# FLASHBACK ON BAGIAN 17 #
Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan pada Karin, yang membuat diri ini begitu khawatir padanya. Kebetulan waktu itu mama telah menelponku dan menanyakan keadaan adik angkat, hingga tanpa sadar diri ini keceplosan memberi tahu keadaannya yang memprihatinkan, hingga beliau dengan terpaksa harus meluncur datang secepatnya ke Indonesia.
Dalam hati terus saja dikelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan atas diri Karin yang sangat ketakutan melihatku.
"Heeeh, apa yang sebenarnya kamu takutkan padaku, Karin? Kamu bilang melukaimu? Maksudnya apa, ya? Perasaan pada waktu malam pesta itu---? Bukankah Karin tak ada ditempat bersama kami? Namun---? Aaah, kenapa otakku begitu ngeblank tak bisa mengingat apapun? Bahkan bisa tidur bersama Yonapun aku benar-benar tak sadar dan mengingatnya," guman hati yang binggung sambil menjambak rambut berkali-kali akibat kesal.
Tok ... tok, pintu kamar telah diketuk.
"Boleh mama masuk?" tanya beliau.
"Iya, mama. Masuk saja," jawabku menyetujui.
"Gimana, ma? Apa Karin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku penasaran.
"Heeeh, mama juga sudah berusaha, tapi kayaknya Karin telah terbungkam rapat-rapat tak mau berbicara. Sebenarnya ada apa sih, Adrian? Apa jangan-jangan kamu telah berbuat sesuatu yang menyakiti hatinya?" tebak tanya mama.
"Mama ini terlalu mengada-ngada. Mana mungkin Adrian berani melukai adek kesayangan. Tapi---? Aaah, entahlah ma. Aku juga binggung apa yang sebenarnya terjadi padanya?" cakapku sudah dilanda kebingungan.
"Sudah lupakan saja masalah ini. Pasti suatu saat nanti Karin akan bercerita dengan sendirinya. Yang jelas dia kini sudah mau membuka kamar dan berbicara pada mama, jadi kamu tak perlu khawatir berlebihan seperti itu," ujar beliau mencoba menenangkanku.
"Iya, ma. Semoga saja Karin bisa membuka diri untuk segera bercerita pada kita," sautku menjawab.
"Iya, Andrian."
Walau ucapan mama ada benarnya, diriku tetaplah penasaran atas apa yang sebenarnya yang terjadi pada Karin. Aku harus banyak bersabar untuk mencari jawaban itu, biar adek angkat tak takut padaku lagi.
******
Mama kini tak bisa kembali lagi ke Singapura, sebab tengah mengkhawatirkan keadaan Karin yang kelihatan kian hari semakin parah dengan sifatnya yang terus saja terdiam dan memurungkan muka. Aku dan mama jadi kebingungan atas sikapnya itu. Yang bikin heran lagi dia mau berbicara hanya pada mama saja, sedangkan pada diriku selalu saja cuek dan tak mau berkata-kata apalagi menyapa.
"Hei adekku sayang!" sapaku dipagi hari saat kami sedang sarapan, dengan cara memegang bahunya.
Prank, suara piring pecah terjatuh saat terlepas dari tangan Karin sedang ingin membubuhkan nasi.
"Jangan sentuh aku!" cakap Karin kasar dengan tatapannya yang kelihatan marah.
"Oh, maaf ... maaf!" jawabku kaget.
"Sudah ... sudah, biarkan saja nasi dalam piring itu jatuh. Nanti mama akan membereskannya," cakap mama mencoba memecah ketegangan kami, saat Karin berusaha memungut pecahan piring.
"Iya, ma. Maafkan Karin jika tak sopan apalagi merepotkan. Tapi aku kayaknya harus pergi sekarang," cakap Karin yang ingin segera berpamitan berangkat sekolah, yang kini segera mengambil tas yang tergeletak dikursi makan.
"Tunggu Karin!" cegahku mencoba mencekal tangannya.
"Lepaskan aku. Aku sudah bilang jangan pernah menyentuhku," geramnya dia berkata sambil melototkan netra tajam ke arahku, dengan cara mengibas kuat tangan yang sempat memegangnya.
"Maaf ... maaf sekali lagi, Karin!" cakapku langsung mengangkat kedua tangan.
Mama seketika berdiri dari tempat duduk meja makan. Mungkin beliau sudah melihat perubahan aura wajah Karin, yang kelihatan marah tak senang atas tindakanku barusan.
"Kamu kenapa, sayang? Kok mama lihat dari tadi marah-marah terus sama kakak kamu?" tanya mama sudah merasa heran.
"Ngak ada apa-apa, ma. Maafkan aku kak, ma!" cakap Karin menyesal yang langsung menundukkan kepala.
"Ya sudah, ngak pa-pa. Mungkin kamu lagi pms tak mau diganggu, jadi mama bisa memaklumi itu," tutur lembut mama berusaha berbicara baik-baik pada Karin, sambil mengelus perlahan rambutnya yang tergerai.
"Iya, Karin. Kakak maafkan, atas sikap kamu barusan. Maafkan kakak juga, yang telah lancang menyentuh maupun mencekal tangan kamu tadi," ucapku tak enak hati.
"Iya, kak!" jawabnya lemah tak menatap ke arahku.
"Kita lupakan kejadian barusan, jadi bolehkah kakak mengantar kamu ke sekolah?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Maafkan aku, kak. Sementara ini biarkan aku berangkat sendiri ke sekolah, karena aku tak mau membentak kamu lebih seperti barusan yang terjadi," jawabnya yang kian tak kumengerti.
"Maksud kamu, apa?" jawabku heran dengan mengerutkan kening penasaran.
"Tidak ada apa-apa. Yang jelas aku tak mau diantar dan biarkan aku berangkat sendirian saja, sebab itu lebih baik," tolaknya berucap.
"Tapi--?" Suaraku tertahan.
"Sudah, Adrian. Biarkan Karin berangkat sendirian dan sekarang kamu siap-siaplah untuk berangkat ketempat kuliahmu saja," cakap mama mencoba membujukku supaya aku memahami Karin adek angkat.
Mama dan aku hanya terdiam terpaku sejenak, saat Karin kini hilang dari pandangan kami, yang tanpa ada sopannya langsung nyelonong main pergi begitu saja. Tanpa basa-basi akupun langsung mencium tangan punggung mama, untuk segera berpamitan pergi mengejar Karin yang belum lama berangkat. Perlahan-lahan motor telah kulajukan, dengan memberi jarak agak menjauh ketika mengikuti Karin tengah bersudah payah menaiki sepeda. Perasaan begitu dilanda rasa penasaran, khawatir, terutama cemas atas sikap adek angkat yang akhir-akhir ini seperti marah dan berusaha menjauhiku.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Karin? Hingga kini engkau semakin jauh dan tak mau bercengkrama padaku lagi, seperti hari-hari kemarin?" tanyaku dalam hati yang masih sibuk mengikuti Karin berangkat sekolah.
Setelah dirasa Karin aman sampai sekolah, akhirnya akupun melanjutkan aktifitasku untuk kuliah. Dengan kecepatan penuh kuusahakan melajukan motor agar tak terlambat sampai disana, sebab matahari kian meninggikan harinya yang kian lama kian menyengat menghangatkan teriknya.
Sheet, laju motor akhirnya berhenti juga ditempat parkir.
"Hei sayang!" sapa suara manja seorang perempuan.
"Heem," jawabku singkat sambil melepaskan helm.
"Bolehlah aku bicara padamu sebentar?" tanya Yona meminta izin.
"Bicaralah," ucapku ketus.
"Ngak disini juga kali, sebab ini penting. Menyangkut ... menyangkut---?" Suara tertahan Yona tak melanjutkan ucapannya.
"Apaan?" tanyaku tak sabar.
"Menyangkut malam ulang tahun kamu kemarin," jawab Yona dengan gamblang.
Dengan secepat kilat aku langsung membekap mulut Yona, dengan wajah clingak-clinguk mencoba melihat keadaan sekitar yang ada orang apa tidak.
"Kamu jangan keras-keras bicara masalah itu disini. Kalau orang lain sampai tahu, bisa gawat nanti masalahnya," cakapku tak suka sambil tangan melepaskan bekapan dimulut Yona.
"Oh, ok ... ok! 'Kan kamu sendiri tadi yang suruh aku bicara disini tadi," keluhnya membalik omongan.
"Iya ... iya, aku salah tadi. Sekarang kita cari tempat aman untuk bicara berdua saja, tanpa ada orang lain yang bisa mendengarnya," perintahku.
"Siip, ok 'lah."
Kutarik kuat tangan Yona, untuk berdua berbicara mencari tempat yang aman dan tujuan adalah atap balkon gedung tempat kami kuliah yang kami rasa sepi dan aman sekarang.
"Bicaralah, apa yang ingin kamu katakan padaku tadi?" suruhku.
"Aku ingin kita menikah," cakap Yona dengan santainya.
"Apa?" Keterkejutanku menjawab.
"Iya, kita harus menikah," tekan jawaban Yona.
"Mana mungkin itu bisa terjadi, sebab aku masih ingin melanjutkan kuliah ini," tolakku tak setuju.
"Kamu ini gimana sih, Adrian. Kamu kemarin telah berjanji akan bertanggung jawab dan tak akan lari, tapi apa kenyataan ini?" keluh Yona.
"Aku ingat semua janji itu, tapi tak harus secepatnya mengambil keputusan untuk kita segera menikah," kekuhnya ucapanku.
"Aku tahu, Adrian. Kita itu masih muda dan lagi menuntut ilmu, tapi apakah kamu tak berpikir jika kamu sudah menodaiku dan bisa-bisa dalam perutku ini nanti bakalan ada anak yang aku kandung," Pilu ucapan Yona yang kini tengah menangis.
"Aaah ... aaaah, aku tak tahu harus jawab apa sekarang, Yona!" Kekesalanku bingung sambil menjambak rambut kuat.
"Ayolah Adrian. Kamu harus bisa menyelesaikan masalah ini, sebab aku ngak mau perut nanti akan kian membuncit saat aku belum punya status telah menikah," bujuk Yona yang kian menangis tersedu-sedu.
"Heeh, iya ... iya. Ya sudah, kamu ngak usah khawatirkan itu. Yang jelas aku akan bertanggung jawab atas semua itu, tapi aku tak menjamin jika kita akan menikah secepatnya, sebab aku pasti akan kesusahan membujuk kedua orangtuaku," jawabku lemah.
"Itu lebih baik, Adrian. Aku akan menunggu kapan waktunya kita akan menikah. Kamu mau bertanggung jawab saja aku sudah sangat senang, makasih ya!" jawabnya manja yang kini tak menangis sesegukan lagi.
"Iya, Yona. Sama-sama."
Pikiran kini begitu Kalut atas permintaan Yona. Disisi lain aku begitu takut dan tak yakin bisa meminta ini semua pada kedua orangtua, sebab harapan mereka supaya aku pintar dan menjadi orang sukses begitu mereka elu-elukan dan aku tak mau mengecewakan mereka hanya demi sebuah kecerobohan. Nasib kali ini begitu apes sambil menyesali diri, saat andai saja tak ikutan merasakan barang haram itu, mungkin kekacauan yang rumit ini pasti tak akan pernah terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
❀⃝✿𝐋il 𝐌σσηℓꪱׁᧁׁhׁׁׅׅ֮֮t✿⃝❀
apa gak salah minta nikah?! yang tidur siapa main ngaku2, gatel banget jadi cewek 🤦🏻♀️🙄
2024-09-14
0
ALYCIAʷⁱˡᵍᵃ
kalau begini ambisi yona buat nikah sama adrian bakal terjadi.
karin gak terus terang sih
2024-06-26
2
☠ᵏᵋᶜᶟ 🦆͜͡ᴍᴀᴍɪ²⍣⃝ꉣꉣHIAT
yona enak saja ya minta di nikahi yang menderita karin
2024-05-06
5