# FLASHBACK BAGIAN 7 #
Dengan berlarian kecil tergesa-gesa aku mengendong Karin untuk segera membawanya ke rumah sakit. Tangisannya yang terdengar pilu, membuatku begitu panik tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar tangisan kesakitannya mereda, yaitu selain dengan cara membawa dirinya berobat. Motorpun sampai kutancapkan gas kuat-kuat tak peduli lagi jika nyawa kami yang melayang jadi taruhannya, sebab yang jelas diri ini harus sampai secepatnya ke rumah sakit.
"Ayo, Karin. Cepatlah kita masuk untuk segera mengobati luka kamu," suruhku panik saat kami sudah sampai rumah sakit.
"Iya, kak!" jawabnya lemah pucat yang sudah tak menangis lagi.
Kami berduapun langsung segera masuk, untuk secepatnya tangan adek angkat mendapat penanganan pengobatan. Diriku hanya menunggu diluar saja, saat Karin sedang berada didalam ruangan dokter sedang diobati.
Ceklek, pintu ruangan pengobatan telah dibuka.
"Gimana, dok?" tanyaku penasaran.
"Lukanya sedikit agak parah, sebab ketika baru kesiram air panas tak langsung mendapatkan pertolongan pertama, jadi lukanya sudah melepuh dan membengkak sedikit. Tapi tenang saja, tadi pasien sudah saya suntik untuk meredakan sakitnya dan nanti ada resep untuk menyembuhkan lukanya dengan segera," ujar keterangan dokter.
"Iya dok. Terima kasih," jawabku lemah.
"Iya, sama-sama. Untuk pasien jangan lupa untuk terus minum obat, sebab biar lukanya nanti cepetan sembuh," cakap dokter memperingatkan Karin.
"Iya, dok. Terima kasih," jawab Karin.
"Iya, semoga cepat sembuh. Ya sudah kalau begitu saya tinggal dulu," cakap dokter berusaha pamit masuk ke ruangan beliau lagi.
"Iya, dok. Terima kasih," ucap kamu kompak.
Saat dokter sudah hilang dari pandangan, kini Karin kuajak untuk segera menebus obatnya. Atrian untuk mengambil obatpun ternyata panjang juga, tapi ini demi adek angkat yang tercinta pasti semua akan kulakukan, sebagai penebus dosa karena tak bisa menjaganya dengan baik.
"Alhamdulillah selesai juga menebus obatnya. Ayo Karin kita segera pulang!" ajakku saat ditempat parkiran.
Sebab tangan Karin telah terluka, jadi tanganku sekarang tengah sibuk memasangkan helm untuk pengamanan dalam berkendara nanti. Saat mencoba membantu memasangkan dikepalanya, otomatis membuat wajah kamipun begitu dekat, hingga jarak diantara kamipun tak ada lagi. Hembusan nafasnya yang hangat dan harum, seketika mendesirkan suasana halus namun nyaman dalam hatiku, yang tak tahu apakah itu namanya. Mata kamipun telah sama-sama beradu, yaitu saling menatap keindahan bola mata yang seakan-akan terasa meneduhkan jiwa.
Cklik, tanpa sadar tangan telah menekan kuncian pada helm, hingga ulahku yang menatap wajah Karinpun menjadi ambyar.
"Maaf ... maaf Karin," ujarku malu-malu mencoba menghindar, dengan modus sudah berjalan ke motor untuk segera menaikinya.
Kamipun sudah sama-sama terdiam tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, hingga motor sudah berlengak-lenggok menyusuri jalananpun kami masih sama-sama terdiam.
"Aaaah, apa yang kulakukan tadi. 'Kan jadinnya Karin jadi diam begini, heeeh! Tadi sih aku tak sengaja menatapnya, tapi kenapa akunya jadi malu gini, ya? Kenapa perasaanku jadi aneh gini, ya? Bener juga kata Bayu kalau Karin itu cantik, pantesan Bayu tertarik pada Karin. Heeeeh, kenapa baru nyadar sih aku ini, kalau punya adek cantik? Haaaaah ... jangan ... jangan, kamu ngak sadar apa Adrian, kalau Karin itu adalah keluargamu sekarang? Jadi memang pantesnya dia itu jadi adek kamu?" rancauku dalam hati yang tak tahu tentang apakah rasa ini.
Creret ... creeret, motor telah berhasil kumatikan, yang kini mencoba membantu Karin turun dengan meraih tangannya yang telah diperban. Lagi-lagi diri ini harus dihadapkan oleh situasi dekat-dekat lagi dengan Karin, akibat membantunya melepaskan helm lagi.
"Makasih, kak!" ucapnya tersipu malu juga.
"Hee ... hemm, sama-sama."
"Ayo kita masuk ke rumah," suruhku.
Dengan perlahan-lahan kami berdua telah beriringan berjalan berdua segera masuk rumah.
"Assalamualaikum," ucap kami kompak memasuki rumah.
"Walaikumsalam," jawab suara mama.
Saat mama tengah asyik bersantai duduk disofa, kini sorot netra beliau menatap kearah Karin, yang seakan-akan penasaran atas apa yang sedang terjadi.
"Ya ampun, Karin. Kenapa dengan tangan kamu? Kok sampai diperban begini?" tanya mama dengan nada suara yang begitu khawatir.
"Ini ngak pa-pa kok, ma. Hanya luka kecil saja kok ini," jawab Karin santai.
"Luka kecil gimana? Kok sampai diperban begitu?" tanya mama tak percaya.
"Tadi kesiram air panas, ma!" saut jawabku.
"Apa? Kok bisa? Ada apa ini sebenarnya?" cakap interogasi mama.
"Heeeh. Tadi Karin coba bantuin Yona didapur, mungkin akibat ceroboh ya jadinya air yang direbus tersiram ditangannya," jelasku.
"Apa? Wah ... wah, berarti ini juga kesalahan dan kecerobohan kamu, yang telah membiarkan adek kamu melakukan pekerjaan itu. Memang kamu ke mana? Sampai hal seceroboh ini bisa terjadi? Keasyikan main sama teman, iya?" ujar mama mencoba menyalahkanku.
"Bukan gitu, ma!" jawabku mencoba memberi pengertian.
"Lha terus apa, kalau bukan ceroboh? Karena kelalaian kamu tak bisa menjaga Karin hingga dia terluka, maka sesuai peringatan mama tadi, bahwa kamu akan mama potong uang saku selama setahun sebab melakukan kesalahan, mengerti!" ancam mama.
"Apa?" Kekagetanku berucap.
"Iya, selama setahun kamu tak akan mama beri uang jajan, paham!" jelas mama lagi.
"Aaaah ... ahhhh, mama. Kok gitu, sih? Adrian beneran ngak sengaja tak menjaga Karin, jadi tolong dong ma, pleaseeee ... jangan tak dikasih uang saku itu," pintaku mencoba merayu.
"Ngak bisa. Kesalahan harus dibayar, paham! Itung-itung itu sebagai ganti pembayaran rasa sakit yang dialami adek kamu," kekuh jawab mama.
"Yah ... yah, mama kok tega amat sama anak sendiri," ucapku ketus.
"Harus itu, biar kamu tak manja dan selalu saja bertindak seenaknya," tegas jawab mama.
"Luka Karin tak terlalu sakit, ma. Jadi jangan potong uang saku kak Adrian. Ini semua murni atas kecerobohan Karin dan bukan kesalahan kak Adrian. Jadi Karin juga minta tolong sama mama, jangan tak dikasih uang jajan kak Adrian itu," ujar Karin berusaha membujuk mama juga.
"Biarkan Karin. Ini semua biar jadi pelajaran untuk Adrian, bahwa orang yang disekitarnya harus benar-benar dijaga, jangan main seenaknya saja atas tindakan yang selalu ceroboh," kekuh jawaban mama.
"Ayo Karin, kita kekamar saja. Mama mau lihat luka kamu itu. Eneg rasanya lihat muka kakak kamu yang suka tak peduli sama keluarga sendiri," ketus mama menyindirku.
"Hah, pergi sana ... pergi!" jawabku sudah dongkol sama mama.
"Ciiih, dasar anak tak beradab," balik ketus jawab mama.
Rasanya diriku begitu asing sekarang, yaitu saat mama sekarang lebih peduli sama adek angkatku.
"Apa aku telah salah menyuruh mama mencarikan adek untuk menemani hari-hariku yang sempat sepi? Hadeh, lihat! Ternyata aku kira memang salah menyuruh orang tua mencarikan adek, hingga kasih sayang mereka teralih tak menyayangiku lagi. Kecerobohan memang terjadi belakangan, tapi nak berbuat apa lagi sekarang ini, saat semuanya sudah terjadi!" guman hati merancau menyesal dengan terus bertanya-tanya, sambil netra menatap langit-langit atap kamar.
"Tapi aku beruntung sekali mendapatkan adek seperti Karin yang sudah cantik, pendiam, dan tak banyak tingkah polah. Rasa sopan dan kebaikkannya selalu saja mencuri perhatianku, hingga rasanya aku sering kali merasa nyaman bersamanya. Namun aku harus menjaga jarak agak menjauh, agar rasa kekaguman ini tak berubah menjadi sebuah perasaan yang akan menghancurkan hubungan keluarga yang sudah terjalin. Wajah cantiknya atas pesona kelembutan, terus saja membuatku tak jemu-jemu untuk terus menatapnya, heeeh ... namun sering kali netra kusembunyikan dengan cara mencuri-curi pandang terhadapnya. Hi ... hi, aku mungkin sudah gila terpesona sama adek sendiri, tapi tak apalah 'toh itu semua tak melanggar aturan sebab hanya sebatas kekaguman saja," rancaunya hati terus saja membayangkan yang aneh-aneh.
Tok ... tok ... tok, pintu kamarku diketuk.
"Masuk saja, pintunya tidak dikunci, kok!" teriakku menyuruh.
Ceklek, pintu dibuka perlahan.
"Karin? Kamu? Masuk ... masuk sini!" imbuh suruhku.
"Beneran aku boleh masuk, kak!" tanyanya ragu.
"Iya, sini ... sini duduk. Ada apa? Kok tumben-tumbennya mampir kekamarku?" tanyaku.
"Ada hal yang ingin kubicarakan pada kak Adrian," jelasnya yang kini duduk dikasurku.
"Apaan? Bicaralah?" suruhku.
"Masalah uang saku tadi, kak. Maafkan Karin, sebab gara-gara aku kakak kena hukuman mama tak diberi uang saku," cakapnya menundukkan kepala dengan suara serak-serak seperti ingin menangis.
"Kamu menangis? Jangan nangis begitu kenapa, jangan mudah cengeng amat jadi cewek. Sudah ... sudah, jangan kamu ambil hati masalah itu. Mungkin itu memang murni kesalahanku, karena membiarkan kamu melakukan pekerjaan yang tak seharusnya kamu kerjakan," jawabku santai.
"Tapi, kak!" ucapnya yang kini menatapku tajam.
"Sudah, jangan dipikirkan. Kakak ngak pa-pa, kok. Walau mama ngak ngasih sepuluh tahunpun kakak masih bisa membeli jajan dengan uang tabungan kakak sendiri, paham!" jelasku yang kini mengusap pelan tetesan embun dipipi Karin.
"Benarkah? Kak Adrian beneran ngak pa-pa? Karin beneran takut banget kalau kakak akan membenciku, sebab kena marah dan hukuman oleh mama," ucapnya sendu lagi.
"Beneran Karin, kakak ngak pa-pa. Sudah 'lah, kamu ngak usah sedih lagi, ok!" ujarku tersenyum manis padanya.
"Makasih kak, kamu mau memahamiku," cakapnya yang kini sudah tersenyum ceria.
"Iya, sama-sama."
Ternyata dugaanku salah, bahwa Karin tak seperti wanita diluaran sana seperti dalam pemikiranku. Dia begitu lembut dalam bertutur kata, yang selalu saja mengalah dan merasa bersalah walaupun dia tak pernah melakukan kesalahan fatal.
******
Hari pagi waktu untuk sekolahpun kembali datang, yang mana kini kami sekeluarga sedang berkumpul untuk melakukan ritual sarapan pagi.
"Gimana tangan kamu Karin?" tanya papa.
"Alhamdulillah baik dan agak mendingan, pa!" jawab Karin santai.
"Syukurlah kalau begitu, Karin!" saut jawab mama.
"Iya, syukurlah!" Sela jawabku juga.
"Heeh, dasar sok pura-pura. Ingat Adrian kamu setahun jangan minta uang jajan sama mama, mengerti!" Peringatan mamaku lagi.
"Mama ini kenapa sih, kayak memusuhi Adrian gitu? Semalam 'kan Adrian sudah meminta maaf dan menjelaskan semua atas kecerobohan itu. Aku ini anak tertampan kamu, lho! Jangan sampai gara-gara masalah kecil begituan kita akan menjadi musuh," jawabku tak takut.
"Silahkan, kalau kamu ingin memusuhi mama. Nanti biar uang saku kamu tak kuberikan bertambah selama lima tahun, paham!" jawab mama tak mau mengalah.
"Astaga mama, kejam amat sama anak sendiri," keluhku.
"Harus, biar kamu itu bisa mengerti arti menjaga, menghargai, dan pastinya menyayangi bagaimana," imbuh ucap mama tak mau mengalah lagi.
"Sudah ... sudah, kalian ini pagi-pagi main ribut saja. Malu dilihat Karin!" ucap papa berusaha menengahi.
Kami berduapun langsung terdiam tanpa ada kata, namun netra masih sama-sama menatap tajam seperti masih ingin berlanjut pertengkaran mulut barusan. Karin terlihat hanya bisa tersenyum kecil dan mengeleng-geleng kepala, akibat tingkah ibu dan anak sedang adu mulut.
"Kami berangkat dulu," ketusku berbicara pada mama.
"Hem," jawab beliau singkat.
"Kamu hati-hati Karin berangkat sama kakak kamu, bisa-bisa nanti celaka lagi," ujar singgung mama ingin mengajak berdebat lagi.
"Iya ma!" jawab karin tersenyum.
"Ayo Karin cepatan berangkat. Lama-lama disini bisa-bisa uang jajanku dipotong lagi sebab membawa kamu terlambat sekolah," suruhku sambil menyindir mama.
"Ciiih, dasar anak ini!" Kekesalan mama berucap.
"Assalamualaikum," pamit ucap Karin.
"Walaikumsalam."
Brum ... brum ... brrrruuuum, gas kuputar kuat-kuat biar mama tahu kalau aku begitu kesal padanya. Kamipun berangkat dalam perjalanan tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai sekolahan.
"Hai Adrian?" sapa Yona saat aku baru saja sampai ditempat parkir sekolah.
Sapaan Yona tak langsung kujawab, sebab entah mengapa melihat wajahnya seakan-akan hatiku mulai timbul rasa kesal.
"Aku ke kelas langsung saja, kak!" pamit Karin.
"Eem, belajar baik-baik," jawab balik.
"Iya kak!" jawabnya sambil mencium tangan punggungku.
Langkah langsung saja berjalan ingin masuk dalam kelas, sebab waktu telah berjalan dengan cepat ingin dibunyikan bel masuknya pelajaran.
"Tunggu, Adrian. Kamu kok gitu sih sama aku? Padahal tadi baik-baik nyapa kamu, lho!" keluh Yona.
"Sengaja. Memang kenapa? Ada yang salah atas sikapku barusan?" jawabku ketus.
"Kamu kenapa, sih Adrian? Kenapa sikap kamu begini, apa karena marah atas kejadian Karin kemarin?" tanya Yona.
"Kalau iya kenapa dan kalau tidak kenapa juga? Yang jelas aku sangat kecewa atas ulah kamu kemarin," jawabku ketus sambil langkah masih sibuk berjalan menuju kelas.
"Tapi Adrian, kasus Karin kemarin bukan kesalahanku tapi kecerobohan dia sendiri, akibat tak becus merebus air masak saja," kekuh jawab Yona merasa benar.
"Benarkah? Sayangnya aku tak percaya atas ucapan kamu itu. Ngak mungkin Karin seceroboh itu sampai air tersiram semua, pasti kamulah dalang dalam semua itu. Walaupun kamu bukan pelakunya aku tetap kecewa, sebab kamulah yang menyuruh Karin untuk melakukan pekerjaan merebus air itu," jelasku yang sedikit emosi.
"Ooh, jadi kamu lebih percaya sama adek baru kamu itu, daripada teman kamu yang sudah lama ini. Kamu itu jangan asal nuduh jeplak begitu saja, tanpa ada bukti-bukti yang menguatkan bahwa akulah yang salah. Aku benar-benar kecewa sama kamu, Adrian!" ucap balik Yona marah.
Phakh, dengan kasarnya Yona menyenggol tanganku, saat berusaha mendahului langkahku untuk berjalan ke kelas. Tak kupedulikan lagi atas kemarahannya, yang jelas aku yakin sekali kalau Yona 'lah yang mencelakai Karin, sebab dari gelagatnya dari awal-awal Yona memamng tak suka kepada Karin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
🧡⃟ᴄᴇͫɢᷲɪᷝʟᷲ ⍣⃝ꉣꉣ𝓐𝔂⃝❥
kan dh keliatan sikap yona ke karin
ayo lindungin karin
greget bacanya😭
2024-11-28
3
🧡⃟ᴄᴇͫɢᷲɪᷝʟᷲ ⍣⃝ꉣꉣ𝓐𝔂⃝❥
waah mulai ada rasa ini 🤭🤭
2024-11-28
3
•§͜¢•❤️⃟Wᵃf로스미아✰͜͡v᭄ℜ𝔬𝔰ˢ⍣⃟ₛ
waah ngga dpt uang saku setahun? 😳
trus jajan pakai apa dong ma
2024-11-06
4