Memorinya dimulai dengan sebuah gerbang dan langit yang keruh, waktu itu salju turun dengan lebat, gundukan putihnya pun hingga mencapai mata kaki. Di sana, ia yang masih berusia 5 tahun berdiri diam selama berjam-jam.
Gadis itu tidak ingat siapa yang membawanya kemari, bagaimana, dan mengapa. Satu-satunya yang tertanam dalam benaknya adalah larangan agar tidak beranjak dari tempatnya berdiri, jika tidak salah ia menerimanya dengan alasan jalan yang licin karena lapisan es. Ia juga mengenang sarung tangan serta rajutan wol jelek yang ungunya sudah pudar.
Memorinya berlanjut pada decakan kesal direktur panti asuhan yang akhirnya membukakan gerbang, "Satu lagi yang harus diurus," begitu ingatnya.
Tangan kecilnya diremas begitu keras hingga terasa remuk, namun ia tidak berteriak ataupun menangis, karena ia tahu kekuatannya masih belum sebanding dengan orang dewasa, ia akan mencari cara lain. Dia diam seraya mengikuti wanita kurus dengan riasan tebal tadi, orang asing, yang secara praktis menyeret tubuhnya di jalan bersalju menuju sebuah rumah yang meskipun besar namun reyot.
Begitu masuk, ia lagi-lagi ditinggalkan. Di tengah ruang tamu yang besar itu, anak-anak lain mulai mendekatinya. Seorang bocah laki-laki yang lebih besar darinya tiba-tiba mendorongnya terjatuh. Bocah tersebut beserta kacung-kacungnya yang bersembunyi di belakang tembok langsung tertawa terbahak-bahak. Ia mendongak, menatap langsung mata bocah yang berdiri sombong di hadapannya, yang malah membuat bocah tersebut berubah berang. "Apa?! Jangan menatapku seperti itu atau kupukul kau!"
Jadi dia bangkit, hanya untuk didorong lagi, mereka semakin menggelak.
Kejadian selanjutnya terjadi sangat cepat. Ia melompat menyerang, bocah tadi tersandung kakinya sendiri sampai terjengkang.
Situasi tadi dalam sekejap telah berbalik.
Dia sudah sadar kalau tenaga dari lengannya tidak akan cukup, jadi ia mencari senjata, disambarnya sebuah asbak kaca di atas meja tamu.
Tidak lama kemudian muncul darah, gigi, darah lagi, lalu bola mata.
Dia samar-samar mengingat jeritan di balik tembok. Namun satu-satunya yang bisa ia lihat adalah merah. Ia bahkan tidak sadar jika kolam anyir yang menggenang juga berasal dari tangannya sendiri yang terkena pecahan kaca asbak yang masih saja ia genggam.
Insiden itu berakhir ketika direktur panti asuhan kembali lagi, memukul belakang kepalanya dengan sapu, membuatnya ia tidak sadarkan diri.
Kemudian, ingatan selanjutnya bermula lagi dengan sebuah gerbang dan langit yang keruh, kali ini tumpukan salju menutup separuh betisnya. Panti asuhan yang berbeda.
Namun ia masih belum membalas direktur di tempat sebelumnya. Setidaknya biarkan dia memasukkan pemutih ke kopi pagi wanita tua itu.
Impulsivitas adalah reaksi otomatis yang terjadi jika gadis itu merasa dalam bahaya atau telah disakiti oleh seseorang, selama ini spontanitasnya menjaga ia dari penindas yang memandang gadis seperti dirinya lemah dan tidak berdaya, namun bukan berarti ia juga menjauh dari masalah.
Di panti asuhan yang sudah ke sekian kalinya, akhirnya dia bertemu dengan Lexa dan ... Alex.
Lexa dan Alex adalah sepasang kembar fraternal. Lexa, yang perempuan, memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan, akan tetapi sangatlah pintar. Lexa seringkali menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku rumit yang bahkan orang dewasa akan sulit memahaminya. Dari Lexa juga, dia belajar membaca, berhitung, serta ilmu-ilmu lain yang ia serap seperti spons.
Dia pun diajari untuk memahami manusia.
Memahami dalam artian mengetahui ekspresi yang coba mereka sembunyikan, niat asli ketika berbicara dan mendekatinya, serta sifat dasar ketika mereka berperilaku.
Di sisi lain Alex, bocah laki-laki aktif yang suka sekali bertengkar dengannya. Setiap kali mereka mengobrol, pasti diakhiri dengan pertengkaran, bahkan untuk hal-hal kecil apapun. Ia belajar berkelahi dari Alex, dengan begitu pembalasannya tidak selalu berakhir dengan luka parah pihak lawan, cukup untuk membuat kapok sisi lain yang menantangnya, kecuali Alex tentu saja, karena mereka selalu berakhir seimbang.
Kedua kembar tersebut membantunya untuk menahan diri, mengendalikan respon, serta menghindari masalah bahkan sebelum hal itu terjadi.
Lexa memberitahu salah satu pelampiasan ketika emosinya bergejolak yaitu menenangkan diri dengan mendengarkan musik, namun merasa tidak cukup, Ava bernyanyi keras-keras, berteriak malah, sejak itu pula ia diberi nama Ava, yang artinya suara dalam bahasa Persia, dan seperti burung yang bebas dalam bahasa Inggris.
Ava, nama pertamanya.
Menjadi anak-anak tidaklah mudah, banyak sekali yang membuat Ava kesal. Banyak orang dewasa yang meremehkannya sebelum ia membuktikan diri. Di antara tiga serangkai, Ava yang paling banyak membuat masalah.
Namun pada satu waktu ia pernah bersyukur diberkahi tubuh yang bergerak otomatis menuruti insting.
Sewaktu itu direktur baru akhirnya ditunjuk untuk menggantikan direktur panti asuhan yang sudah lansia, tapi direktur baru tersebut ... langsung membuatnya tidak nyaman.
Ava, Lexa, dan Alex berada di perpustakaan ketika tiba-tiba Lexa dipanggil sendirian ke kantor direktur. Meskipun Lexa bertubuh lemah, tapi dia memiliki karakter yang paling dewasa di antara mereka bertiga, begitupula pola pikirnya. Ava sempat melihat raut gelap yang jarang ia lihat pada wajah Lexa.
"Alex, ikuti aku diam-diam, Ava juga. Tapi jangan sekali-kali mendekati jendela," ucap Lexa serius. Mungkin karena ikatan anak kembar, Alex segera mengerti, tapi Ava hanya ikut-ikutan saja ketika itu, belum paham betul apa maksudnya.
Mereka bertiga pun menaiki tangga ke lantai 3, belok menuju lorong di sebelah kanan, lalu berhenti di depan pintu ganda mahagoni besar yang di atasnya memiliki plakat kayu bertuliskan 'Direktur'. Lexa membuka pintu tersebut, sedangkan Ava dan Alex mengintip melalui celah yang ditinggalkan secara sengaja.
Beberapa menit berlalu, awalnya Lexa dan si direktur baru berbicara dengan wajar, walaupun ia hanya mendengar potongan-potongan kecil dari obrolan mereka. Namun tidak lama kemudian direktur baru menaikkan suaranya keras-keras, Lexa masih menjawab dengan kalem. Akan tetapi direktur baru itu ternyata tidak suka ketenangan yang ditunjukkan gadis yang jauh lebih muda darinya, wajahnya pun memerah berang. Tidak lama kemudian, pria tersebut berdiri, memutari mejanya dengan langkah-langkah yang berat.
Rambut Lexa dijambak, tubuhnya kemudian dilempar ke lantai. Direktur keparat itu lalu menyobek paksa kaus hijau bergambar katak yang dipakai Lexa, begitu pula celana legingnya.
Ava berlari, namun Alex lebih cepat lagi.
Bocah itu sudah menendang sisi tubuh si direktur baru, meskipun begitu pria gemuk itu tidak beranjak dari posisinya. Berat badan yang jelas-jelas lima kali lebih besar dari berat badannya sendiri tidak akan dipengaruhi oleh tendangan seperti itu. Tapi itu cukup membuat syok lawan.
Ava langsung mengambil tongkat besi yang digunakan untuk mengatur api unggun di sisinya, ujungnya yang tajam menancap di leher bajingan tersebut.
Darah memancar deras, membasahi lantai dan mengenai wajah serta baju Lexa yang masih koyak. Lexa segera berdiri, mengambil sebongkah tisu dari kotak di meja direktur, mengelap cairan merah yang ada tubuhnya. Lexa juga menggosok keras-keras pegangan pada tongkat besi yang dipakai Ava, sepenuhnya mengabaikan pria yang mengerang dan mati-matian masih ingin bernapas lewat tenggorokannya yang bolong.
"Ayo mandi," ucap Lexa akhirnya.
Itulah pembunuhan pertama mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments
KANG KOMEN
keren kak
2022-06-08
1
𝕮𝕽𝕽.𝕽 𝖋𝖙. [𝐻𝐼𝐴𝑇𝑈𝑆]
aku mampir lagi, semangat
2022-05-26
3
ya ya
oke, ga cuma tulisannya yang bagus ide ceritanya juga menarik! Semangat nulisnya kak❣
2022-05-19
3