Ava mendudukkan diri, tangannya bergerak untuk memijat titik-titik di mana kakinya mengalami kram tadi. Angin malam yang berhembus membekukan tubuhnya yang basah. Setelah beberapa saat, energinya berkumpul. Ia lalu menyambar tas ransel yang tergeletak tiga meter darinya, memeriksa isi. Baju penyamarannya tadi jelas-jelas kuyup, tas make-up yang ia miliki water proof sehingga riasan smartphone, serta headset di dalamnya aman, pisau, pistol dan dua magasin cadangan juga masih ada. Jadi daftar masalah yang ia hadapi ialah basah, tanpa uang tunai, di antah berantah, dengan motor yang jelas-jelas tidak bisa lagi digunakan.
Yah, masih bisa diatasi.
Omong-omong soal motor, Ava tidak lagi melihat kobaran api di kejauhan. Apakah sudah padam karena hujan? Supir dari truk tersebut kemungkinan besar tidak selamat, ia hampir yakin,terdengar dari dentuman yang memekakkan sebelum ia melompat ke sungai tadi. Akan tetapi keluarga supir itu mungkin saja ingin mengambil mayatnya untuk dimakamkan dengan layak. Jadi Ava memutuskan untuk memanggil ambulans, namun telepon genggamnya tidak mendapat sinyal. Apakah karena ia berada di pinggiran hutan?
Ia berjalan menuju jembatan aspal tadi berada, seraya mencari jaringan. Akan tetapi hal aneh lagi terjadi. Seberapapun jauh ia berjalan, jembatan tadi hilang. Siluet bayangannya pun tidak ada meskipun cahaya keunguan bersinar terang dari bulan.
“Hm.”
Ava berdiri diam, namun otak dan indranya sibuk mengobservasi keadaan sekitar. Hutan yang entah seberapa besar luasnya dipisahkan oleh sungai selebar tiga puluh meter. Tidak ada jalanan aspal, hanya barisan pohon yang menyambutnya. Apakah tubuhnya hanyut tanpa ia sadari? Tidak mungkin. Selain itu, “hanyut” tidak bisa menjelaskan cincin ungu yang melingkari bulan saat ini.
Ava tahu fenomena-fenomena seperti gerhana bulan, super moon, dan blood moon, namun ia yakin tidak satupun hal yang ia sebutkan menyebabkan cincin bulan dengan cahaya keunguan.
Namun bunyi kecipak air membuat pikirannya berhenti. Posturnya menegap, langsung mengambil sikap siaga dengan pistol di tangan. Riak air besar yang tertangkap pengamatannya dengan cepat melucur menuju tempat ia berada. Ia diam-diam berjalan mundur. Makhluk sebesar itu dalam sungai, buaya? Tetapi Ava tidak pernah tahu kalau daerah yang biasa ia lewati merupakan habitat buaya, jadi kemungkinannya kecil. Lalu apa?
Saat itu pula sesorang melompat keluar. Oh, bukan. Bukan seseorang. Sebuah makhluk.
Kadal bersisik hijau yang berdiri dengan dua kaki langsung mengacungkan tombaknnya, Ava dengan refleks melompat mundur. Dapat ia rasakan darah hangat akibat goresan tombak makhluk tersebut di lehernya, terlambat sedikit saja kepalanya terputus dari kepala. Nyawanya baru saja terancam.
Dor!
Sebuah peluru langsung menembus kepala kadal berbentuk manusia itu. Sebagai penjamin, Ava menembakkan dua peluru lagi yang mengenai mata serta moncong makhluk tersebut. Meski malam, cahaya bulan cukup terang untuk melihat jelas targetnya, ditambah dengan jarak yang hanya beberapa langkah mempermudah Ava untuk membidik. Maka dengan begitu, monster tadi tumbang. Cairan hijau tua, yang Ava asumsikan sebagai darah makhluk tersebut, mengalir deras dari tiga lubang di wajahnya. Ia mendekat, melihat dengan lebih seksama apa yang baru saja ia bunuh. Tidak ada penjelasan yang lebih akurat lagi selain manusia kadal, mirip seperti manifestasi mimpi buruk anak kecil yang suka membaca buku fantasi.
Saat itu pula Ava mendengar suara “ding!”, seketika layar transparan bernuansa biru muda memenuhi pandangannya.
Level meningkat!
Hadiah: 1 poin status
Ding!
Proses eror!
“Apa?” Belum selesai dengan kebingungannya, Ava terserang pusing yang amat sangat. Tubuhnya goyah dan matanya kabur.
Sial, racun? Untuk ukuran monster berupa buruk, kadal keparat itu pintar juga.
Dengan kendali yang tersisa atas tubuhnya sendiri, ia berjalan sempoyongan menuju hutan, sebisa mungkin menjauhi air, tapi setelah dipikir lagi, dengan segala keanehan yang muncul saat ini, monster jenis lain bisa saja muncul dari hutan. Jadi tidak ada tempat yang benar-benar aman. Namun kesadarannya tidak bisa lagi bertahan.
Dentuman langkah yang berat ialah hal terakhir yang ia dengar sebelum kegelapan menghilangkan kesadarannya.
***
Entah sudah berapa lama Ava tertidur, tapi rasa-rasanya berat sekali hanya untuk membuka matanya yang seolah dilem tersebut. Setelah kesadarannya utuh, gelombang rasa nyeri langsung melibasnya, terutama di bagian leher. "Argh!" dengan suara serak dan pecah, ia merintih.
Barulah Ava menangkap pergerakan di sudut matanya, secara refleks gadis meraih sebilah pisau yang biasanya terselip di pinggang sisi kanannya, tetapi senjata yang ia cari absen. Saat itulah suara halus seorang wanita terdengar olehnya, “jangan paksakan untuk bergerak atau berbicara terlebih dahulu.”
Ava menoleh, terlihat olehnya perempuan paruh baya berambut kuning panjang yang terduduk di kursi kayu di sebelah ranjang yang ia tempati. Pada jemari wanita itu masih segar bekas tumbukan tanaman hijau yang terdapat di atas laci, Ava juga baru menyadari sensasi basah dan lengket di area leher hingga bahunya, perban dengan noda hijau kehitaman yang menembus lipatan kainnya terikat rapi pada bagian tersebut. Ia mengingat luka gara-gara goresan tombak beracun kadal dari memori terakhirnya. Jadi wanita di hadapannya adalah orang yang merawatnya saat ia tidak sadarkan diri? Ava diam-diam lega bahwa reflek bertahan hidupnya gagal tadi, karena kalau tidak wanita tersebut sudah terbujur dengan leher yang menganga.
“Apakah Anda yang--” Pertanyaan Ava terputus, kaget akan suaranya sendiri yang terkesan seperti dicekik.
“Untuk tiga hari ke depan, seluruh badanmu akan terasa nyeri dan kaku, terutama pada bagian leher yang bengkak, makanya suaramu jadi begitu. Untung saja racun dari Green Lizard cepat ditangani sebelum penyebaran yang lebih luas. Jadi saran saya untuk tiga hari kedepan, istirahat saja,” kepang panjangnya bergoyang ketika wanita itu menasehati Ava dengan nada profesional sembari mengemasi alat dan bahan yang digunakan sebagai obat.
Meneruskan pertanyaannya yang terpotong tadi, Ava berucap dengan suara yang lebih mirip cicitan tikus, “Apakah Anda yang menolong saya di hutan kemarin malam?”
Masih dengan formalitas yang tinggi, perempuan tersebut menjawab, “Oh, kalau itu bukan saya. Orang yang menolongmu di hutan adalah--”
“Bu Leslie, saya sudah mencarikan bahan-bahan untuk obat-- Oh, kau sudah bangun?" seorang pria berwajah ramah tanpa sengaja menginterupsi mereka.
“Dia.” Bu dokter memberi senyum profesional kepada pria tersebut, lalu pamit.
Ditinggal berdua saja dengan orang asing tentu membuat Ava was-was, akan tetapi menunjukan hostility ketika keadaan badannya seperti ini malah akan memperparah situasi. Jadi, ia berbicara sesopan mungkin dengan nada yang patah-patah akibat leher bengkaknya seraya mengumpulkan informasi dari apa yang dilihatnya, “Kata dokter tadi Anda lah yang menyelamatkan saya, untuk itu saya ucapkan terima kasih.”
Dengan mata hijau yang berbinar, pria itu tahu-tahu sudah duduk di hadapan Ava. “Ah iya, bukan apa-apa.”
Kulit terbakar matahari, pekerja lapangan. Luka cakar di pipi kanan dan punggung tangan, badan berotot dan tegap, namun langkahnya ringan dan lincah, artinya ia terlatih tetapi bukan polisi maupun tentara, berhubungan dengan binatang. Pemburu? Selain itu, melihat ia tidak berusaha melanjutkan pembicaraan meskipun bahasa tubuhnya menunjukkan antusiasme, pria itu sepertinya tidak biasa berbicara dengan orang lain. Namun belum sempat Ava menjalankan interogasi terselubungnya, ia didahului oleh pria tersebut, “Akan kuambilkan makanan dan minuman untukmu.”
Beberapa saat kemudian dia muncul dengan semangkuk bubur dan air madu hangat, Ava menerima nampan yang disodorkan padanya dan menempelkan bibirnya pada gelas tanpa meminum isinya. Sejauh ini pria itu terlihat tidak berbahaya baginya, namun lebih baik untuk jaga-jaga.
“Nama saya Rina.” Ava membuka lagi percakapan dengan nama palsu, meskipun ia tidak menanyakan langsung, orang-orang cenderung merasa terbebani dan memberikan nama mereka.
“River Doyle. Omong-omong, [Status] ....” ucapannya menggantung, kemudian jemarinya menari-nari di udara, nampak seolah ia menekan sebuah layar di hadapannya.
Ah! Misteri layar biru transparan kemarin malam juga belum terpecahkan. Tiba-tiba sekantung koin muncul begitu saja di tangan River, yang kemudian ia berikan kepada Ava. “Itu hasil penjualan bangkai Green Lizard yang kau bunuh kemarin.” Merasa bingung, pasalnya orang gila mana yang hanya memberikan receh daripada lembaran uang saat bertransaksi? Ava melihat sebentar ke dalam kantungnya, di sana ia melihat sejumlah koin emas, perak, dan perunggu. Seketika itu juga layar biru seperti kemarin muncul di hadapnnya.
Depositkan koin? [Ya] [Tidak]
Bulan bercincin ungu, manusia kadal, layar misterius, sistem uang yang berbeda.
Terlalu banyak kejadian aneh untuk dianalisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments
VeinBane
Mampir ye
2022-10-04
2
Nivea Heaven
Eh, nggak bisa level up
2022-07-29
2
Lovejoy
Awal-awal Ava "diculik" wkwkkw
2022-07-12
2