# FLASHBACK ON BAGIAN 15 #
Kini aku terbangun kala sang mentari sudah menampakkan kilaunya, yang terasa hangat menyengat dari gorden saat tertiup angin. Mata terus saja mengerjap perlahan, untuk segera sadar dari tidur yang menyenyakkan. Pusing berdenyutpun telah terasa dikepala, hingga berulang kali kini telunjuk telah meraba untuk memijit pelipis. Kini tangan kucoba meraba-raba baju yang terasa ada tiupan angin telah tembus ke dada bidangku, dan betapa terkejutnya diri ini saat tahu bahwa kancing baju telah tak terpasangkan pada tempatnya. Dengan keadaan yang terkejut, tiba-tiba akupun mencoba membuka mata lebar-lebar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Yona? Apa ini?" Keterkejutanku dalam hati berkata, saat melihat Yona tertidur lelap tengah meringkuk dalam selimut kamarku.
Aku bangkit perlahan-lahan, dengan jari-jari masih sibuk memegang sudut pelipis. Aku terdiam sejenak, sambil badan kuusahakan bersandar pada kepala ranjang. Pusing yang berat masih sangat terasa.
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Kenapa Yona bisa tidur seranjang dikamarku?" tanyaku dalam hati mencoba mengingat-ngingatnya.
"Sebentar ... sebentar, awalnya aku tak ingin meminum barang haram itu, tapi oleh teman-taman terus saja dipaksa untuk mencicipi, hingga akhirnya dibuat lupa waktu dan terasa mabuk berat. Kemudian badan mulai terasa panas dan bergairah ingin melakukan sesuatu yang terlarang. Heeeh, setelah itu? Aaah, aku benar-benar tak sadar sama sekali bagaimana bisa sampai ke kamar ini. Yona? Satu kamar denganku? Heiiiist, apa yang sebenarnya terjadi?" rancau hati yang binggung, dengan mata telah memicing-micing sebab masih menahan rasa pusing.
Kini aku berusaha menyapu pandangan ke sekililing kamar, mencoba mengingat-ingat dan mencari tahu kejadian semalam, namun pada kenyataannya tak ada satupun kejadian yang berhasil kuingat.
Aku beranjak dari pembaringan, dengan berjalan masih sedikit sempoyongan akibat rasa pusing yang masih terasa bersarang dikepala. Tujuan utama kini kekamar mandi, untuk mencoba menenangkan diri akibat rasa syok sebab sudah satu kamar bersama Yona. Air shower telah menyala, hingga rambut kini telah basah dan mengalir deras menguyur seluruh tubuhku dari bahu sampai mata kaki. Beberapa detik kemudian aku berbalik badan dan setelah dirasa kembalinya kesadaran secara perlahan-lahan, aku mengambil spon sabun kemudian mencoba menuangkan cairan sabun mandi. Kuusahakan sabun telah menyusuri bagian tubuh untuk segera membersihkan setiap inci kulitku, hingga mata kini terpaku sesaat ketika melihat sesuatu berwarna merah telah menempel lekat di area paha.
"Apa ini? Darah? Lebih tepatnya ini semua apa? Aaaaaah, apa ini ... apa? Aaah ... aaah!" tanyaku pada diri sendiri sudah merasa kesal.
"Apakah aku benar-benar telah menodai Yona?" guman hati yang masih tak percaya.
Tanpa terasa bulir airmata tiba-tiba jatuh menetes bersamaan dengan guyuran air shower. Sebab kesal atas tindakan sendiri, tangan kini mengepal kuat berusaha memukul dinding kamar mandi.
"Aaah, bodoh ... bodoh kamu, Adrian? Kenapa kamu begitu bodohnya mau minum barang haram itu? Lihat, apa yang akhirnya terjadi sekarang? Kamu telah menodai anak orang lain," ucapan hati yang meruntukki diri sendiri.
"Haaah, bodoh ... bodoh, bhuugh ... bhuugh," Tak henti-hentinya tangan memukul dinding.
Rasa sakit ditangan akibat memukul tak kuhiraukan lagi, sebab dalam kacaunya keadaan hanya bisa berpikir bagaimana caranya bisa keluar dari labirin kebodohan ini. Lama sekali tetesan air telah membasahi tubuh, hingga akhirnya akupun menyudahi aktifitas ini sebab mendengar suara tangisan seseorang.
"Yona?" panggilku lembut.
"Kamu kenapa?" tanyaku pura-pura tak mengerti yang kini duduk ditepian ranjang kasur.
"Adrian? Apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa aku bisa berada dalam kamar kamu?" tanya Yona yang menangis pilu tersedu-sedu.
"Maafkan aku, Yona. Aku tak tahu dan tak ingat lagi apa yang telah kita lakukan tadi malam. Yang jelas pagi ini semuanya sudah terjadi," jawabku lesu tak berani menatap wajah Yona.
"Kamu memang benar-benar kejam, Adrian. Bhugh ... bhuugh ... bhughh," ucap marah Yona memukul kasar tubuhku.
"Maafkan aku, Yona."
"Apakah kamu beneran sudah---?" imbuh tanya Yona ragu.
"Iya, Yona. Mungkin semalam kita sudah melakukan hal-hal yang terlarang sebelum pernikahan. Maafkan aku Yona, mungkin aku telah khilaf melakukan itu semua akibat pengaruh minuman haram itu. Jadi kamu tidak usah bersedih begitu, sebab aku akan bertanggung jawab atas tindakanku yang sudah ceroboh itu," jawabku pasrah dengan lemahnya.
"Benarkah apa yang kamu katakan?" cakap tanya Yona yang sudah berhenti dari isak tangisnya.
"Iya, Yona. Aku pasti akan tanggung jawab dan pastinya sebagai lelaki sejati aku tak akan pernah melarikan diri. Itulah janjiku padamu," jawabku serius penuh keberanian.
"Benarkah? Terima kasih, Adrian. Aku senang dengan sikap kamu yang berani tanggung jawab itu," ujar Yona manja bergelayut dibahuku, dengan cara tangannya melingkar memeluk.
"Iya, Yona. Pasti itu, ingatlah!" cakapku menyakinkannya.
"Ya sudah, kamu bersihkan diri kamu dulu. Aku mau keluar melihat teman-teman yang lain," cakapku yang berusaha menghindari pelukan Yona sebab risih.
"Siap bos, akan aku laksanakan!" ujar Yona tegas menuruti ucapanku.
Setelah Yona bangkit dari tempat tidur untuk ke kamar mandi, akupun segera keluar kamar mencoba melihat keadaan rumah dan berusaha mengingat-ingat apakah kejadian semalam benar-benar terjadi, sebab telah menghilangkan kesucian Yona ataukah hanya mimpi?.
Rumah sudah nampak seperti kapal pecah, dengan barang-barang botol bekas minum dan acara pesta sudah berserakan dimana-mana. Diri ini hanya bisa duduk termenung ditangga lantai dua, sambil melihat aktifitas teman-teman yang berusaha membantu membersihkan sisa pesta. Rasanya aku tak ada tenaga lagi akibat masih tak percaya atas kejadian kebodohan yang tengah menimpaku.
"Bagaimana dengan kuliahku? Apakah mama dan papa akan marah besar padaku, sebab telah menodai anak orang? Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Aah, kenapa kamu terlalu bodoh tak bisa mengontrol nafsu kamu, Adrian?" rancau hati yang melamun dengan pikiran yang melayang-layang.
"Hei, sayang!" sapa Yona yang mengagetkan, hingga lamunanpun seketika jadi ambyar.
"Sayang? Apa ngak salah dengar, nih!" ledek Bayu temanku, masih sibuk membantu membersihkan rumah.
"Memang kenapa? Kamu memang beneran ngak salah, kok! Bener ngak, Adrian?" jawab Yona santai sambil pamer.
"Emm," jawabku singkat.
"Benarkah? Cie ... cie, sudah jadian saja nih rupanya," ledek simbatan teman yang lain.
Aku hanya bisa memberikan senyuman kecut pada mereka, sebab tak senang atas status kami yang baru ini, tapi disebalik itu aku harus wajib melakukan ini semua atas rasa janji tanggung jawabku pada Yona.
"Aku pulang dulu ya sayang, bye ...bye!" pamit Yona akan pergi.
"Hmm, bye ... bye juga," jawabku lemah hanya bisa melambaikan tangan.
Mobil semua orang sudah hilang dari pandangan, hingga rumahpun sekarang sudah sepi dan kelihatan bersih, akibat usaha teman-teman yang menepati janji untuk membantu membereskan sisa acara pesta. Rasa lemah disekujur tubuh begitu terasa, hingga akupun tak tahan lagi untuk segera duduk ditepian emperan teras rumah. Kepala tarasa berat sekali, akibat pusing memikirkan ketakutan jika sesuatu yang tak diinginkan dimasa depan akan terjadi sungguhan.
Krucuk ... krucuk, suara perut tiba-tiba berbunyi keroncongan menandakan bahwa segera minta diisi makanan, karena dari tadi pagi tidak ada satupun makanan yang masuk dalam perut.
"Oh ya, kemana Karin? Kenapa dari tadi ngak kelihatan, ya? Tumben-tumbennya dari tadi pagi tak menampakkan batang hidungnya?" guman hati merasa aneh.
"Aku harus menemuinya?" ucapku pada diri sendiri, yang kini bangkit ingin melihat adek kesayangan.
Kaki terus saja melangkah dari sudut ke sudut ruangan termasuk dapur dan taman belakang, namun masih saja diri ini tak melihat adek angkatku itu. Yang terakhir kali adalah kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku dilantai atas.
"Karin ... Karin, tok ... tok?" panggilku mengetuk pintu kamarnya perlahan-lahan.
Tok ... tok ... tok, pintunya terus kuketuk.
Berulang kali jari jemari menyentuh pintu kamar adek angkat, namun tak ada simbatan sama sekali dari dalam kamarnya, hingga mau tak mau terpaksa membukanya tanpa disuruh.
Cekliek, perlahan-lahan pintu kubuka, yang kini menampakkan tubuh Karin tengah bergulung dengan selimut sedang tidur nyenyak. Tanpa basa-basi lagi akupun segera menghampiri untuk mencoba membangunkannya, sebab perasaan anehpun mulai menelisik hati saat sudah siang adik angkat masih saja nyaman bersama mimpinya.
"Karin ... Karin, kamu kenapa? Kok tumben-tumben belum bangun!" cakapku berusaha membangunkan dengan menarik selimutnya.
"Aaaaakhhhhhhh," teriak Karin tiba-tiba.
"Hei Karin, ada apa?" tanyaku kaget.
"Kamu jangan mendekat," pintanya takut yang kini menepi duduk jauh disudut pojokkan kasur.
"Apa maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.
"Diam kamu, kak. Aku bilang jangan mendekat ya jangan mendekat," bentaknya yang sudah menangis.
"Kamu kenapa? Ini kakak kamu," ujarku yang berusaha mendekati dan mencoba menyentuhnya, yang nampak sekali tengah dilanda ketakutan.
"Phaaak, aku bilang jangan sentuh aku!" ujarnya kasar saat menepis tanganku secara kuat.
"Baiklah, aku tak akan mendekatimu. Tapi tolong jelaskan apa yang terjadi padamu, hingga kamu kelihatan takut sekali padaku?" tanyaku yang tak mengerti sebab sudah merasa aneh.
Karin hanya bisa memeluk kedua lututnya, sambil menangis tersedu-sedu penuh kepiluan. Aku begitu dilanda rasa kebingungan yang luar biasa atas sikap aneh Karin, yang telah takut melihat wajahku.
"Seharusnya akulah yang bertanya padamu, kak? Kenapa engkau telah tega melukaiku?" jawabnya yang masih saja tak kumengerti.
"Melukai? Apa maksudmu?" tanyaku yang kian tak mengerti sebab membingungkan.
"Aku tak bisa memberikan jawaban, sebab semuanya ada pada ingatanmu. Jadi tolong keluarlah dari kamar ini, sebab aku muak dan jijik sekali melihat tampang kamu itu," pinta Karin yang kelihatan kesal.
"Tapi, Karin?" jawabku ragu sebab tak tega.
"PERGI ... aku bilang PERGI, aaaaah ... pergi kamu dari sini, pergi ... pergi!" teriak histeris Karin mencoba mengusirku.
"Baik ... baiklah, aku akan pergi, tapi tenangkan diri kamu dulu, ok!" jawabku yang masih ngotot mencoba menenangkannya.
"Ngak usah banyak bicara. Aku bilang pergi ... ya pergi," cakap Karin yang kini benar-benar marah padaku, dengan sorot matanya sudah tajam akibat emosi yang kelihatan telah memuncak.
Karena tak mau terjadi hal-hal yang tak diinginkan, aku akhirnya luluh juga untuk segera keluar meninggalkan kamar Karin. Lama sekali aku terpaku berdiam diri menghadap pintu kamar Karin. Ingin masuk takut dia marah, tapi jika tak masuk rasa khawatir akan keselamatan adik angkat yang kelihatan kacau begitu menganggu pikiran.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Karin? Apa aku berbuat salah padamu, hingga kamu kelihatan takut padaku? Apa kamu baik-baik didalam sana? Tidak ... tidak, kamu kelihatan tak baik? Heeh, bagaimana aku bisa membantu kamu mencari solusi apa yang sedang kamu hadapi, hingga engkau semarah itu padaku?" guman hati yang bertanya-tanya sebab rasa khawatir begitu bersemayam merajai jiwa.
"Aku harus mencari cara supaya kamu mau berbicara padaku? Dan mencari tahu apa yang sedang terjadi padamu?" ucap hati pada diri sendiri yang tak tahu caranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ 🦆͜͡ᴍᴀᴍɪ²⍣⃝ꉣꉣHIAT
yona cari kesempatan mendapatkan adrian
2024-05-06
4
❤️⃟Wᵃf🍁Νeͷg Aͷjaᴳ᯳ᷢ🐰❣
wah Yona licik dia manfaat in keadaan biar dikira Adrian udah ngapa2in dia kali ya. kasian Karin jadi trauma gitu
2024-04-18
1
𝐀⃝🥀~Arra~☆
makanya sesuatu yang memabukkan itu di haramkan.. takutnya yah kayak gini/Smug/
2024-03-25
7