“Hei hei! Kalian sudah tahu kejadian tadi di gerbang selatan?” Salah satu pengunjung restauran membuka percakapan dengan menggebu-gebu sampai-sampai birnya tumpah.
Yang lain mengangguk antusias, “Kacau sekali! Seekor monster yang dibeli oleh seorang bangsawan mengamuk karena obat bius yang tidak efektif!”
“Ah, para bangsawan memang biangnya masalah akhir-akhir ini, rasanya percuma membayar pajak kepada mereka! Uang kita malah digunakan untuk pesta ataupun membeli monster yang dijadikan tumbal menaikkan level karena mereka malas ataupun terlalu takut!”
“Oh, omong-omong, aku dengar yang mengalahkan monster itu bukanlah prajurit penjaga, tapi orang lain,” semua orang yang ada di meja itu mendekat seolah apa yang mereka bicarakan bersifat rahasia, tapi percuma saja jika suara mereka sangat keras, Ava yang duduk di ujung lain restauran kecil itu pun sampai mendengarnya.
“Aku juga dengar rumornya! Lusinan prajurit yang awalnya melawan monster itu ditemukan pingsan, sedangkan monster kera sebesar 10 meter mati di tangan orang lain, batu mananya juga diambil.” Bukan lusinan, cuma enam orang, selain itu Longhand ape tadi hanya setinggi 4 meter. Rumor yang tersebar cepat tersebut ternyata telah dibesar-besarkan secara tidak perlu.
“Wah, apa ini berarti kita kedatangan seorang ranker?!”
“Benar juga! Pangeran ketiga kan besok malam mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke-18, setelah itu upacara Maturitate untuk melepas kepergiannya menjelajah guna mengumpulkan kredit untuk menyandang tahta, mungkin saja ranker itu kenalannya?”
Berbagai spekulasi kemudian terlontar di sana-sini, Ava sudah berhenti mendengarkan karena informasi
yang dia terima sepertinya cukup. Belum ada yang mengetahui identitasnya sebagai pembunuh monster tadi, itulah yang terpenting.
Lalu ... ranker? Berdasarkan bacaan yang ada di perpustakaan kota ini, ranker adalah sebutan untuk orang yang dalam dokumen resmi tercatat berlevel tinggi dan telah mencapai sebuah penghargaan. Tapi Ava bukanlah seorang ranker, apalagi dengan kekuatan yang besar. Namun asumsi tersebut sebenarnya wajar saja, tidak ada yang akan menyangka bahwa monster itu dikalahkan oleh seseorang berlevel 1. Hal ini juga menguntungkan baginya, dengan begitu investigasi akan mengarah pada sasaran yang salah. Pasalnya ia bisa saja dijatuhi hukuman karena mencuri aset bangsawan, karena secara teknik memang Longhand ape tersebut bukan lagi monster yang diburu, melainkan aset milik seseorang.
Setelah membayar makanan dan minumannya, Ava keluar menyusuri jalanan yang disinari oleh cahaya bulan yang ungu kemerahan. Meskipun sudah malam jalanan masih saja ramai dengan para pejalan kaki yang lain. Penduduk lokal menggantung lampu kecil beserta jajaran kain berwarna-warni, terutama di balai kota yang berdiri berbagai toko jajanan kecil.
Di satu sisi balai kota, banyak orang yang berkumpul untuk melihat sesuatu. Ava mendekat untuk mencari tahu, setelah menyusup di antara kerumunan tersebut, ia melihat secarik kertas yang direkatkan pada papan pengumuman.
Sebagai rasa syukur dalam rangka pemberkatan sekaligus upacara Maturitate Pangeran Ezra D’Albermare yang baru saja mencapai umur 18 tahun, dengan ini Raja Melinon III mengundang para pemuda dan pemudi Ibukota Tezia yang bertempat tinggal di ibu kota dengan rentang umur dari 18 hingga 35 tahun dan belum menikah untuk menghadiri pesta dansa yang akan diadakan:
Tempat : Balai Kota
Waktu : 7 petang hari ke-12 bulan ke-6 tahun 584
Jayalah cahaya matahari dan bulan langit Igoceolon!
Pesta dansa?
Hm. Bukankah akan ada yang banyak memakai perhiasan di sana?
Belum-belum niatan mencurinya sudah mantap. Namun untuk saat ini Ava akan mencari uang dengan
jalan lain berhubung ia belum bisa menjual batu mana yang baru saja ia dapatkan, bisa-bisa ia akan dicurigai. Setelah melihat keadaan sekitar, Ava mendapati seorang anak yang duduk sendiri di depan sebuah piano yang gigi nadanyanya hilang beberapa, terlihat usang karena sudah dibuang.
“Halo!” Ava menyapa ramah anak itu, tapi tidak ada jawaban darinya. Gadis itu mendekat, kemudian menekan
not-not yang tersisa, masih berfungsi. Bocah yang dari tadi diam saja kini menatapnya curiga, “Kata ibuku, anak kecil tidak boleh berbicara dengan orang asing. Berbahaya.”
Sudut bibir Ava terangkat sebelah, “Benar apa yang diajarkan ibumu. Tapi apa kau bisa geser sedikit agar aku bisa duduk?”
Memandang Ava seolah ia sudah gila, bocah itu menyeletuk lagi, “Kakak mau main piano yang rusak ini?” Meskipun begitu, ia berpindah.
Langsung menempati kursi yang kini cukup untuk ia duduki, Ava menjawab dengan tenang, “ Beberapa masih berbunyi kok. Lihat saja.”
Mengawali dengan empat nada berulang, Ava lalu berimprovisasi dengan note-note yang masih tersedia. Ajaibnya, terbentuklah melodi sederhana yang merdu untuk didengar. Perbuatannya mulai menarik perhatian orang-orang di sekitar balai malam itu. Bocah di sebelahnya menutup mata menikmati dentingan piano yang Ava mainkan. Terbawa suasana yang menyenangkan, gadis itu tanpa sadar bersenandung pelan seiring dengan permainan pianonya.
Lexa pernah memuji bakat musiknya, bahwa dia adalah jenius yang dilahirkan untuk bermusik dan menyarankannya untuk menjadi anggota girlband atau idol. Dengan wajah, suara, keahlian instrumen, serta luwesnya ia menari, cukup mudah baginya untuk terkenal.
Tapi keadaan berkata lain.
Ava mengakhiri improvisasinya dengan nada riang, yang langsung disambut dengan tepukan tangan meriah dari penonton yang lebih banyak dari yang ia kira. Senyum bisnis Ava terbit, “Hei, sekarang berkelilinglah untuk mengumpulkan uang, nanti akan kuberi bagian,” ia mencolek pundak mungil di sebelahnya.
Bocah itu mengganguk semangat dan langsung menuruti perintahnya. Satu dua koin tembaga mengalir lancar dari masing-masing tangan penonton. Senyum Ava makin lebar mendengar “cring” koin yang semakin nyaring.
Sukses!
“Nah, ini jatahmu.” Sepuluh keping tembaga dengan mudah lenyap dari pandangannya, berpindah langsung
ke saku celana bocah itu. “Heh! Sekarang pulanglah, sudah malam.” Ava kemudian ditinggal setelah mendapati hormat. Balai kota sudah cukup sepi dibandingkan dengan satu jam yang lalu. Ava juga harus kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Lampu-lampu yang menyala benderang tadi kini sudah dimatikan, meninggalkan cahaya bulan sendirian di jalan-jalan yang lengang. Ava berjalan cepat sembari memasang telinga, berjaga-jaga kalau saja akan ada yang menyerangnya. Karena yang dapat mengancam nyawanya bukan hanya monster, manusia juga.
Saat itulah ia mendengar teriakan dari suara yang familiar, yang baru saja ia dengar.
Bocah itu!
Ava buru-buru berlari, tidak seberapa jauh dari sana, di tengah gang gelap yang tertutupi bayang-bayang malam, gadis itu dapat melihat sosok mungil yang berada di ujung buntu gang tersebut, meringkuk ketakutan di belakang siluet sesosok pria yang menghadapi dua orang yang memunggungi Ava.
“[Observation].”
Nama : Tony Merrick
Level : 12
13 koin
Nama : Dion Syan
Level : 11
20 koin
Ah, Ava sepertinya tahu hal semacam ini. Pemalakan. Para preman kampung ini mencium bau uang.
Memanfaatkan kehadirannya yang belum diketahui oleh dua orang itu, Ava langsung memukul tengkung belakang
preman di kanannya, menyebabkan orang itu jatuh tidak sadarkan diri. Yang satu lagi masih belum siap menerima serangan dadakan, tidak bisa menghentikan tinju yang mematahkan tulang hidungnya. Darah yang mengalir deras segera membasahi mulut, dagu, serta kausnya. “A-apa?” Tidak memberikan kesempatan untuk membalas, bogeman lain mendarat di pipi. Dengan panik dia melangkah mundur, tidak memperhatikan jalurnya, ia pun terjengkang dan jatuh terduduk. Kali ini tendangan keras melayangkan satu giginya. “Am-ampun! Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ampun! Ampun!”
“Pergi.” Nada dingin yang keluar dari mulut Ava membuat lawannya merinding dan mengambil langkah seribu,
meninggalkan komplotannya yang masih pingsan. Untuk berjaga-jaga, Ava juga menendang kepala orang yang tidak sadarkan diri itu.
“Siapa?!” Mengabaikan kewaspadaan yang kental dari pria asing yang menutupi si bocah tadi, Ava menyapa lagi persis seperti yang sebelumnya, “Halo! Apakah ibumu tidak mengajarkan untuk menghindari jalanan sepi saat pulang malam?”
“Kakak!” Menyadari identitasnya, kini anak kecil itu berlari menghampirinya. Lengan mungilnya memeluk pinggang Ava erat sekali. Tidak aneh kalau dia takut. Gadis itu kemudian mengelus rambut ikal anak itu. “Ayo, kuantarkan pulang.” Masih dengan memeluknya, bocah tersebut mengangguk pelan.
Menggenggam erat tangan yang setengah ukurannya, Ava tidak lupa bergumam, “Terima kasih sudah melindungi anak ini, tapi dari sini saya yang akan mengambil alih.” Namun tidak ada respon. Akhirnya untuk pertama kalinya Ava benar-benar memperhatikan sosok pria di hadapannya. Satu hal yang benar-benar menarik perhatiannya adalah manik keemasan yang bersinar dalam tempat yang minim cahaya itu.
Sepasang mata emas memandangnya balik dengan tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments
VeinBane
This random gap is triggering my OCD
2022-10-10
2