NovelToon NovelToon

Hellbent

Bab 1: Ethereal

Gerumbulan orang menari gila-gilaan di tengah lantai dansa, bau keringat mereka yang bercampur dengan aroma minuman keras serta asap rokok membuat orang-orang yang tidak terbiasa akan mengernyit jijik. Disitulah Ava, menyusup di antara lautan para hedonis, jenis manusia yang secara lahiriah penuh dengan rasa sombong, martabat kelewat tinggi, bahkan heroin. Ladang harta karun baginya.

“Keamanan klub ini diperketat, ya?” ucap gadis itu seraya meneguk mocktail yang terasa manis di lidah. Pada hari-hari biasa, hanya ada 12 orang yang ditugaskan sebagai penjaga keamanan di “Paradise Club”, sekarang personel sekuriti ditambah dengan 5 orang wajah baru berbadan kekar yang masing-masing ditempatkan di pintu masuk, pintu keluar, lantai satu, lantai dua, dan zona VIP.

“Hah! Dan aku terheran-heran, salah siapakah itu?” seorang laki-laki dengan rambut coklat cepak membalas dengan seringai menghina.

Wajah manis Ava kemudian tersenyum lebar, memampangkan senyum Hollywood yang sering ia manfaatkan untuk keluar dari masalah, “Ei, bukan salahku pastinya, Theo.” Gadis yang mengenakan gaun hitam selutut dan dirangkapi dengan jaket denim tersebut menyelipkan beberapa lembar uang di samping gelasnya, yang diterima oleh bartender sinis tadi dengan senang hati meskipun komentarnya yang menyindir lima detik lalu. Kemudian kursinya berputar, Ava kembali mengobservasi keadaan sekitar dengan objektif baru.

“Hm.” Lima belas meter di utara, kalung berlian dan gelang emas, sepuluh meter di timur laut, jam mahal, tujuh meter di  timur, cincin dengan batu perhiasan yang belum teridentifikasi, tiga meter di tenggara, tas bermerk yang tidak dijaga.

Ava lalu bangkit, tubuhnya yang kecil mengikuti arus orang-orang yang berjoget, kemudian tanpa bersusah payah menyelip dengan lincah untuk mengambil targetnya. Dalam sekejap tas Channel berada dalam kepitan lengannya. “Oh, rubi,” gumamnya sembari menarik cekatan sebuah cincin dari seorang laki-laki yang hampir tidak sadarkan diri karena teler. “Halo, Tampan!” jemarinya yang lentik mengelus bahu hingga pergelangan tangan pria di hadapannya, dengan senyum laki-laki tersebut menyambut Ava yang belum genap lima detik kemudian menghilang, tentu setelah memasukkan  jam Rolex ke dalam saku jaketnya. Saat mendekat ke sasaran terakhir, Ava memperhatikan lagi raut wajah kesal gadis pirang yang kali ini lebih jelas setelah pasangannya tidak kunjung kembali sejak lima belas menit yang lalu. “Hei, maaf menganggu,” ia menepuk pelan bahu gadis tersebut, “tapi kurasa pacarmu membawa seorang gadis mabuk berambut hitam ke toilet,” sambungnya. Ava menunjuk toilet yang agak jauh dari posisi mereka, sengaja menggesek tangannya dengan bagian belakang leher gadis tersebut, yang langsung menyongsong marah menuju toilet dengan meneriakkan kata bajingan dan sumpah serapah lain yang sama menghinanya.

Senyum bisnis Ava merekah.

Ia kembali ke meja bartender, tempat yang ia tinggalkan tidak lebih dari semenit yang lalu, kemudian memesan satu gelas minuman tidak beralkohol lain dari menu, Virgin Mojito. “Kurasa sukses besar?” tanya Theo dengan sedikit kesal melihat senyum palsu Ava yang terus dipamerkan. “Betul sekali,” timpal gadis itu dengan mengedipkan sebelah matanya yang dibubuhi maskara tebal.

Ava menyeruput minumannya pelan. Sekarang, dia memiliki waktu 20 menit sebelum salah satu korbannya menyadari hilangnya barang mereka. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Dan gadis itu kembali mengasesmen keadaan sekitarnya, sudah seperti kebiasaan yang tertanam meskipun kali ini dia tidak memiliki tujuan. Akan tetapi sesuatu menarik perhatiannya.

Ava lagi-lagi beranjak dari duduknya. “Sarah!” ucapnya cukup keras untuk didengar oleh orang-orang dengan radius lima meter di tengah klub yang ramai. Target-targetnya menoleh. Ia kemudian berlari kecil menuju perempuan berperawakan langsing yang tidak ia kenal. Si Sarah tentu saja bingung, namun Ava tidak memberikan perempuan itu waktu untuk membalas, dipeluknya erat ia, “jangan minum, tadi pria itu mencampurkan sesuatu ke dalamnya.” Si Sarah membeku untuk sesaat mendengar konten dari bisikan yang tepat di telinganya. “Aku mencarimu kemana-mana, ya ampun! Anak-anak yang lain sudah mau pulang. Yuk!” Mengerti dengan isyarat yang diberikan Ava, Sarah buru-buru membereskan barang bawaannya. “Oh!”, ujar Ava pura-pura terkejut, “Maaf aku tidak melihat

kalian tadi, salah satu teman kami sudah harus diangkut karena pingsan, sedangkan dua lainnya hampir tidak bisa berdiri dan muntah hingga sarapan mereka tidak bersisa,” dua laki-laki yang jelas-jelas menyembunyikan kejengkelannya hanya bisa tersenyum paksa dan mengangguk maklum karena nada bicara Ava yang jelas memancing simpati, mereka tahu resikonya tinggi apabila masih memaksa Sarah untuk tetap tinggal dan malah memancing keributan dengan adanya kehadiran “teman”-nya yang tiba-tiba muncul, apalagi bila “teman” tersebut dari kesan pertamanya saja terlihat bermulut besar, bersuara keras, dan suka mendramatisir suasana.

Ava merangkul Sarah menuju pintu keluar, tentu saja setelah mengkode Theo mengenai dua keparat tadi, biar Theo yang kemudian akan memberitahu keamanan.

Sesampainya di luar, musik yang menggema terdengar samar-samar, dan Sarah membungkuk berkali-kali untuk berterima kasih. “Kutunggu sampai kau mendapatkan taksi untuk pulang.” Sebenarnya Ava saat ini sudah seharusnya ratusan meter menjauh dari klub itu, mengingat tindakan kriminal yang baru saja ia lakukan sebelum misi penyelamatan tadi, namun kondisi Sarah yang masih mengalami tremor karena takut dan syok membuatnya menahan diri untuk lari dari sana. Lima menit berlalu, akhirnya Sarah dengan sukses memasuki taksi setelah berterima kasih untuk terakhir kalinya dan mengirimkan plat nomor mobil yang ditumpanginya ke salah satu kontak temannya yang asli, menuruti saran Ava. Tidak ada salahnya berhati-hati di tengah malam seperti ini, terlebih setelah apa yang ia alami.

Barulah setelah taksi dengan nomor plat yang ia hapalkan menghilang di belokan, Ava langsung berjalan cepat menuju toko swalayan yang buka 24 jam tak jauh dari sana. Tanpa menghiraukan sambutan lesu dari penjaga toko tersebut, Ava buru-buru memasuki toilet. Dilepasnya hak tiga centimeter yang ia pakai, setelah itu menaiki bidet yang ada untuk membuka plafon di atasnya. Dari sana Ava mengambil tas ransel besar yang di dalamnya berisi pakaian ganti dan keperluan lainnya. Setelah melepas wig pirang, gaun hitam yang tidak nyaman, stilleto, serta make-up tebal yang merubah total kesan wajah manis Ava, akhirnya gadis itu merasa bisa bernapas lagi. Ia keluar dari toilet dengan penampilan yang benar-benar baru, kaus polos putih yang dilapisi jaket kulit coklat serta celana jin hitam. Melewati kasir yang terkantuk-kantuk, Ava melangkah menuju area parkir toko swalayan tersebut. Setelah memakai helm dan menyelempangkan tas ransel di punggungnya, sepeda motor Ava langsung menyala, kemudian meluncur sejauh mungkin dari zona tersebut.

***

Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras malam itu. Sepulangnya Ava setelah menjual hasil copetannya dengan harga 70% persen di bawah harga pasar di jaringan pasar gelap untuk menghindari pelacakan, ia menurunkan kecepatan laju sepeda motornya karena jalan yang licin. Bahunya yang pegal merindukan kasurnya yang usang. Di pikirannya saat itu ialah mandi, tidur, dan akhirnya menjenguk Lexa di rumah sakit besok siang.

Sayangnya nasib tidak memihak.

Seorang supir truk yang mengantuk tanpa sengaja menginjak pedal gas di jembatan aspal di mana Ava berada, membuat truk bermuatan 1 ton itu melaju kencang di jalan raya yang basah. Sesaat kemudian truk tersebut hilang kendali, melesat tanpa arah, hingga akhirnya terguling bersamaan dengan bunyi derit dan dentuman yang keras. Di sisi lain, Ava terlebih dulu menyadari ada yang ganjil, tidak ada supir truk yang waras berani bermain-main ketika hujan meskipun jalan sepi, laju zig zag ditengarai oleh cahaya yang dipancarkan lampu kendaraan di depannya membuat Ava mengerem cakram sepeda motornya. Namun truk yang terus melaju tidak beraturan semakin mempersempit jaraknya dengan Ava secara cepat. Tidak ada waktu untuk putar balik. Probabilitas keselamatannya lebih terjamin dengan cara melompati jembatan tersebut dan terjun menuju sungai 6 meter di bawah sana. Dan itulah yang Ava lakukan.

Byur!

Tubuhnya menghantam air yang saat itu lebih terasa seperti konkret, tekanan pada dada dan perut jelas sekali terasa meski postur terjunnya ia atur sedemikian rupa hingga menimbulkan kerusakan yang seminimal mungkin dalam waktu yang sempit tadi, tetap saja Ava tidak bisa menghindari rasa sesak, selain itu anggota badannya yang sedari tadi kedinginan akibat hujan, kini mengalami kram di telapak kaki kirinya. Ava mengutuk dalam hati, dalam situasi seperti ini ia tidak boleh panik atau ia malah akan tenggelam. Jadi ia membiarkan tubuhnya rileks sembari menahan napas sekecil apapun oksigen yang masih tersisa di paru-parunya yang serasa terbakar. Tubuhnya melayang-layang dalam air, semakin jauh dari permukaan. Ia bisa melihat cahaya keperakan purnama yang berdansa mengikuti ombak air dan didistorsi oleh hujan, disertai kobaran api dari truk yang hampir dipastikan melindas motornya sebagai hiasan ironi dalam pandangannya.

Namun kemudian ... pandangannya hilang, untuk sesaat ia disilaukan oleh sinar yang saking terangnya membuat ia buta, hanya menyisakan kehampaan putih. Saat itulah semua indranya makin lama makin mati rasa. Dengung pada telinganya akibat tekanan air kini diam. Ia juga tidak lagi merasakan basah air yang menyentuh kulitnya. Tubuhnya terkunci, tidak tergerak.

Cuma ada kesadaranya yang tersisa.

Inikah proses pencabutan nyawa? Apakah setelah ini ia akan dipertontonkan kisah hidupnya yang

menyedihkan?

Namun saat itulah ia merasakan satu degup kencang, diikuti dengan irama dari jantungnya yang berdetak begitu keras hingga ia dapat merasakannya di tenggorokan. Namun sekejap kemudian semuanya langsung kembali normal.

 Ava menatap lagi sinar bulan keunguan yang bergoyang bersama riak air.

Tunggu ... ungu?

Meskipun kram di kakinya belum hilang, Ava dapat menggerakkan tangannya. Gadis itu lekas-lekas berenang ke permukaan, wajahnya disambut dengan tamparan rintik hujan yang belum berhenti, dihirupnya oksigen dengan rakus di antara batuk parahnya untuk mengisi paru-paru yang hampir saja penuh dengan air. Akan tetapi apa yang dilihatnya di langit malam belum berubah.

Bulan dengan cincin keunguan berada di antara kerlip bintang dalam kanvas hitam.

Apakah ini halusinasi karena kekurangan oksigen untuk otak?

Namun apapun yang terjadi dengan bulan di atas, prioritasnya menuju daratan. Maka Ava mengayuh lengannya, bersusah payah berenang ke arah hutan yang tidak jauh dari tempatnya melompat. Setelah mati-matian bergerak, akhirnya ia bisa melempar tas ransel yang menjadi beban begitu ia merangkak di tanah. Ava telentang di bawah sebuah pohon, kakinya terjulur. Dadanya kembang kempis mengambil napas untuk tubuh lelahnya yang bergetar.

Akan tetapi, seberapa lama pun ia menunggu, bahkan sampai hujan berhenti, bulan bercincin ungu itu tidak menghilang dari pandangannya.

Jadi ini bukan sekedar ilusi?

Bab 2: Bizzare

Ava mendudukkan diri, tangannya bergerak untuk memijat titik-titik di mana kakinya mengalami kram tadi. Angin malam yang berhembus membekukan tubuhnya yang basah. Setelah beberapa saat, energinya berkumpul. Ia lalu menyambar tas ransel yang tergeletak tiga meter darinya, memeriksa isi. Baju penyamarannya tadi jelas-jelas kuyup, tas make-up yang ia miliki water proof sehingga riasan smartphone, serta headset di dalamnya aman, pisau, pistol dan dua magasin cadangan juga masih ada. Jadi daftar masalah yang ia hadapi ialah basah, tanpa uang tunai, di antah berantah, dengan motor yang jelas-jelas tidak bisa lagi digunakan.

Yah, masih bisa diatasi.

Omong-omong soal motor, Ava tidak lagi melihat kobaran api di kejauhan. Apakah sudah padam karena hujan? Supir dari truk tersebut kemungkinan besar tidak selamat, ia hampir yakin,terdengar dari dentuman yang memekakkan sebelum ia melompat ke sungai tadi. Akan tetapi keluarga supir itu mungkin saja ingin mengambil mayatnya untuk dimakamkan dengan layak. Jadi Ava memutuskan untuk memanggil ambulans, namun telepon genggamnya tidak mendapat sinyal. Apakah karena ia berada di pinggiran hutan?

Ia berjalan menuju jembatan aspal tadi berada, seraya mencari jaringan. Akan tetapi hal aneh lagi terjadi. Seberapapun jauh ia berjalan, jembatan tadi hilang. Siluet bayangannya pun tidak ada meskipun cahaya keunguan bersinar terang dari bulan.

“Hm.”

Ava berdiri diam, namun otak dan indranya sibuk mengobservasi keadaan sekitar. Hutan yang entah seberapa besar luasnya dipisahkan oleh sungai selebar tiga puluh meter. Tidak ada jalanan aspal, hanya barisan pohon yang menyambutnya. Apakah tubuhnya hanyut tanpa ia sadari? Tidak mungkin. Selain itu, “hanyut” tidak bisa menjelaskan cincin ungu yang melingkari bulan saat ini.

Ava tahu fenomena-fenomena seperti gerhana bulan, super moon, dan blood moon, namun ia yakin tidak satupun hal yang ia sebutkan menyebabkan cincin bulan dengan cahaya keunguan.

Namun bunyi kecipak air membuat pikirannya berhenti. Posturnya menegap, langsung mengambil sikap siaga dengan pistol di tangan. Riak air besar yang tertangkap pengamatannya dengan cepat melucur menuju tempat ia berada. Ia diam-diam berjalan mundur. Makhluk sebesar itu dalam sungai, buaya? Tetapi Ava tidak pernah tahu kalau daerah yang biasa ia lewati merupakan habitat buaya, jadi kemungkinannya kecil. Lalu apa?

Saat itu pula sesorang melompat keluar. Oh, bukan. Bukan seseorang. Sebuah makhluk.

Kadal bersisik hijau yang berdiri dengan dua kaki langsung mengacungkan tombaknnya, Ava dengan refleks melompat mundur. Dapat ia rasakan darah hangat akibat goresan tombak makhluk tersebut di lehernya, terlambat sedikit saja kepalanya terputus dari kepala. Nyawanya baru saja terancam.

Dor!

Sebuah peluru langsung menembus kepala kadal berbentuk manusia itu. Sebagai penjamin, Ava menembakkan dua peluru lagi yang mengenai mata serta moncong makhluk tersebut. Meski malam, cahaya bulan cukup terang untuk melihat jelas targetnya, ditambah dengan jarak yang hanya beberapa langkah mempermudah Ava untuk membidik. Maka dengan begitu, monster tadi tumbang. Cairan hijau tua, yang Ava asumsikan sebagai darah makhluk tersebut, mengalir deras dari tiga lubang di wajahnya. Ia mendekat, melihat dengan lebih seksama apa yang baru saja ia bunuh. Tidak ada penjelasan yang lebih akurat lagi selain manusia kadal, mirip seperti manifestasi mimpi buruk anak kecil yang suka membaca buku fantasi.

Saat itu pula Ava mendengar suara “ding!”, seketika layar transparan bernuansa biru muda memenuhi pandangannya.

Level meningkat!

Hadiah: 1 poin status

Ding!

Proses eror!

“Apa?” Belum selesai dengan kebingungannya, Ava terserang pusing yang amat sangat. Tubuhnya goyah dan matanya kabur.

Sial, racun? Untuk ukuran monster berupa buruk, kadal keparat itu pintar juga.

Dengan kendali yang tersisa atas tubuhnya sendiri, ia berjalan sempoyongan menuju hutan, sebisa mungkin menjauhi air, tapi setelah dipikir lagi, dengan segala keanehan yang muncul saat ini, monster jenis lain bisa saja muncul dari hutan. Jadi tidak ada tempat yang benar-benar aman. Namun kesadarannya tidak bisa lagi bertahan.

Dentuman langkah yang berat ialah hal terakhir yang ia dengar sebelum kegelapan menghilangkan kesadarannya.

***

Entah sudah berapa lama Ava tertidur, tapi rasa-rasanya berat sekali hanya untuk membuka matanya yang seolah dilem tersebut. Setelah kesadarannya utuh, gelombang rasa nyeri langsung melibasnya, terutama di bagian leher. "Argh!" dengan suara serak dan pecah, ia merintih.

Barulah Ava menangkap pergerakan di sudut matanya, secara refleks gadis meraih sebilah pisau yang biasanya terselip di pinggang sisi kanannya, tetapi senjata yang ia cari absen. Saat itulah suara halus seorang wanita terdengar olehnya, “jangan paksakan untuk bergerak atau berbicara terlebih dahulu.”

Ava menoleh, terlihat olehnya perempuan paruh baya berambut kuning panjang yang terduduk di kursi kayu di sebelah ranjang yang ia tempati. Pada jemari wanita itu masih segar bekas tumbukan tanaman hijau yang terdapat di atas laci, Ava juga baru menyadari sensasi basah dan lengket di area leher hingga bahunya, perban dengan noda hijau kehitaman yang menembus lipatan kainnya terikat rapi pada bagian tersebut. Ia mengingat luka gara-gara goresan tombak beracun kadal dari memori terakhirnya. Jadi wanita di hadapannya adalah orang yang merawatnya saat ia tidak sadarkan diri? Ava diam-diam lega bahwa reflek bertahan hidupnya gagal tadi, karena kalau tidak wanita tersebut sudah terbujur dengan leher yang menganga.

“Apakah Anda yang--” Pertanyaan Ava terputus, kaget akan suaranya sendiri yang terkesan seperti dicekik.

“Untuk tiga hari ke depan, seluruh badanmu akan terasa nyeri dan kaku, terutama pada bagian leher yang bengkak, makanya suaramu jadi begitu. Untung saja racun dari Green Lizard cepat ditangani sebelum penyebaran yang lebih luas. Jadi saran saya untuk tiga hari kedepan, istirahat saja,” kepang panjangnya bergoyang ketika wanita itu menasehati Ava dengan nada profesional sembari mengemasi alat dan bahan yang digunakan sebagai obat.

Meneruskan pertanyaannya yang terpotong tadi, Ava berucap dengan suara yang lebih mirip cicitan tikus, “Apakah Anda yang menolong saya di hutan kemarin malam?”

Masih dengan formalitas yang tinggi, perempuan tersebut menjawab, “Oh, kalau itu bukan saya. Orang yang menolongmu di hutan adalah--”

“Bu Leslie, saya sudah mencarikan bahan-bahan untuk obat-- Oh, kau sudah bangun?" seorang pria berwajah ramah tanpa sengaja menginterupsi mereka.

“Dia.” Bu dokter memberi senyum profesional kepada pria tersebut, lalu pamit.

Ditinggal berdua saja dengan orang asing tentu membuat Ava was-was, akan tetapi menunjukan hostility ketika keadaan badannya seperti ini malah akan memperparah situasi. Jadi, ia berbicara sesopan mungkin dengan nada yang patah-patah akibat leher bengkaknya seraya mengumpulkan informasi dari apa yang dilihatnya, “Kata dokter tadi Anda lah yang menyelamatkan saya, untuk itu saya ucapkan terima kasih.”

Dengan mata hijau yang berbinar, pria itu tahu-tahu sudah duduk di hadapan Ava. “Ah iya, bukan apa-apa.”

Kulit terbakar matahari, pekerja lapangan. Luka cakar di pipi kanan dan punggung tangan, badan berotot dan tegap, namun langkahnya ringan dan lincah, artinya ia terlatih tetapi bukan polisi maupun tentara, berhubungan dengan binatang. Pemburu? Selain itu, melihat ia tidak berusaha melanjutkan pembicaraan meskipun bahasa tubuhnya menunjukkan antusiasme, pria itu sepertinya tidak biasa berbicara dengan orang lain. Namun belum sempat Ava menjalankan interogasi terselubungnya, ia didahului oleh pria tersebut, “Akan kuambilkan makanan dan minuman untukmu.”

Beberapa saat kemudian dia muncul dengan semangkuk bubur dan air madu hangat, Ava menerima nampan yang disodorkan padanya dan menempelkan bibirnya pada gelas tanpa meminum isinya. Sejauh ini pria itu terlihat tidak berbahaya baginya, namun lebih baik untuk jaga-jaga.

“Nama saya Rina.” Ava membuka lagi percakapan dengan nama palsu, meskipun ia tidak menanyakan langsung, orang-orang cenderung merasa terbebani dan memberikan nama mereka.

“River Doyle. Omong-omong, [Status] ....” ucapannya menggantung, kemudian jemarinya menari-nari di udara, nampak seolah ia menekan sebuah layar di hadapannya.

Ah! Misteri layar biru transparan kemarin malam juga belum terpecahkan. Tiba-tiba sekantung koin muncul begitu saja di tangan River, yang kemudian ia berikan kepada Ava. “Itu hasil penjualan bangkai Green Lizard yang kau bunuh kemarin.” Merasa bingung, pasalnya orang gila mana yang hanya memberikan receh daripada lembaran uang saat bertransaksi? Ava melihat sebentar ke dalam kantungnya, di sana ia melihat sejumlah koin emas, perak, dan perunggu. Seketika itu juga layar biru seperti kemarin muncul di hadapnnya.

Depositkan koin? [Ya] [Tidak]

Bulan bercincin ungu, manusia kadal, layar misterius, sistem uang yang berbeda.

Terlalu banyak kejadian aneh untuk dianalisa.

Bab 3: Orang yang Baik Kepadaku

“[Status].” Setelah menyimpulkan metode untuk memanggil layar biru transparan, mengimitasi perilaku River. Ava sudah mengerti caranya, ternyata mudah saja. Namun ada yang aneh dari layar statusnya.

Nama : *** ******

Ras : Manusia

Level : 1

Kekuatan : 1

Kecepatan : 1

Kelentukan : 1

Kecerdasan : 1

Indra : 1

Poin status : 1

Skill : Observation (innate) (level 1)

256 koin

Kenapa namanya disensor? Selain itu, ia mengingat notifikasi sebelum dirinya pingsan kemarin “level meningkat” dan “proses eror!”. Ava berasumsi bahwa setelah membunuh manusia kadal kemarin, ia harusnya mendapatkan kenaikan level, akan tetapi terjadi kesalahan. Logika seperti ini hanya berlaku pada ... permainan RPG yang biasanya ditunjukkan Lexa, tetapi hal itu biasanya bisa dilihat melalui ponsel, laptop, ataupun komputer, bukan visual di depan mata seperti ini. Virtual reality? Hal itu masih belum menjelaskan rasa sakit serta bengkak di tubuhnya yang jelas-jelas nyata.

Dia butuh informasi lebih lanjut. Saat itulah River mengetuk pintu kamar. “Masuk saja.” Ava segera memasang senyum bisnis. Untuk kesekian kalinya, River lagi-lagi membawakan air madu dan beberapa keping kukis. Setelah diam-diam menukar gelas yang dibawa River beberapa jam lalu dan melihat bahwa pria itu baik-baik saja, Ava akhirnya meminum apa yang dibawanya, tetapi ia tidak tahu bahwa River adalah orang dengan perhatian yang berlebihan. Tiga gelas pertama ia minum untuk kesopanan, tapi gelas-gelas setelah itu ia buang isinya ke pot tanaman dekat jendela setelah River pergi. Terlalu banyak minum juga bisa mengakibatkan kematian. “Terima kasih,” ucap Ava. Kemudian River seperti sebelum-sebelumnya duduk di samping tempat tidur, meminum diam gelasnya, pria itu tidak akan berbicara sebelum Ava memecahkan kecanggungan tersebut.

“Maaf, apakah ada perpustakaan di sekitar sini?”

“Perpustakaan? Ah, ada sebuah perpustakaan tua di dekat balai kota. Tapi sebaiknya kau beristirahat dulu untuk tiga hari ke depan sesuai anjuran Bu Leslie.”

Leslie? Sepertinya dokter perempuan tadi.

Ava berencana untuk menyelinap keluar, akan tetapi mengingat River yang mengunjunginya setiap dua jam sekali, menyusuri sebuah kota asing untuk menemukan sebuah perpustakaan sepertinya mustahil.

Sedangkan di sisi lain, River yang merasa tidak enak untuk melarang gadis di hadapannya untuk sekadar membaca menimpali lagi, “Anu, kalau kau memang bosan, aku bisa meminjamkan beberapa buku, aku punya beberapa, tapi mungkin jenisnya tidak terlalu menghibur,” kata River buru-buru.

“Memangnya jenis apa yang Anda maksud?”

“Sejarah dan Ensiklopedia monster.”

Mata Ava berkilat, buku seperti itulah yang ia butuhkan. “Saya memang suka membaca, jadi apapun bisa saya baca.”

***

Setelah pemberontakan pada jaman Tenebris terjadi, bumi yang awalnya hanya memiliki satu daratan besar bernama Insulae terpecah-pecah menjadi 5 pulau yang masing-masing dinamakan Meridianam, Edodale, Afrein, Uflaria, dan Feretrum Sanctus, dataran-dataran tersebut menjadi pusat dari perkembangan ilmu sihir, pengetahuan, ekonomi, militer, serta politik.

Setelah perundingan Regio yang berlangsung di Feretrum Sanctus, akhirnya dikeluarkan peraturan batas yang membagi lautan--

Bumi dengan sejarah yang berbeda.

[System] yang sudah muncul sejak masa pembuatan bumi membantu umat manusia untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya melalui manfaat yang dibawa bersamanya. Konten dari [System] sendiri diatur oleh [Game master] sesuai dengan persyaratan dan persetujuan serta di bawah pengawasan [The developer].

Seperti sistem permainan yang ia duga.

Green lizard adalah monster setinggi 180-200 sentimeter yang memiliki struktur tubuh seperti manusia dan hidup di sekitar kawasan perairan tawar. Meskipun bukan termasuk dalam kategori amfibi, Green lizard biasanya memiliki kemampuan untuk menahan napas yang cukup lama di bawah air. Racun yang muncul dari bisa mereka dapat menyebabkan rasa gatal, bengkak, dan efek lumpuh apabila mengenai titik vital. Biasanya racun dilumurkan pada ujung senjata yang mereka bawa sehingga memunculkan keuntungan jarak.

Green lizard bereproduksi menggunakan --

Monster nyata yang ia hadapi sendiri.

Meskipun sulit dipercaya, Ava menyimpulkan bahwa dirinya ... masuk ke dimensi lain? Dunia lain? Parallel universe? Multiverse? Hipotesis Mille- Feuille? Atau ini hanyalah kerjaan usil seseorang untuk mengerjainya, keusilan rumit yang berskala sangat-sangat besar. Tapi apa untungnya melakukan itu? Sejujurnya, semua kemungkinan tersebut sama-sama mustahilnya. Jadi Ava memutuskan untuk menerima kesialan ini dengan apa adanya.

Namun prioritasnya pasti, kembali ke situasi original. Lexa membutuhkannya.

Tiga hari ke depan Ava sama sekali tidak beranjak dari rumah River, tapi bukan berarti dia hanya diam saja. Ava sudah membaca habis dua buku yang diberikan kepadanya di hari pertama dan hanya menghapal isinya di hari-hari berikutnya, terutama mengenai daftar monster yang bisa saja menyerangnya di luar sana. Selain itu, apabila River tidak menjenguknya, ia aktif melakukan olahraga seperti push up, pull up, dan senam lantai meskipun badannya masih terasa sakit, tapi mungkin karena itu juga bengkak di lehernya masih belum kempis sepenuhnya.Selain itu, ketika River meninggalkan rumahnya, saat itulah ia melakukan investigasi diam-diam, mulai jalur pelarian dan bagaimana caranya ia akan kabur jika sesuatu terjadi, jenis senjata seperti apakah yang River miliki, atau hal-hal yang biasa lainnya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di rumah itu, tetapi ia menemukan beberapa baju bekas perempuan yang ukurannya pas dengan Ava di kamar yang sekarang ia tiduri, kemungkinan pemiliknya memiliki hubungan dekat dengan River di masa lalu tapi sudah tidak tinggal lagi bersamanya. Kekasih? Kakak? Adik?

Juga, setelah menghabiskan bubur pertamanya, Ava menanyakan mengenai tas yang ia bawa, River langsung berlari dan muncul seketika dengan tas yang Ava maksud. Dengan begitu barang pribadinya ia miliki lagi. Pisau beserta pistol yang ada di dalamnya segera berpindah tempat ke bawah bantalnya, berjaga-jaga apabila terdapat serangan, entah itu dari manusia jahat maupun monster lain.

Pada hari yang dijanjikan, River mengantar Ava ke perpustakaan. Meskipun ia tidak menemukan cara untuk kembali ke bumi asalnya, Ava mendapatkan informasi lain yang membantunya memahami dunia ini selain yang sudah dijelaskan oleh buku sejarah yang dipinjamkan River.

Setting dunia ini lebih mirip seperti abad pertengahan, sehingga belum terdapat teknologi yang maju seperti di jaman modern, selain itu masih ada sistem kasta yang membedakan antara anggota kerjaaan, bangsawan, orang jelata, bahkan budak, perbedaannya cuma terdapat sihir serta artifak yang dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Sehingga ia tidak bisa mencuri motor, mobil, bahkan sepeda siapapun untuk mempercepat perjalanannya, hanya ada kereta kuda, Ava yang awalnya tidak pernah penasaran bagaimana cara menunggangi kuda, kini membutuhkan keahlian tersebut.

Tidak menyangka River akan menunggunya sampai malam hari di depan perpustakaan, Ava tertegun dan menawarkan untuk membelikan makanan dari restauran yang masih buka dengan uang yang ia dapat dari bangkai Green lizard, selain sebagai permintaan maaf, traktiran itu juga dimaksudkan sebagai salam perpisahan.

“Saya akan pergi besok.”

Sendok River berhenti di tengah jalan. “Memangnya tujuanmu selanjutnya apa?”

“Mungkin di kota lain terdapat informasi yang saya cari.” Tentu Ava tidak memberitahukan bahwa ia mencari cara untuk pulang ke dunia lain, untuk menghindari dicap sebagai orang gila maupun alien.

“Obat yang bisa mengobati apapun? Elixir kehidupan maksudmu?”

Ava hanya mengangguk, pura-pura mengerti. Hal itu juga bukan sepenuhnya bohong, apabila memang ada obat seperti itu tentu saja akan Ava ambil untuk menyembuhkan Lex, dalam dunia yang penuh sihir dan monster seperti ini bisa saja memang ada obat seperti itu kan?

“Di Tezia bisa saja ada.”

Tezia, ibu kota dari kerajaan Igoceolon, salah satu dari empat kerajaan besar di Meridianam. Kota besar memang punya kemungkinan yang lebih banyak dalam memuat informasi yang ia inginkan.

“Tapi apa kau punya perlengkapan yang cukup? Uang? Kendaraan apa? Makanan?” Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan itu memberatinya seperti interogasi polisi.

“Saya punya senjata yang cukup untuk beberapa monster dengan level rendah. Uang bisa di dapatkan dari penjualan monster yang saya bunuh. Untuk kendaraan, saya bisa menumpang kereta angkut pedagang yang sejalan dengan saya. Makanan bisa dibeli dengan uang, selain itu saya juga bisa berburu hewan kecil.”

Kerutan besar muncul di kening River yang biasanya nampak ramah, dia marah?

“Jangan! Tidak hanya ada monster level rendah yang berkeliaran, kalau tidak berhati-hati kau bisa terbunuh, belum seminggu kau berbaring sekarat karena seekor Green Lizard!”

Ava ingin menyela bahwa ia tidak sampai sekarat, hanya nyeri dan bengkak selama empat hari.

“Selain itu banyak sekali bandit yang mengincar kereta pedagang, nyawamu bisa ikut-ikut terancam!”

“Tapi saya harus segera--”

“Kalau begitu kau akan kujaga sampai di Tezia.”

“Tetapi saya tidak mau merepotkan Anda lagi.” Kenapa orang ini sampai sejauh itu menolong orang asing? Tapi dengan kehadiran River, Ava dapat menurunkan resikonya kehilangan nyawa mengingat ia belum benar-benar beradaptasi di dunia ini.

“Aku tidak merasa repot.”

Well, kalau begitu Ava tidak akan menolak jaminan yang ditawarkan padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!