Hellbent
Gerumbulan orang menari gila-gilaan di tengah lantai dansa, bau keringat mereka yang bercampur dengan aroma minuman keras serta asap rokok membuat orang-orang yang tidak terbiasa akan mengernyit jijik. Disitulah Ava, menyusup di antara lautan para hedonis, jenis manusia yang secara lahiriah penuh dengan rasa sombong, martabat kelewat tinggi, bahkan heroin. Ladang harta karun baginya.
“Keamanan klub ini diperketat, ya?” ucap gadis itu seraya meneguk mocktail yang terasa manis di lidah. Pada hari-hari biasa, hanya ada 12 orang yang ditugaskan sebagai penjaga keamanan di “Paradise Club”, sekarang personel sekuriti ditambah dengan 5 orang wajah baru berbadan kekar yang masing-masing ditempatkan di pintu masuk, pintu keluar, lantai satu, lantai dua, dan zona VIP.
“Hah! Dan aku terheran-heran, salah siapakah itu?” seorang laki-laki dengan rambut coklat cepak membalas dengan seringai menghina.
Wajah manis Ava kemudian tersenyum lebar, memampangkan senyum Hollywood yang sering ia manfaatkan untuk keluar dari masalah, “Ei, bukan salahku pastinya, Theo.” Gadis yang mengenakan gaun hitam selutut dan dirangkapi dengan jaket denim tersebut menyelipkan beberapa lembar uang di samping gelasnya, yang diterima oleh bartender sinis tadi dengan senang hati meskipun komentarnya yang menyindir lima detik lalu. Kemudian kursinya berputar, Ava kembali mengobservasi keadaan sekitar dengan objektif baru.
“Hm.” Lima belas meter di utara, kalung berlian dan gelang emas, sepuluh meter di timur laut, jam mahal, tujuh meter di timur, cincin dengan batu perhiasan yang belum teridentifikasi, tiga meter di tenggara, tas bermerk yang tidak dijaga.
Ava lalu bangkit, tubuhnya yang kecil mengikuti arus orang-orang yang berjoget, kemudian tanpa bersusah payah menyelip dengan lincah untuk mengambil targetnya. Dalam sekejap tas Channel berada dalam kepitan lengannya. “Oh, rubi,” gumamnya sembari menarik cekatan sebuah cincin dari seorang laki-laki yang hampir tidak sadarkan diri karena teler. “Halo, Tampan!” jemarinya yang lentik mengelus bahu hingga pergelangan tangan pria di hadapannya, dengan senyum laki-laki tersebut menyambut Ava yang belum genap lima detik kemudian menghilang, tentu setelah memasukkan jam Rolex ke dalam saku jaketnya. Saat mendekat ke sasaran terakhir, Ava memperhatikan lagi raut wajah kesal gadis pirang yang kali ini lebih jelas setelah pasangannya tidak kunjung kembali sejak lima belas menit yang lalu. “Hei, maaf menganggu,” ia menepuk pelan bahu gadis tersebut, “tapi kurasa pacarmu membawa seorang gadis mabuk berambut hitam ke toilet,” sambungnya. Ava menunjuk toilet yang agak jauh dari posisi mereka, sengaja menggesek tangannya dengan bagian belakang leher gadis tersebut, yang langsung menyongsong marah menuju toilet dengan meneriakkan kata bajingan dan sumpah serapah lain yang sama menghinanya.
Senyum bisnis Ava merekah.
Ia kembali ke meja bartender, tempat yang ia tinggalkan tidak lebih dari semenit yang lalu, kemudian memesan satu gelas minuman tidak beralkohol lain dari menu, Virgin Mojito. “Kurasa sukses besar?” tanya Theo dengan sedikit kesal melihat senyum palsu Ava yang terus dipamerkan. “Betul sekali,” timpal gadis itu dengan mengedipkan sebelah matanya yang dibubuhi maskara tebal.
Ava menyeruput minumannya pelan. Sekarang, dia memiliki waktu 20 menit sebelum salah satu korbannya menyadari hilangnya barang mereka. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Dan gadis itu kembali mengasesmen keadaan sekitarnya, sudah seperti kebiasaan yang tertanam meskipun kali ini dia tidak memiliki tujuan. Akan tetapi sesuatu menarik perhatiannya.
Ava lagi-lagi beranjak dari duduknya. “Sarah!” ucapnya cukup keras untuk didengar oleh orang-orang dengan radius lima meter di tengah klub yang ramai. Target-targetnya menoleh. Ia kemudian berlari kecil menuju perempuan berperawakan langsing yang tidak ia kenal. Si Sarah tentu saja bingung, namun Ava tidak memberikan perempuan itu waktu untuk membalas, dipeluknya erat ia, “jangan minum, tadi pria itu mencampurkan sesuatu ke dalamnya.” Si Sarah membeku untuk sesaat mendengar konten dari bisikan yang tepat di telinganya. “Aku mencarimu kemana-mana, ya ampun! Anak-anak yang lain sudah mau pulang. Yuk!” Mengerti dengan isyarat yang diberikan Ava, Sarah buru-buru membereskan barang bawaannya. “Oh!”, ujar Ava pura-pura terkejut, “Maaf aku tidak melihat
kalian tadi, salah satu teman kami sudah harus diangkut karena pingsan, sedangkan dua lainnya hampir tidak bisa berdiri dan muntah hingga sarapan mereka tidak bersisa,” dua laki-laki yang jelas-jelas menyembunyikan kejengkelannya hanya bisa tersenyum paksa dan mengangguk maklum karena nada bicara Ava yang jelas memancing simpati, mereka tahu resikonya tinggi apabila masih memaksa Sarah untuk tetap tinggal dan malah memancing keributan dengan adanya kehadiran “teman”-nya yang tiba-tiba muncul, apalagi bila “teman” tersebut dari kesan pertamanya saja terlihat bermulut besar, bersuara keras, dan suka mendramatisir suasana.
Ava merangkul Sarah menuju pintu keluar, tentu saja setelah mengkode Theo mengenai dua keparat tadi, biar Theo yang kemudian akan memberitahu keamanan.
Sesampainya di luar, musik yang menggema terdengar samar-samar, dan Sarah membungkuk berkali-kali untuk berterima kasih. “Kutunggu sampai kau mendapatkan taksi untuk pulang.” Sebenarnya Ava saat ini sudah seharusnya ratusan meter menjauh dari klub itu, mengingat tindakan kriminal yang baru saja ia lakukan sebelum misi penyelamatan tadi, namun kondisi Sarah yang masih mengalami tremor karena takut dan syok membuatnya menahan diri untuk lari dari sana. Lima menit berlalu, akhirnya Sarah dengan sukses memasuki taksi setelah berterima kasih untuk terakhir kalinya dan mengirimkan plat nomor mobil yang ditumpanginya ke salah satu kontak temannya yang asli, menuruti saran Ava. Tidak ada salahnya berhati-hati di tengah malam seperti ini, terlebih setelah apa yang ia alami.
Barulah setelah taksi dengan nomor plat yang ia hapalkan menghilang di belokan, Ava langsung berjalan cepat menuju toko swalayan yang buka 24 jam tak jauh dari sana. Tanpa menghiraukan sambutan lesu dari penjaga toko tersebut, Ava buru-buru memasuki toilet. Dilepasnya hak tiga centimeter yang ia pakai, setelah itu menaiki bidet yang ada untuk membuka plafon di atasnya. Dari sana Ava mengambil tas ransel besar yang di dalamnya berisi pakaian ganti dan keperluan lainnya. Setelah melepas wig pirang, gaun hitam yang tidak nyaman, stilleto, serta make-up tebal yang merubah total kesan wajah manis Ava, akhirnya gadis itu merasa bisa bernapas lagi. Ia keluar dari toilet dengan penampilan yang benar-benar baru, kaus polos putih yang dilapisi jaket kulit coklat serta celana jin hitam. Melewati kasir yang terkantuk-kantuk, Ava melangkah menuju area parkir toko swalayan tersebut. Setelah memakai helm dan menyelempangkan tas ransel di punggungnya, sepeda motor Ava langsung menyala, kemudian meluncur sejauh mungkin dari zona tersebut.
***
Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras malam itu. Sepulangnya Ava setelah menjual hasil copetannya dengan harga 70% persen di bawah harga pasar di jaringan pasar gelap untuk menghindari pelacakan, ia menurunkan kecepatan laju sepeda motornya karena jalan yang licin. Bahunya yang pegal merindukan kasurnya yang usang. Di pikirannya saat itu ialah mandi, tidur, dan akhirnya menjenguk Lexa di rumah sakit besok siang.
Sayangnya nasib tidak memihak.
Seorang supir truk yang mengantuk tanpa sengaja menginjak pedal gas di jembatan aspal di mana Ava berada, membuat truk bermuatan 1 ton itu melaju kencang di jalan raya yang basah. Sesaat kemudian truk tersebut hilang kendali, melesat tanpa arah, hingga akhirnya terguling bersamaan dengan bunyi derit dan dentuman yang keras. Di sisi lain, Ava terlebih dulu menyadari ada yang ganjil, tidak ada supir truk yang waras berani bermain-main ketika hujan meskipun jalan sepi, laju zig zag ditengarai oleh cahaya yang dipancarkan lampu kendaraan di depannya membuat Ava mengerem cakram sepeda motornya. Namun truk yang terus melaju tidak beraturan semakin mempersempit jaraknya dengan Ava secara cepat. Tidak ada waktu untuk putar balik. Probabilitas keselamatannya lebih terjamin dengan cara melompati jembatan tersebut dan terjun menuju sungai 6 meter di bawah sana. Dan itulah yang Ava lakukan.
Byur!
Tubuhnya menghantam air yang saat itu lebih terasa seperti konkret, tekanan pada dada dan perut jelas sekali terasa meski postur terjunnya ia atur sedemikian rupa hingga menimbulkan kerusakan yang seminimal mungkin dalam waktu yang sempit tadi, tetap saja Ava tidak bisa menghindari rasa sesak, selain itu anggota badannya yang sedari tadi kedinginan akibat hujan, kini mengalami kram di telapak kaki kirinya. Ava mengutuk dalam hati, dalam situasi seperti ini ia tidak boleh panik atau ia malah akan tenggelam. Jadi ia membiarkan tubuhnya rileks sembari menahan napas sekecil apapun oksigen yang masih tersisa di paru-parunya yang serasa terbakar. Tubuhnya melayang-layang dalam air, semakin jauh dari permukaan. Ia bisa melihat cahaya keperakan purnama yang berdansa mengikuti ombak air dan didistorsi oleh hujan, disertai kobaran api dari truk yang hampir dipastikan melindas motornya sebagai hiasan ironi dalam pandangannya.
Namun kemudian ... pandangannya hilang, untuk sesaat ia disilaukan oleh sinar yang saking terangnya membuat ia buta, hanya menyisakan kehampaan putih. Saat itulah semua indranya makin lama makin mati rasa. Dengung pada telinganya akibat tekanan air kini diam. Ia juga tidak lagi merasakan basah air yang menyentuh kulitnya. Tubuhnya terkunci, tidak tergerak.
Cuma ada kesadaranya yang tersisa.
Inikah proses pencabutan nyawa? Apakah setelah ini ia akan dipertontonkan kisah hidupnya yang
menyedihkan?
Namun saat itulah ia merasakan satu degup kencang, diikuti dengan irama dari jantungnya yang berdetak begitu keras hingga ia dapat merasakannya di tenggorokan. Namun sekejap kemudian semuanya langsung kembali normal.
Ava menatap lagi sinar bulan keunguan yang bergoyang bersama riak air.
Tunggu ... ungu?
Meskipun kram di kakinya belum hilang, Ava dapat menggerakkan tangannya. Gadis itu lekas-lekas berenang ke permukaan, wajahnya disambut dengan tamparan rintik hujan yang belum berhenti, dihirupnya oksigen dengan rakus di antara batuk parahnya untuk mengisi paru-paru yang hampir saja penuh dengan air. Akan tetapi apa yang dilihatnya di langit malam belum berubah.
Bulan dengan cincin keunguan berada di antara kerlip bintang dalam kanvas hitam.
Apakah ini halusinasi karena kekurangan oksigen untuk otak?
Namun apapun yang terjadi dengan bulan di atas, prioritasnya menuju daratan. Maka Ava mengayuh lengannya, bersusah payah berenang ke arah hutan yang tidak jauh dari tempatnya melompat. Setelah mati-matian bergerak, akhirnya ia bisa melempar tas ransel yang menjadi beban begitu ia merangkak di tanah. Ava telentang di bawah sebuah pohon, kakinya terjulur. Dadanya kembang kempis mengambil napas untuk tubuh lelahnya yang bergetar.
Akan tetapi, seberapa lama pun ia menunggu, bahkan sampai hujan berhenti, bulan bercincin ungu itu tidak menghilang dari pandangannya.
Jadi ini bukan sekedar ilusi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
Khalif Huzaifah
purnama didalam hujan..menarik...bintang2 nya sekalian
2022-12-19
0
Bang Boenk
novelnya bagus dalam cerita dan artikulasi tetapi yah gw suka sama MC nya cowok😳😳😳
2022-11-29
0
Juicy Coco
Not bad
2022-10-30
1