Jam pulang sekolah telah tiba. Semua murid langsung berhamburan, keluar meninggalkan kelas masing-masing. Riuh rendah tercipta dari suara derap langkah-langkah kaki dan suara gelak tawa mereka menuju gerbang sekolah.
Syifa dan Nadya bersama beberapa orang teman lainnya keluar meninggal kelas. Tidak lupa tangan kanannya menenteng sebuah paper bag. Ia harus mengembalikan baju yang dipinjamnya. Sebelum Bunda mengomel lagi. Seperti ketika Bunda mengetahui baju kotor yang dibawanya penuh lumpur sawah. Pasalnya harus dicuci berulang-ulang sampai bersih. Untuk menghilangkan baunya butuh softener pewangi yang lumayan banyak.
“Elo bawa apa?” todong Nadya memperhatikan paper bag yang ditenteng Syifa.
“Baju.”
“Baju? Punya siapa?”
“Punya kak Vindy.”
Nadya mengerutkan dahi. Seakan dia sedang berpikir keras, mengingat perempuan yang disebut Kak Vindy oleh sahabatnya.
Syifa menarik lengan Nadya. Berbisik meminta untuk diantarkan mengembalikan barang yang ada di tangannya.
Nadya ingin menolaknya. Namun urung. Tidak tega mendengar rengekkan Syifa.
Tidak ada yang tahu alamat rumah mahasiswi bernama Vindy itu. Tetapi keduanya sepakat datang ke kampus, tempat gadis itu menimba ilmu. Dengan menumpang angkot mereka berangkat.
Dalam hati Nadya khawatir dimarahi Bonang. Bila lelaki tinggi kurus itu, tahu dia tiba-tiba datang ke kampusnya. Tapi kali ini rasa takutnya bisa dikendalikan. Pasalnya Syifa telah berjanji sebelum berangkat tadi, akan menghadapi Abang galaknya itu. Dia yakin ucapan Syifa akan lebih dipercaya disbanding dengan apa yang meluncur dari bibirnya.
Selang beberapa menit. Angkot yang mereka tumpangi tiba di depan kampus. Syifa dan Nadya menghela nafas pendek hampir bersamaan. Bagai mencari tumpukan di dalam jerami. Mungkin ungkapan itu tepat, untuk menggambarkan kegelisahan yang dialami dua sahabat yang selalu kompak. Keduanya mulai bingung. Bagaimana mereka bisa menemukan Vindy di kampus yang begitu besar. Tentu saja memiliki ratusan mahasiswa dengan jurusan berbeda.
“Gimana nih, Pa? Elo tahu nomor hpnya, biar kita langsung ketemu dia?” tanya Nadya gelisah. “kalo bisa jangan sampai Abang gue tahu, kalo gue datang ke sini masih pake seragam begini.”
“Elo ini, mana gue punya. Soalnya waktu itu gue enggak minta nomor hpnya, cuma tanya namanya doang,” sahutnya polos.
“Ah, elo. Kenapa enggak minta nomor aja sih?”
“Mana gue ingat, Nad.”
“Yah, elo.” Nadya mendengus berat.
Akhirnya mereka sepakat menemui Bonang. Melalui ponsel Nadya menghubungi pemuda itu. Mereka berhasil menemui Bonang di kantin kampus. Kebetulan pemuda kribo itu sedang tidak ada mata kuliyah. Dia menghabiskan
jam kosongnya nongkrong di kantin bersama seorang teman. Pemuda tampan berkacamata minus.
“Pada ngapain elo berdua kemari?” cecar Bonang. Sepasang matanya terlihat sangat galak sekan ingin menelan Nadya, berdiri di depan mukanya.
Nadya menyenggol Syifa, seakan sedang meminta pertolongannya.
Syifa menarik lengan Nadya. Menggantikan posisinya. Seketika Bonang melunak melihat gadis manis bermata jeli berdiri di depan batang hidungnya.
“Bang Bonang,” ujar Syifa terdengar lembut. “maaf ya, Nadya enggak salah, jadi tolong jangan marahin dia untuk kali ini, please …”
Bonang terkesima melihat gadis itu. Senyumnya tersungging lebar.
Syifa menatap heran. Lalu mengalihkan pandangannya pada Nadya. Dari tatapannya seolah sedang bertanya perihal sikap Bonang yang mendadak aneh. Namun Nadya hanya mengangkat bahu seraya menengadahkan telapak tangan ke udara. Pertanda dia pun tidak mengerti.
“Bang, Bang Bonang,” Syifa mengibaskan tangannya di depan wajah pemuda itu. Hingga dia tersadar dari lamunannya.
“Kalo diperhatiin, ternyata elo manis juga,” imbuhnya buru-buru menutup mulut.
Syifa mengernyitkan dahi.
“Elo ngomong apaan sih, Bang?” tegur Nadya geram. “jangan bilang elo mau modusin Syifa, ya? Ingat, Bang, Syifa udah ada yang punya.”
“Iya. Gue tahu,” sahutnya sinis.
“Udah, jangan pada tegang. Mending duduk biar enggak capek,” cetus pemuda berkacamata minus yang sedari tadi hanya menjadi penonton.
Serta merta mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Dengan wajah masam Bonang duduk di kursi. Nadya berbinar melihat pemuda baik dan tampan. Tanpa sungkan dia duduk di sampingnya.
“Hai, Bang ganteng,” sapa Nadya genit. “untung ada abang, jadinya mat ague enggak sepet lihat …” melirik Bonang sekilas. Lalu tersenyum lebar menatap pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum ramah. Bonang meneguk minuman botolnya.
“Kamu bisa aja. Jangan panggil Abang dong, entar orang-orang mengira Abang tukang bakso,” celotehnya.
Syifa masih berdiri. Ia merasa jengah duduk bersama orang yang baru dikenal. Pandangannya menyisir ke seluruh penjuru. Berharap bisa segera menemukan mahasiswi itu. Agar ia bisa kembali pulang dengan cepat. Ia pun agak risih ditatap beberapa pasang mata. Terkesan ia seperti orang aneh. Apalagi ada di antara mereka yang pernah melihatnya di tempat KKN kemarin. Pasti mereka tahu kejadian itu. Gadis bersweater krem itu menghela nafas pelan.
“Terus, panggil apa dong?”
"Panggil gue Kak Rifa'i, atau Kak Fa'i," jawabnya mengulurkan tangan.
"Kak Fa'i. Boleh juga," Nadya menyalaminya.
"Hei!" seru Rifa'i. "kamu ..."
Syifa menoleh.
"Ada apa? Kok masih berdiri aja? Ayo, duduk!" tegur Rifa'i membenarkan kacamata minusnya yanga sedikit melorot.
Syifa tersenyum canggung.
"Panggil Kak, bukan Abang ya," ujarnya ketika Syifa hendak menyapanya.
"Oh, iya Kak," gadis itu mengangguk mengerti.
"Kamu sedang cari siapa?" tanya Rifa'i berikutnya.
Syifa melirik Nadya. Seperti magnet yang tarik menarik-narik, Nadya langsung mengerti isi kepala Syifa. Tanpa diminta dia langsung menjelaskan tujuan kedatangan mereka. Syifa meletakkan paper bag-nya di atas meja.
"Oh, jadi kamu cewek yang diceritain sama Bonang?"
Syifa terkesiap. Ia heran, ternyata yang suka ngerumpi bukan hanya perempuan saja. Para lelaki seperti mereka tidak jauh beda. Gadis berkuncir kuda itu tersenyum malu.
"Jadi, elo berdua mau mengembalikan bajunya si Vindy? Kenapa enggak bilang dari tadi?"
"Gimana gue mau bilang, kalo elo nyolot duluan. Yang ada jiper gue," sanggah Nadya.
"Elo tuh, kalo ngomong ngeles mulu, kayak bajaj."
"Iya, elo bajaj-nya," gumam Nadya.
Drama kakak-adik yang selalu tidak pernah akur tidak mengenal waktu dan tempat.
Syifa menggelengkan kepala. Ia ragu meminta bantuan pada Bonang, jika terus-menerus ribut dengan Nadya. Sementara Rifa'i baru saja dikenalnya. Canggung merepotkan orang pada pertemuan pertama.
Tidak lama berselang. Pemuda cupu melintas di depan kantin. Dengan menyangkil tas hitam. Dia berjalan sendiri, Wajahnya tertunduk lesu.
Kontan Syifa memanggilnya seperti biasa.
"Zikra!" pekiknya lantang.
Sontak semua orang yang ada di dalam kantin menoleh ke sumber suara. Mereka berbisik dengan tatapan heran ke arah Syifa. Seperti biasa pemuda itu tidak pernah menghiraukannya.
"Aduh. Mulai lagi," Bonang menepuk jidat.
Rifa'i mengerutkan dahi. Nadya terdiam terpaku menatap sahabatnya yang mulai kehilangan kendali.
Tanpa mempedulikan keadaan sekitar, Syifa langsung mengejar pemuda itu. Ia terus memanggilnya dengan nama Zikra.
Langkah pemuda itu terhenti ketika Syifa berhasil meraih lengannya. Dia terperanjat kaget. Spontan menepis tangan Syifa.
"Siapa kamu?" tanyanya heran.
"Ini saya, Syifa," jawabnya antusias.
"Syifa? Maaf, saya enggak kenal kamu."
Syifa terperanjat kaget. Speechless. Ia ingin menjelaskan semuanya agar pemuda itu mengerti. Belum sempat ia membuka mulut, pemuda itu sudah memintanya pergi menjauh. Tidak mengganggunya lagi.
"Tolong ya, Mbak, kita enggak saling kenal. Jadi, aku harap kamu mengerti," pungkasnya melenggang pergi dari hadapnnya.
Syifa sangat terpukul. Tidak seharusnya pemuda itu mengabaikannya. Wajahnya tertunduk sedih. Langkah kakinya gontai menyusuri lorong kampus yang luas dan panjang. Kemudian ia duduk di bangku panjang taman kampus. Tidak peduli dengan pandangn orang-orang di sekelilingnya. Mungkin mereka merasa aneh, ada anak SMA di kampus mereka sedang sedih. Paper bag yang sedari tadi ditentengnya di letakkan di sisinya.
Sapu tangan putih terjulur di depannya. Seseorang begitu peduli meminjamkannya sapu tangan, untuk menyeka air matanya yang jatuh. Syifa mendongakkan wajahnya, mengambil sapu tangan itu seraya mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ia tersentak kaget melihat orang yang berdiri di hadapannya.
"Kenapa lagi?" tanya pemuda itu seakan sudah tahu yang terjadi pada dirinya. Duduk di samping Syifa.
Mata Syifa mengikuti setiap gerak tubuhnya.
"Pasti gara-gara dia, iya kan?"
"Kok, elo tahu?"
"Kebetulan aku lihat kamu tadi, teriak-teriak sambil mengejar dia. Tapi dia malah cuekin kamu," jelasnya.
Syifa terdiam. Wajahnya tertunduk dalam. Lalu mengangguk pelan.
"Sudahlah, lupain dia. Ngapain kamu peduli sama orang yang enggak peduli sama kamu."
"Gue sih, inginnya begitu. Tapi, gue enggak bisa," kilahnya lirih.
"Kenapa?"
"Karena dia calon suami gue."
Zikra terperanjat kaget. Dia tidak menyangka pendirian gadis itu sangat teguh. Beruntung sekali pemuda yang dapat memilikinya sebagai pasangan.
"Dan gue enggak mau nyokap-bokap gue sampai kecewa lagi," lanjutnya lirih.
"Tapi, dia kan ..."
"Iya, gue tahu. Apa pun alasannya gue udah enggak punya pilihan. Setelah lulus SMA gue langsung nikah sama dia. Andai aja gue bisa memilih. Gue pengen kuliyah dan meniti karier dulu sebelum menikah. Tapi ... lagi-lagi udah enggak ada lagi pilihan buat gue."
"Kamu kan bisa menolaknya. Atau kasih alasan apa gitu biar orang tua kamu mengerti."
"Cukup Malin Kundang aja yang jadi batu di masa lalu. Karena gue enggak mau jadi batu di zaman now," gadis itu tersenyum getir, menoleh ke arah Zikra.
Zikra mengerutkan dahi.
"Gue enggak mau jadi anak pembangkang yang hanya menyusahkan orang tua gue. Gue pun belum bisa membahagiakan mereka. Mungkin hanya dengan cara ini gue bisa membalas jasa baik mereka, walaupun tidak sebanding dengan semua penderitaan mereka selama mengurus gue sedari kecil. Terutama nyokap yang udah melahirkan gue."
Zikra tertegun mendengar ucapan Syifa.
"Gue yakin, pilihan mereka yang terbaik buat gue. Karena gue percaya orang tua gue enggak bakalan menjeruskan anaknya ke jalan kesesatan. Seperti harimau yang begitu buasnya, dia enggak bakalan makan anaknya sendiri."
Zikra menatap gadis itu dengan takjub. Ucapan Syifa yang bijak membuka pikirannya. Mungkin dia akan mengikuti jejak gadis itu. Menerima semua yang menjadi keputusan kedua orang tuanya.
Tiba-tiba ponsel Syifa berdering. Buru-buru gadis itu menerima panggilan itu. Ia berdiri menjauh dari Zikra. Berbicara dengan orang yang berada di ujung telepon di seberang sana. Tidak berselang lama Syifa menitipkan Baju Vindy pada Zikra. Karena ia harus segera pulang.
Dengan ringan tangan Zikra menerima paper bag yang disodorkan Syifa. Mengiyakan permintaannya. Setelah itu Syifa segera beranjak pergi. Zikra tersenyum melihat kepergian gadis itu.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus berjuang
2022-07-06
0
Uswatun Hasanah
oke trims y. insyaallah nanti aku mampir
2020-03-19
2