# FLASHBACK ON BAGIAN 16 #
Emosi jiwa begitu bersemayam menancap pada diriku.
Rasa kebencian terus saja menoreh kebaikanku yang selama ini terjaga.
Jiwa yang rapuh telah menghanyutkan kemarahan yang tak terkontrol.
Kesalahan memang mudah dilakukan, tapi apakah semuanya bisa diperbaiki dengan mudah?.
Tiada kata selain minta maaf, tapi rasanya hati ini tertutup atas semua itu.
Ketulusan sayang sedikit demi sedikit rasanya mulai layu.
Cahaya hati tulus mengasihi seakan mulai redup dan terkikis terhadapnya.
Begitu pulak oleh langit-langit hatiku mulai nampak mendung, tersiratkan dalam kemuraman untuk tak mengasihinya kembali.
"Maafkan aku ... maafkan aku, kak. Aku tak bermaksud berkata kasar padamu, tapi sikapmu yang brengs*k itu membuat amarahku kian memuncak. Apakah sedikit saja ingatan kamu tak ada, setelah kejadian semalam?" guman hati kesal yang kini menangis serak dalam selimut.
Perih, ya itulah yang aku rasakan menahan sakit sambil merintih pada tubuh dan hati juga. Tak ada lagi airmata yang kembali menetes deras membasahi pipi, sebab rasa sakit ini seakan-akan telah membuatku lupa bagaimana caranya menangis. Noda darahpun mungkin masih membekas disprei disana yang kemungkinan seketika bisa hilang saat dicuci, tapi tidak dengan tubuhku yang telah rusak dan bahkan kotor akibat ternodai.
Bayangan jari-jari tadi malam yang telah menelusuri tubuhku, membuat diri ini semakin terasa menjijikkan. Sesak dalam dada kian berkecamuk antara kemarahan, hingga berkali-kali aku mengigit selimut untuk menariknya kuat, tapi itu hanya kesia-siaan saja saat rasa perih itu tak juga kunjung sirna. Noda kehancuran pasti akan membekas selamanya, tanpa si empu yang telah melakukannya belum sadar sama sekali.
Tok ... tok ... tok, pintu terus saja diketuk, yang kemungkinan adalah kakak angkat.
Rasanya sungguh malas sekali untuk menemui maupun berbicara padanya. Rasa muakku begitu mengebu, hingga tak akan kupedulikan lagi suaranya yang terdengar mengkhawatirkan itu. Yang jelas aku ingin menenangkan diri untuk sementara ini didalam kamar, sebab kebungkamanku tak bisa diumbar-umbar begitu saja, saat orang yang telah melakukannya masih saja bodoh tak mengingatnya.
"Karin, bukakanlah pintu ini! Tok ... tok, Karin ... Karin," ujarnya yang terus saja mengetuk pintu.
"Karin, ayo bukalah! Klek ... klek. Aku mohon bukalah sebentar, sebab aku sekarang tengah membawakan makanan untukmu," pintanya yang ingin masuk.
"Tok ... tok. Karin, ayolah. Aku tahu mungkin kamu marah atas kejadian pesta tadi malam, tapi bukan begini cara kamu memusuhiku," cakap kak Andrian berusaha membujuk.
"Pesta tadi malam? Apa yang barusan kak Adrian katakan? Apakah dia sudah ingat kejadian itu?" tanyaku dalam hati.
"Ayolah, Karin. Aku tahu kesalahan terbesarku adalah mencuekkan dan tidak peduli padamu, yang mana lebih mementingkan teman-temanku. Tapi apakah gara-gara itu kamu telah marah besar padaku? Ayolah Karin, bukalah sebentar pintu kamarmu ini," rayunya lagi masih kekuh ingin masuk kamarku.
"Haaah, dasar manusia berpikiran picik. Apakah kesalahan kamu yang menodaiku masih tak engkau ingat, kak? Betapa bodohnya dirimu sebab menyangka aku telah marah besar hanya gara-gara tak ikut pesta ulang tahun kamu. Dasar pria egois tak punya perasaan," Kekesalanku berucap dalam hati.
"Ya sudah, kalau kamu tak mau membuka pintunya. Nampan nasi akan kutaruh disini, tapi nanti kamu harus memakannya," ujar kak Adrian sebelum benar-benar pergi dari luar kamarku.
Suara bisingnya sudah tak terdengar lagi ditelinga, namun diri ini tetap saja masih bermalas-malasan dalam kamar. Tak ada niatan sedikitpun untuk bangkit dari pembaringan dan menyudahi mengurung diri. Rasanya sungguh malas sekali bertatap muka pada orang yang dulu kusayang, hingga kini benar-benar kubenci setengah mati atas apa yang dilakukannya padaku.
Anehnya perut tak merasa lapar sama sekali. Pikiran yang kalut atas beban yang kuhadapi, sungguh tak membuat perut ini keroncongan minta diisi. Badan terus saja meringkuk dalam selimut memejamkan mata dengan maksud melupakan semua kejadian, namun saat membuka mata bayangan demi banyangan kejadian laknat itu kembali menari-nari dalam kepala, hingga mau tak mau lelehan airmata masih saja mengiringi kehancuran ini.
"Karin ... Karin, tok ... tok!" Suara kakak angkat yang berulang kali mengetuk kamarku lagi.
"Ya Allah, Karin. Bukalah sedikit saja pintu ini, izinkan semenit saja aku menemui kamu. Aku mohon, jangan buat aku tersiksa khawatir padamu. Sungguh maaafkan aku jika ada salah padamu, tapi beneran tolong dan tolong bukalah pintu kamar kamu ini. Karin ... tok ... tok ... Karin!" bujuk kak Adrian lagi.
Ucapannya yang manis tetap saja tak kugubris. Semakin dia mengoceh tak karuan, semakin lama semakin kututup kuat-kuat kedua telingaku. Kicauan ucapannya membuatku semakin terasa sesak dada, hingga tak berulang kali akupun tak mau mendegar suaranya lagi.
********
Malam telah berubah siang dan begitu pulak sinar mentari kian merangkak menjadi gelap. Sudah dua hari ini aku terus saja menyendiri terkungkung dalam kamar, tak ada pergerakan sama sekali untuk melakukan suatu pekerjaan. Berkali-kali pulak kak Adrian terus saja mengedor-ngedor pintu kamar, tapi yang ada hanya sahutan kemarahan menyuruhnya pergi dari kamarku.
Tok ... Tok, pintu lagi-lagi telah diketuk seseorang.
"Karin ... Karin, buka pintunya, nak!" Suara mama Lidya memanggil.
"Mama? Benarkah itu kamu?" tanyaku dalam hati.
"Karin, ayo bukalah pintu kamu ini. Jangan berbuat begini, sayang. Ayo bukalah! Ini mama," Suara beliau lembut memanggil lagi.
Karena aku percaya bahwa itu beneran suara mama Lidya yang kurindukan, akhirnya tanpa keraguan kaki kini melangkah untuk segera membuka pintu kamar.
Ceklek, secara perlahan-lahan aku membuka pintu dengan menyembulkan kepala sedikit, mencoba melihat apakah yang mengetuk pintu beneran mama Lidya atau bukan.
"Mama?" ucapku lirih dengan lesu.
"Iya, ini mama. Bisa mama masuk? Sebab ingin bicara sama kamu?" tanya beliau meminta izin.
"Boleh, Ma! Asalkan kak Adrian tak ikut masuk ke sini," pintaku mengizinkan.
"Tapi, Karin--!" tolak kak Adrian yang kini berdiri dibelakang mama.
"Ngak pa-pa, Adrian. Biar mama bicara dulu sama Karin," pinta mama membelaku.
"Heeh, baiklah ma!" jawabnya menundukkan kepala lemah.
Setelah kak Adrian benar-benar pergi dari depan pintu kamarku, akhirnya aku membuka pintu lebar-lebar dan langsung saja memeluk mama Lidya karena rindu yang mengebu tak tertahan lagi.
"Kamu kenapa, sayang? Ada apa? Ceritalah sama mama. Lihat! Kamu kelihatan kacau sekali," ujar mama Lidya mengelus-elus belakang punggungku.
Kepala kugeleng-gelengkan secara perlahan, mencoba tegar dan sekuat tenaga bungkam tak memberitahu mama Lidya apa yang tengah menimpaku.
"Mama benar-bebar khawatir pada keadaan kamu. Mari kita duduk dan bicarakan ini semua dengan santai didalam," cakap beliau menyuruh.
Akhirnya kami berdua duduk santai diatas ranjangku. Mulut masih terbungkam rapat tak berani mengeluarkan sepatah katapun, sebab aku tak mau semuanya akan bertambah runyam tentang masalah ini, sebab kemurkaan orang tua bisa-bisa membuat kak Adrian kena marah dan diusir oleh mereka.
"Mama kok sudah pulang ke sini? Bukankah masih ada dua minggu lagi di Singapura?" tanyaku penasaran dengan rasa pilu masih ingin menangis.
"Kak Ardrian sudah cerita semuanya pada mama, karena kamu mengkunci diri dalam kamar terus. Dia begitu khawatir sekali sama kamu, hingga dia menghubungi mama dan akhirnya ya disinilah mama sekarang," terang beliau.
"Karin rindu, mama!" ucapku lemah sambil menitikkan mata.
"Mama tahu, tapi apakah kamu mengurung diri dikamar ada kaitan dengan rasa rindu ini? Bukankah Adrian bilang kamu kelihatan marah besar padanya dan tak mau membuka pintu untuknya? Ada apa, nak? Ceritalah, mama pasti akan siap membantu kamu untuk memarahinya," tutur lembut beliau membujuk dengan tangan mengelus-elus pelan pipiku.
Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala kuat, saat mama mencoba mencari jawaban.
"Heeh, ya sudah kalau kamu belum mau cerita. Tapi nanti kalau kamu sudah tenang, bicarakan semuanya pada mama, ok!" bujuk beliau berusaha tenang menyikapi sifatku.
"Iya, ma!" jawabku lesu sambil memberikan senyuman manis.
Kami berdua sudah saling berpelukan. Rasa hangat pelukan beliau begitu nyaman dan meredakan semua ketakutanku. Mulut rasanya begitu tercekat tak bisa menjawab pertanyaan mama Lidya.
Sungguh, kelakuan kak Adrian yang sudah mencicipi minuman haram dan menodaiku, tak serta merta bisa kuungkapkan dengan mudah, sebab itu semua harus penuh keberanian untuk melakukannya. Aku tak mau gara-gara masalah ini semua keluarga akan hancur dan terpecah belah. Bisa jadi orangtua tak akan percaya pada omongan anak pungut mereka ini, sebab semua mempercayai bahwa sifat kak adrian yang pendiam dan baik hati itu, pasti orangtua tak akan percaya begitu saja bahwa anak mereka bisa melakukan hal segila itu. Jadi kini lebih baik aku diam seribu bahasa dulu dengan menyimpan segala luka, daripada nanti semua hancur berantakan.
Aku bukanlah anak yang tak tahu diri atas kebaikan mereka, oleh sebab itu diri ini tak mau dicap sebagai orang ("Air susu dibalas dengan air tuba" yaitu kebaikan dibalas dengan kekejaman omong kosong belaka). Aku kalut dan takut atas semua ini, karena tak mungkin kebaikan orangtua yang sudah menyekolahkan dan mengangkat derajatku dari panti asuhan, kini nama baik anak mereka bisa hancur gara-gara tercemar bejat jika aku memberitahunya, maka dari itu lebih baik diri ini bungkam menanggung semuanya sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ 🦆͜͡ᴍᴀᴍɪ²⍣⃝ꉣꉣHIAT
kamu harus kuat karin hadapi takdirMu
2024-05-06
6
❤️⃟Wᵃf🍁Νeͷg Aͷjaᴳ᯳ᷢ🐰❣
huaa aku jadi ikutan nyesek jadi Karin
2024-04-18
0
❤️⃟Wᵃf🕊️⃝ᥴͨᏼᷛAna
Bingung jelasin nya gimana, Karin😭
2024-04-16
0