Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kini Kau Adalah Milikku
Hari itu, langit Verona mendung, seolah memantulkan isi hati Elena yang kacau.
Ia baru pulang dari kantor kebersihan, tubuhnya lelah, pikirannya penuh kegelisahan. Foto pesta di genggamannya terus menghantui. Tatapan Adrian di masa lalu… tatapan yang sama dengan tatapan yang kini menjeratnya.
Ia membuka pintu rumah tua itu dengan hati berat. Namun langkahnya terhenti.
Seseorang sudah duduk di ruang tamu.
Adrian Valtieri.
Ia bersandar santai di kursi tua, jas hitamnya kontras dengan furnitur usang rumah itu. Di tangannya segelas wine merah, seolah ia bukan penyusup, melainkan tuan rumah.
“Elena,” katanya pelan, suaranya dalam dan berbahaya. “Akhirnya kau pulang.”
Elena terkejut, tubuhnya tegang. “Bagaimana kau masuk?”
Adrian menyesap wine-nya, bibirnya melengkung samar. “Ketika kau menguasai kota, tidak ada pintu yang benar-benar terkunci.”
Elena meraih keberanian, meski tubuhnya bergetar. “Keluar dari rumahku, Adrian! Kau tidak berhak di sini.”
Adrian bangkit, langkahnya pelan tapi mengancam. “Rumah ini berdiri karena aku membiarkannya. Hutang keluargamu bisa menghancurkan segalanya dalam semalam, jika aku menginginkannya. Tapi aku tidak melakukan itu. Mengapa, Elena?”
Ia mendekat, membuat Elena terdesak ke dinding. “Karena aku tidak menginginkan rumah ini. Aku menginginkan dirimu.”
Elena menahan napas, hatinya berdetak liar. “Kau… gila.”
Adrian mengangkat wajahnya dengan ujung jari, memaksa mata mereka bertemu. “Mungkin. Tapi kegilaanku hanya untukmu.”
Ia mengeluarkan selembar kontrak dari saku jasnya, meletakkannya di meja. Kertas putih dengan cap resmi, berisi syarat-syarat yang dingin namun jelas.
“Ini tawaranku,” katanya tegas. “Kau bekerja langsung untukku. Tidak lagi membersihkan kantor, tidak lagi mengurus hal-hal sepele. Kau akan berada di sisiku. Setiap hari, setiap waktu.”
Elena menatap kertas itu dengan ngeri. “Dan jika aku menolak?”
Adrian mencondongkan tubuh, suaranya merendah, nyaris seperti bisikan beracun. “Jika kau menolak… hutang keluargamu akan ditagih malam ini juga. Rumahmu, ayahmu… semuanya akan lenyap.”
Air mata menggenang di mata Elena. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi tenggorokannya tercekat. Ia tahu Adrian tidak sedang menggertak. Setiap kata adalah kenyataan pahit.
Adrian menyentuh pipinya lembut, kontras dengan ancaman yang baru saja ia ucapkan. “Aku memberimu pilihan, Elena.”
Elena menunduk, air matanya jatuh ke lantai. Hatinya berperang antara harga diri, ketakutan, dan kenyataan bahwa hidup ayahnya bergantung pada keputusan ini.
Ia berbisik hampir tak terdengar, “Kenapa aku?”
Adrian menatapnya lama, matanya kelam namun ada api aneh di dalamnya. “Karena sejak lama, hanya kau yang kulihat.”
.....
Malam itu Elena duduk di meja makan kecil, kontrak putih itu tergeletak di hadapannya. Kertas itu terasa seperti belenggu, dingin dan menyesakkan.
Ia memandangi tulisan rapi yang tertera, perjanjian kerja sama penuh waktu, pengabdian tanpa batas waktu, seluruh kebutuhan keluarga Marcellis ditanggung pihak Valtieri.
Kedengarannya formal, tapi setiap kalimat terasa seperti tali yang siap menjerat lehernya.
Elena menutup wajah dengan kedua tangan, air mata jatuh deras. Jika aku tanda tangan, aku hilang. Tapi jika aku tidak… Papa…
Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Dengan cepat ia menyeka air mata, lalu membuka pintu.
Sophia berdiri di ambang, membawa kantong roti dan sup hangat. Begitu melihat wajah Elena yang hancur, ekspresinya langsung berubah cemas.
“Elena… apa yang terjadi?”
Elena tidak bisa menahan lagi. Ia menarik Sophia masuk, menutup pintu, lalu menunjuk kontrak di meja. Suaranya serak. “Dia datang… Adrian. Dia menaruh itu. Dan dia bilang kalau aku tidak menandatangani, hutang keluargaku akan ditagih malam ini juga.”
Sophia terdiam, matanya melebar. Ia mendekati meja, membaca sekilas kontrak itu, lalu menatap Elena dengan tatapan marah bercampur takut. “Ini bukan kontrak. Ini… perbudakan.”
Elena jatuh terduduk di kursi, tubuhnya gemetar. “Apa yang harus kulakukan, Sophia? Jika aku menolak, Papa kehilangan segalanya. Jika aku menerima… aku kehilangan diriku.”
Sophia menggenggam tangannya erat, berusaha mentransfer kekuatan yang bahkan ia sendiri tidak punya. “Kau tidak boleh tunduk begitu saja. Ada jalan lain. Kita bisa cari bantuan, kita bisa—”
“Elena!” suara ayahnya terdengar lemah dari ruang tamu, memanggil. Elena segera berlari ke sana, menemukan ayahnya terbatuk hebat di sofa. Wajahnya pucat, napasnya berat.
Ia berlutut di sampingnya, panik. “Papa, tahan sedikit. Aku akan bawakan air.”
Sophia menatap adegan itu, dadanya sesak. Ia tahu Elena sedang hancur, dan waktu mereka semakin sedikit. Adrian tahu persis titik terlemah sahabatnya yaitu ayahnya.
Ketika Elena kembali ke meja makan, kontrak itu terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia menatapnya lama, lalu menoleh ke Sophia. “Kau tahu kan, Sophia… aku tidak punya pilihan. Bukan tentang aku. Ini tentang Papa.”
Sophia mengguncang kepalanya, air matanya jatuh. “Elena, jangan lakukan ini. Kau akan masuk ke dunia yang takkan pernah membiarkanmu keluar lagi.”
Elena menggenggam tangannya, berusaha tersenyum meski getir. “Aku sudah berada di sana sejak lama. Aku hanya baru menyadarinya sekarang.”
Malam semakin larut. Hujan turun di luar, mengetuk jendela perlahan.
Elena duduk kembali di meja, pena di tangannya bergetar.
Air matanya jatuh menodai tinta.
Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu menulis namanya di bagian bawah kontrak.
Huruf demi huruf terasa seperti rantai yang melilit tubuhnya.
Dengan satu tanda tangan, Elena Marcellis resmi menyerahkan dirinya ke dalam genggaman Adrian Valtieri.
Di Petunia Hill, Adrian berdiri di depan jendela besar, menatap hujan. Damian masuk membawa map hitam.
“Sudah selesai,” katanya, meletakkan map itu di meja.
Adrian membuka map, melihat tanda tangan Elena di halaman terakhir. Senyum tipis terukir di wajahnya.
“Bagus,” bisiknya. “Akhirnya.”
...
Pagi itu, rumah tua Marcellis terasa lebih sunyi daripada biasanya. Elena duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun sederhana berwarna krem, matanya sembab karena kurang tidur. Kontrak yang telah ia tanda tangani terlipat rapi di meja, seolah menatap balik padanya, mengingatkan bahwa semuanya sudah selesai.
Ia mendengar suara mesin mobil mendekat. Jantungnya berdetak keras.
Dari jendela, ia melihat mobil hitam mengilap berhenti di depan rumah.
Pintu terbuka, dan Adrian Valtieri melangkah turun. Tegap, berwibawa, seakan ia sudah menjadi bagian dari tempat itu sejak lama.
Elena merasakan seluruh tubuhnya kaku. Inilah saatnya.
Sophia berdiri di ambang pintu, wajahnya muram. “Kau tidak harus pergi dengannya, El. Kita bisa—”
“Aku harus,” potong Elena, suaranya lirih. Ia menggenggam tangan sahabatnya erat. “Tolong jaga Papa. Itu satu-satunya yang kuminta.”
Air mata Sophia jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia memeluk Elena seerat mungkin. “Jangan biarkan dia menghancurkanmu… please.”
Elena mengangguk, meski hatinya goyah. Ia tahu janji itu nyaris mustahil ditepati.
Ketika ia melangkah keluar rumah, Adrian sudah menunggunya di depan mobil. Tatapannya tajam, tapi bibirnya melengkung tipis, seolah kemenangan ini adalah sesuatu yang sudah ia prediksi sejak awal.
“Elena,” katanya, suaranya dalam dan tenang. “Sudah siap?”
Elena tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan, menunduk, lalu masuk ke dalam mobil.
Di dalam, aroma kulit dan parfum mahal menyergapnya, kontras dengan kesederhanaan rumahnya yang berdebu. Mobil itu bergerak, meninggalkan rumah tua, meninggalkan masa lalunya.
Elena menoleh ke jendela, menatap sosok Sophia yang mengecil di kejauhan, matanya basah.
Sebuah bab dalam hidupnya telah resmi ditutup.
......
Petunia Hill.
Gerbang besi besar terbuka perlahan ketika mobil Adrian memasuki halaman luas. Rumah megah itu menjulang, dikelilingi taman dan patung marmer. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti istana. Namun bagi Elena, istana itu adalah penjara.
Ketika mobil berhenti, Adrian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuknya.
Elena melangkah keluar, tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap berusaha tegar.
“Mulai hari ini,” kata Adrian sambil menatapnya dalam, “kau tinggal di sini. Semua yang kau butuhkan akan tersedia. Tapi ingat, Elena... Ini bukan rumahmu. Ini adalah duniaku. Dan di sini, aturan hanya milikku.”
Elena menatapnya, matanya berkilat dengan sisa-sisa perlawanan. “Aku mungkin sudah masuk ke dunia ini, Adrian. Tapi jangan pernah berpikir aku akan tunduk padamu.”
Adrian tersenyum samar, tatapannya penuh obsesi. “Kita lihat saja seberapa lama kau bisa bertahan.”
Malam itu, Elena berdiri di balkon kamarnya yang baru. Dari atas bukit, ia bisa melihat kota Verona berkelap-kelip. Indah, tapi jauh dari jangkauannya.
Ia memeluk tubuhnya sendiri, air mata kembali jatuh.
Di sisi lain rumah, Adrian berdiri di balik kaca besar, memperhatikan Elena dari kejauhan. Senyumnya tipis, penuh kepuasan sekaligus haus akan lebih banyak.
“Elena…” bisiknya. “Kini kau benar-benar milikku.”