya terjatuh ke lantai. Dan yang lebih fatal lagi tanpa sengaja ia menginjaknya hingga rusak.
Mata pemuda itu mendelik tajam. Geram buket buka yang akan dipersembahkan pada seseorang hancur di kaki Syifa.
Syifa gelagepan. Entah apa yang dilakukannya. Sementara ia harus segera menemukan calon suaminya yang berada di luar sana.
"Hancur deh bungaku," pemuda itu memungutnya dari lantai. Kelopak bunganya rusak, bahkan ada yang sampai rontok berceceran di atas lantai.
"Ma-maaf, gu-gue enggak sengaja," ujarnya mengatupkan kedua tangannya.
"Terus, gimana nih? Aku harus memberikan bunga ini pada seseorang. Tapi kau udah merusaknya sekarang. Jadi aku mau kamu bertanggung jawab," tukas pemuda itu marah.
Ya ampun, gimana ini?
Syifa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia baru tersadar tentang calon suaminya. Ia harus segera menemui sekarang sebelum si cupu benar-benar menghilang entah kemana.
"Sori, untuk bunganya nanti aja gue gantinya ya. Soalnya gue mau mengejar orang." Syifa bergerak pergi. Berlari ke luar berharap orang yang dituju masih bisa ditemui.
Tetapi hasilnya nihil. Syifa terlambat. Dia sudah benar-benar pergi. Gadis itu menghela nafas berat. Kemudian membalikkan badan. Kontan ia mundur selangkah ke belakang, terkejut pemuda tadi sudah berdiri di hadapannya.
"Permisi!" serunya cuek.
Pemuda itu menghalangi langkah Syifa dengan menghadangnya. Badannya yang tinggi kekar membuat Syifa mengkerut tak bisa berkutik. Tanpa perlawanan Syifa mengikuti pemuda itu. Ia sadar akan kesalahannya.
Oleh karena itu, atas perbuatannya yang telah merusak bungan si pemuda, maka ia harus bertanggungjawab dengan mengganti bunga yang baru.
Cerobohnya gue, kenapa bisa terjadi sih? Bunganya yang rusak tadi bagus banget. Pasti harganya mahal.
Ya ampun, uang gue cukup enggak ya? Kalo enggak, gimana ini? Tangan Syifa mencengkram erat tali tas selempangnya.
Ponsel pemuda itu tiba-tiba berdering. Diambilnya dari saku celananya.
"Halo!" ujarnya menjawab panggilan. Dia terdiam mendengarkan suara dari seberang sana. "kok, bisa?" dahinya mengernyit. "Aku kan udah ngomong dari kemarin-kemarin, aku enggak bisa karena ada urusan penting."
Syifa hanya diam mendengarkan pemuda itu berbicara dengan seseorang via telepon. Ada rasa takut dan bingung tengah berkecamuk dalam hatinya.
Apa yang gue katakan sama Bunda kalo ditanya tentang dia? Sedangkan dimana dia aja gue enggak tahu. Bagaimana Bunda marah?
Syifa mulai merasa frustasi.
"Ayo ikut aku!" seru pemuda itu.
"Kemana?" tanya Syifa bingung.
"Udah, ikut aja. Nanti juga kamu tahu," tukasnya tidak membiarkan Syifa bertanya lagi.
Pemuda tampan berkulit bersih langsung membawa Syifa dengan sepeda motornya melesat meninggalkan halaman parkir kafe.
Syifa yang polos hanya berpikir pemuda itu membawanya mencari toko floris. Karena ia sadar betapa pentingnya
bunga itu bagi dia. Ia merasa sangat bersalah telah merusak bunganya. Namun sudah beberapa toko floris dilewatinya. Pemuda itu tidak jua menghentikan sepeda motornya. Terus saja melaju tanpa henti.
"Hei, toko florisnya udah kelewat," seru Syifa.
"Ada hal yang lebih penting dari sekadar bunga, makanya aku harus secepatnya samapai di sana," sahutnya gusar.
"Maksudnya?" Syifa tidak mengerti.
Si pemuda tidak menjawabnya. Dia menambah kecepatan sepeda motornya.
Refleks Syifa memeluk erat tubuh si pemuda.
Senja yang memerah telah surut di ufuk timur. Hari mulai beranjak gelap ketika mereka tiba. Halaman parkir yang dipenuhi oleh kendaraan beroda dua dan empat.
"Cepat turun, kita sudah sampai," titah pemuda itu seraya menepuk pelan punggung tangan Syifa yang
masih melingkar di pinggangnya.
"Oh, udah sampai ya." melempar pandangan Syifa ke seluruh penjuru.
Matanya mengerjap beberapa kali saat menyadari dirinya telah berada di tempat asing. Tempat yang sepertinya sebuah bangunan sekolah. Dan benar, memang bangunan berlantai dua tingkat di hadapannya adalah gedung sekolah. Tapi ... sekolah siapa? Ini bukan sekolahnya.
Dimana ini? Kenapa dia tiba - tiba mengajak gue ke sini? Mau ngapain? Ih, dasar cowok aneh!
"Kenapa masih bengong? Ayo cepat turun!" suara pemuda itu terdengar agak meninggi, karena Syifa masih belum bergeming dari jok boncengan sepeda motornya. "jangan lupa tanganmu segera singkirkan dari tubuhku. Aku sudah engap kau peluk begitu kencang."
"Peluk?" Syifa mengernyitkan alis. Lalu menurunkan pandangannya, melihat sepasang tangannya mendenkep erat tubuh si pemuda. "Oh, sori. Enggak sengaja," sahutnya cepat.
Turun dari sepeda motor. Matanya menyisir ke segala penjuru. Tidak ada yang dapat menarik perhatiannya.
"Dimana kita sekarang?" tanya Syifa khawatir.
"Tenang aja, di sini aman. Helm." pemuda itu menunjuk kepala Syifa yang masih tertutup helm.
Syifa menyentuh kepalanya. Ia langsung menyadari bahwa di kepalanya masih memakai helm. Buru - buru ia membuka helm yang masih melekat di kepalanya. Namun ia kesulitan saat membukanya.
Melihat gadis itu terlalu lama membuka helm, akhirnya pemuda itu turun tangan. Tanpa sungkan pemuda itu membantu Syifa membukakan helmnya. Sesaat sepasang bola mata mereka saling menatap. Ada desir halus bergeliat di dada Syifa. Perasaan asing menyeruak mengiring hembusan nafasnya.
Tidak terkecuali dengan pemuda itu. Perasaannya mendadak tidak karuan. Dia seperti melihat sosok yang sudah dikenal sejak lama. Tetapi dia tidak dapat memastikannya. Terasa samar dan kabur. Hanya saja mata itu, mata yang sangat dikenalnya. Lagi - lagi dia tidak bisa mengingatnya siapa dia? Hanya bayangan masa kecilnya bersama gadis kecil tengah tersenyum seraya menatapnya dengan tatapan yang sama, seperti yang dilakukan gadis yang berdiri di hadapannya kini.
Mungkinkah dia? Ah, enggak, enggak mungkin!
"Untunglah elo datang tepat waktu, kalo enggak gue bingung harus bagaimana lagi," imbuh seorang pemuda lain yang sedari tadi telah menunggu kedatangan pemuda yang bersama Syifa di depan gedung. Pemuda berambut keriting keribo itu bergerak mendekati mereka.
"Kamu gimana sih, kerja segitu aja enggak becus," hardik pemuda itu.
"Bukan begitu. Ini enggak bisa diprediksi. Karena si Amel yang seharusnya hari ini mengisi acara, dia mendadak
sakit cacar. Kamu kan tahu sendiri kalo sakit kayak begitu enggak bisa keluar rumah," sahutnya membela diri.
"Walau bagaimana pun kita tetap rugi udah kasih dia dp. Sekarang mau cari artis baru dalam waktu singkat.
Mana bisa begitu? Kamu pikir aku pesulap?" gerutu pemuda itu geram.
Syifa menghela nafas panjang mendengar perdebatan kedua pemuda di hadapannya. Ia tidak bisa ikut campur
dengan urusan mereka berdua. Lagi pula tidak ada untung ikut campur dalam masalah orang lain. Ia hanya menghiraukan saat ini adalah rasa lapar yang mulai mendera perutnya. Ditambah ia belum punya jawaban yang tepat jika sewaktu-waktu Bunda menghubunginya.
"Terus siapa dia?" pemuda keribo menunjuk ke arah Syifa.
"Dia bukan siapa-siapa," sahut pemuda itu singkat.
"Gue pikir dia ..."
Apa maksudnya si keribo nunjuk-nunjuk gue?
Tiba-tiba seorang perempuan muda datang menghampiri mereka. Wajahnya terlihat panik. Namun setelah melihat Syifa matanya berbinar.
"Akhirnya datang juga," ucapnya dengan kelegaan hati. Tanpa ba-bi-bu perempuan itu langsung menyeret Syifa masuk ke dalam gedung. "ayo ikut!"
"Apa?" Syifa mengalihkan pandangan pada pemuda itu. "Hei!"
"Tunggu!" seru pemuda itu hendak mencegah. Tetapi si keribo malah menahan juga.
Syifa sangat ketakutan. Ia khawatir perempuan muda yang sedang menyeretnya akan melakukan sesuatu yang menakutkan. Mereka bergerak masuk menyusuri koridor sekolah akan melakukan perbuatan yang mengerikan. Beberapa kali Syifa meronta, menjelaskan tentang kedatangannya yang tidak ada hubungannya dengan hajat mereka semua. Namun perempuan itu tidak bergeming. Malah menenangkannya semua akan baik-baik saja jika ia mau membantu mereka.
Dasar cowok berengsek! Ternyata dia mengajak gue ke sini cuma buat ngejebak gue. Awas nanti ya, gue akan balas dia!
Syifa menggigit bibir bawahnya. Ingin menangis tapi rasa malunya menghalanginya. Ia mendengus berat.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
sukses selalu
2022-07-06
0
Lina Murwarini
Ceritanya menarik.. 🤗
2020-07-20
1