New Happiness, Begins

David tersenyum... ia sedang berada di telaga yang dulu menjadi tempat dirinya dan Harry berenang saat kanak-kanak. Ia penyelam dan perenang tercepat. Tapi sekarang, sekuat apa pun tendangannya, ia tak kunjung muncul ke permukaan. Makin keras ia mencoba, airnya semakin keruh dan semakin kuat kakinya ditarik oleh lumpur lengket di dasar.

Perasaan frustasi menyakitkan di dalam dada, dan ia meronta-ronta dalam air, takut kehilangan nyawa.

"Berhentilah meronta," suara Harry terdengar dan tiba-tiba tangannya menjadi kaku. Membuatnya meronta makin keras.

"David berhentilah meronta dan buka matamu."

Meski ia tak suka mematuhi Harry, David tetap membuka matanya.

David jadi tenang saat kejadian-kejadian tadi sore membanjiri benaknya. Dari cahaya matahari di jendela, ia tahu senja sudah menjelang dan ia sudah kehilangan waktu hampir sepanjang hari. David mengernyit. Kepalanya berdentam-dentam dan setiap otot tubuhnya pegal, pasti gara-gara kecelakaan itu, batinnya.

"Dokter Jenner?" Ucapnya, matanya menyipit sementara wajah serius seorang wanita biasa-biasa saja yang bertubuh ramping kembali ke benaknya. "Bu Dokter Kecil?"

"Kau berhutang budi padanya, kalau bukan karena ia dan mobilnya yang penuh persediaan obat, kami terpaksa membawamu ke Atlanta." Kata Harry "Dan kau juga berhutang maaf padanya."

"Untuk apa?" Tanya David linglung, sambil mengetuk-ngetuk gips kiri, di bawah sobekan celana jins kerjanya.

"Aku memergokimu sedang menciumnya. Saat ia berusaha melepaskan diri." Bentak Harry

Samar-samar ia ingat adegan yang sangat menyenangkan itu. Ia tersenyum lebar. "Lalu aku harus bebrbuat apa?"

Wajah Harry merah padam, menahan amarah. "Kau bisa meminta maaf padanya, bodoh!"

"Itu hanya ciuman," protes David

"Tapi itu tidak pantas. Dokter Jenner sudah gelisah karena jadi dokter satu-satunya di kota ini dan tanpa fasilitas." Jelas Harry "Kita tidak boleh sampai kehilangan dirinya, hanya karena kau tidak bisa menahan diri untuk menyentuhnya!"

Saat mendengar suara pintu ditutup, David menoleh dan melihat orang yang sedang mereka bicarakan berdiri disana. Wanita itu tinggi, mungkin sekitar 180 cm dengan sosok ramping berbalut celana khaki dan kemeja putih berkancing. Rambutnya coklat gelap, masih lembab karena habis mandi.

Membawa tas di lengan kanan dan di tangan satu lagi, memegangi sepasang kruk. Dan dari rona pink terang di pipi, jelas ia mendengar komentar David.

Penyesalan menyeruak di dada David. Ia membuka mulut untuk meminta maaf, tapi wanita itu menegakkan tubuh dan menghampiri mereka.

"Bagaimana keadaan pasienku?" tanyanya riang.

"Aku baik-baik saja," kata David. "Terima kasih, atas... segalanya."

Kendall mengangguk singkat dan menyerahkan kruk kepada Harry. "Cobalah untuk berdiri Mr. Booker."

Kendall menempatkan diri di sebelah David dan Harry pun melangkah ke sisi lain.

David mengamati perawakan langsing Kendall. "Jangan tersinggung, Bu Dokter Kecil, biar cukup Harry saja yang melakukan ini."

Dagu lancip Kendall terangkat. Matanya berwarna coklat yang cukup cantik. "Aku lebih kuat daripada perkiraanmu, Mr. Booker."

Setelah memantapkan posisi, David melingkarkan sebelah tangan ke bahu Harry dan satunya lagi ke bahu Kendall. Kekaguman menjalari tubuh David saat ia merasakan kulit sang dokter, membuatnya terkejut. Kendall bertubuh ramping, dengan tinggi yang nyaris mencapai dagu David, dan kata-katanya benar, ketika berdiri, wanita itu menahan tubuhnya sekokoh sang kakak.

Dokter itu berbau bunga liar, segar dan bersih. Rambutnya menyapu dagu David dengan kelembutan. Tubuh David mulai bereaksi, tapi ingatan pada reaksi yang sama saat dokter itu menggunting celananya berkelebat lagi. Ia menggigit gigi-giginya untuk mengendalikan tubuh. Harry benar, wanita itu layak untuk di hormati.

Tapi, ketika Kendall beringsut dari bawah ketiak David dan membawa pergi aroma feminim itu, David benar-benar merasa kehilangan.

"Cobalah berjalan beberapa langkah," usul Kendall

Karena rasa bersalah atas komentarnya tadi, tiba-tiba David ingin menyenangkan hati wanita itu.

Ia memindahkan berat badan ke kaki yang sehat, lalu menggerakkan kruk ke depan dan mengayun tubuh untuk menyusul. Gerakkannya kikuk, tapi ingatannya kembali ke beberapa tahun silam, ketika ia harus memakai kruk akibat luka yang selalu ingin ia lupakan.

"Sepertinya kau sudah ahli," komentar Dokter Jenner. Ia membuka tas dan mengeluarkan sebotol pil. "Pakailah kruk itu selama beberapa hari. Ini obat pereda nyeri. Minumlah sesudah makan."

"Aku kelaparan." David mengakui.

Kendall mengambil tasnya. "Pekerjaanku di sini sudah beres."

"Dokter Jenner," celetuk Harry, suaranya cemas. "Apakah kau sempat berbenah?"

"Belum," jawab Kendall ragu

"Kuharap kamarmu memuaskan." Tambah Harry

Kendall tersenyum kecil. "Ya sangat nyaman. Baiklah, aku permisi dulu. Sudah waktunya aku tidur."

Bahu ramping Kendall melorot ketika ia melangkah ke pintu. Perasaan bersalah menyapu dada David. Wanita itu jauh dari kampung halaman, dan hari pertamanya di tempat asing dihabiskan untuk mengurus dirinya. Di tambah, ia juga telah bersikap tidak sopan kepada sang dokter.

David tak bisa merangkai kata-kata manis untuk memperbaiki komentar menghinanya tadi. Akhirnya, menggunakan pendekatan yang lebih akrab dengan merayunya.

"Hei, Manis, terlalu cepat untuk pergi tidur," kata David. Ia meringis, kata-katanya terdengar murahan bahkan di telinganya sendiri.

Dokter Jenner menoleh ke belakang dan terus melangkah, tapi menatap lekat-lekat dengan mata coklatnya yang memikat. "Mungkin, tapi ada buku yang belum selesai kubaca dan aku tidak mau kucingku kesepian."

Mulut David menganga tapi lidahnya keluh.

Gebrakan pintu yang menutup di belakang wanita itu mirip reaksi jantung David. Ia memang orang bodoh.

"David!" teriak Harry. "Kaulah yang tadinya begitu antusias mendatangakan sekelompok wanita ke sini. Kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk membangun asrama dan memperbaiki menara untuk mereka. Sekarang mereka sudah disini, dan kau berhasil menyerang dan menghina satu-satunya dokter pada hari pertamanya!"

"Kalau Dokter Jenner meninggalkan Happiness, wanita lain mungkin akan pergi juga. Tidak akan ada yang mau tinggal di tempat yang tidak memiliki dokter." tambah Harry, "Dan jika, berita tentang betapa primitifnya kondisi di pegunungan ini sampai tersebar, mungkin tidak ada lagi yang mau menginjakkan kaki di Happiness."

"Perbaiki situasi ini, atau aku akan tergoda untuk mematahkan kakimu yang satu lagi." Tukas Harry, mengulurkan tangan kedepan dan menonjok dada David.

David tersentak dan mengusap-usap otot dadanya yang sakit. Ia yakin Harry akan melaksanakan ancaman itu.

"Uh, tidak, jangan bebankan semua ini padaku," kilah David, lalu sebuah ide berkelebat di pikirannya. "Kecuali kalau... kau mau memberi sedikit imbalan."

Harry mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Kalau aku bisa meyakinkan dokter itu untuk tinggal... tanah kita jadi milikku." Maksudnya tanah keluarga Booker, tempat tinggal mereka saat tumbuh besar.

"Oke. Kalau bisa membuat dokter itu setuju untuk menandatangani kontrak kerja selama dua tahun, kau boleh memiliki tanah itu." Ujar Harry

David tersenyum lebar. "Sepakat."

...****************...