"Cinta bukan hanya tentang rindu dan sentuhan. Tapi juga tentang luka yang diwariskan, dan rahasia yang dikuburkan."
Kael Julian Dreyson.
Satu pria, dua identitas.
Ia datang ke dalam hidup Elika Pierce bukan untuk mencintai ... tapi untuk menghancurkan.
Namun siapa sangka, justru ia sendiri yang hancur—oleh gadis yang berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Elika hanya punya dua pilihan :
🌹 Menikmati rasa sakit yang manis
atau
🌑 Tersiksa dalam rindu yang tak kunjung padam.
“Kau berhasil membuatku kehilangan kendali, Mr Dreyson.” — Elika Pierce
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepotong Sandwich dan Luka Lama
...❤︎...
..."Bukan sandwichnya yang menyentuh ... tapi rasa yang ikut disuguhkan. Seperti pesan dari masa lalu."...
...❤︎...
"Sesuai permintaan anda—" Logan menyerahkan tabletnya pada Kael. "—ini adalah jadwal penerbangan Conner Pierce dan istrinya."
Mata elang Kael menatap tajam ke arah tablet yang ia pegang. Bibir merah sedikit kecoklatan itu menukik setengah. Ia tak sabar menunggu hari esok. Hari di mana ia akan mendekati langsung ayah dan ibu dari kekasih kecilnya saat ini.
"Okay. Bagaimana hasil rapat cabang Berlin dengan Conner Pierce?" Kael mengembalikan tabletnya kepada Logan.
"Sesuai prediksi anda," ucap Logan tenang. "Mereka menerima investasi dari kita dan akan melakukan kerjasama dengan Jams Corp."
Kael tertawa mengerikan. Ia merasa semesta mulai sujud padanya, karena merasa bersalah dulu telah menghancurkan masa kecil seorang anak laki-laki yang tak tahu apa-apa. Dan kini ... satu per satu rencananya berjalan dengan lancar.
...❤︎...
"Julian ...," Elika mengeluarkan beberapa kotak bekal dari dalam tasnya. Lalu, ia membuka kotak bekal tersebut dan menyodorkannya pada Julian. "Untukmu."
Elika tersenyum dengan tulus dan mengibas-ngibaskan bulu matanya. "Aku sendiri yang menyiapkannya. Tanpa bantuan siapapun!"
Julian tertegun. Ini adalah bekal pertama yang ia terima seumur hidup, semenjak kepergian ibunya. Sejak ibunya tiada, belum pernah ada satu orangpun yang pernah memasak dengan tulus untuknya. Dengan perasaan campur aduk, Julian mengambil kotak bekal itu. Ia menatap lama ke arah sandwich buatan Elika.
Elika melihat ekspresi Julian. Terlihat tak bersemangat dan ragu-ragu. Ia berspekulasi sendiri bahwa Julian tak tertarik dengan bekal yang ia siapkan. Ia mencoba mengambil kotak bekal tadi dari tangan Julian.
"Ini milikku." Julian mengangkat tinggi kotak bekal yang hampir di ambil kembali oleh Elika. "Kalau sudah memberi, jangan di ambil lagi."
Elika mendelik manja. "Bagaimana ya? Kau terlihat tak menyukai sandwich buatanku."
"Bukan," bantah Julian. "Tapi ini bekal pertama dalam hidupku, setelah ibuku meninggal."
Elika tersentak. Ia menatap wajah Julian. Entah kenapa, tangannya mendadak mengambil kacamata yang Julian kenakan. Lalu ia letakkan kacamata itu ke atas meja. Kemudian ia memegang kedua pipi Julian. Kedua ibu jarinya membelai pipi Julian penuh kasih sayang.
"Kedepannya, aku akan membuatkanmu bekal. Setiap hari."
Julian tersadar. Ia mengumpat dalam hati. Hanya karena sebuah bekal, ia mendadak terharu? Ia kembali memasang topeng sebagai pria yang hangat dan penuh kelembutan. Tersenyum meski hatinya menolak.
"Jangan. Aku tak ingin kau kelelahan," ucap Julian pelan. Kemudian ia mengambil sandwich yang dibekalkan oleh Elika, lalu menggigit dan mengunyah dengan pelan.
Bukan keinginannya. Tapi matanya mendadak berkaca-kaca. Julian menunduk. Memijat pelan pangkal hidungnya. Mulutnya mendadak kaku. Rasanya sulit sekali mengunyah. Tapi ia tetap mengunyah, menelan paksa sandwich di mulutnya, seolah sedang menelan paksa kenyataan pahit.
Entah kenapa rasa sandwich itu membuat Julian teringat sebuah kenangan di masa lalu. Sekilas melintas bayangan masa kecil, di mana ia sedang berdiri di depan taman kanak-kanak.
"Kael! Bekalnya jangan lupa dihabiskan ya!" ucap seorang wanita muda yang Kael sapa 'Ibu'.
"Iya!" seru Kael kecil sambil melambai girang ke arah wanita muda itu.
Saat jam istirahat tiba, Kael bergegas mengeluarkan bekal buatan ibunya. Ia memakan sandwich buatan ibunya dengan sangat lahap. Tapi ia tak tahu. Bahwa itu adalah bekal terakhir yang ibunya buatkan.
Julian tersentak dari bayangan masa kecilnya, saat Elika meraih kepalanya. Gadis itu membawa kepalanya yang tertunduk ke bahu mungil miliknya. Ntah bagaimana, kini dahinya mendarat tepat di atas bahu gadis itu.
Dengan kelembutan, Elika membelai lembut punggung kepala Julian. Sementara satu tangan lagi mengusap pelan punggung kekar yang keras itu.
"It's okay. Tak ada yang melihatmu selain aku," bisik Elika lirih.
Tapi siapa sangka? Sebuah kalimat sederhana Elika berhasil menghempaskan benteng kokoh yang selama ini tak bisa diterobos oleh siapapun?
Airmata yang sudah sekian tahun tak pernah keluar, kini membuncah tak tertahankan. Julian menangis. Terisak. Ada rindu yang menyeruak di dada. Rasanya sesak dan sempit. Seolah ada gumpalan besar yang sedang memenuhi dadanya saat ini.
Kerinduan Julian pada ibunya semakin tak terbendung. Topeng yang ia gunakan sebagai pria hangat, penuh kasih sayang dan pria yang tangguh, mendadak lepas. Ia melemah. Tapi dendamnya semakin meronta-ronta untuk dibalaskan.
Julian mengangkat wajahnya. Matanya basah. Wajahnya memerah. Ia menatap wajah Elika yang sedang gelisah dan khawatir.
Julian meletakkan sandwich tadi ke dalam kotak bekal. Kemudian meletakkannya ke atas meja. Lalu, satu tangannya memegang rahang Elika.
"Jangan." Julian menggelengkan kepalanya. Menatap Elika dengan tatapan yang sulit diartikan.
Elika mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan ucapan Julian.
"Jangan terlalu baik padaku. Aku tak pantas menerimanya," gumam Julian dalam. Ia seolah-olah sedang memperingati Elika dalam bahasa yang sulit dicerna oleh gadis muda itu.
"Tapi—"
Julian mendaratkan bibirnya ke bibir Elika. Mengecup dalam bibir merah merona milik kekasihnya. Ciuman yang panas, penuh ketakutan dan kekhawatiran. Ia merebahkan gadis itu ke sofa, mendominasi tubuh gadis itu dengan serangan tangannya ke dada gadis itu.
Bibir Julian yang semula beraksi, kini perlahan turun ke leher jenjang Elika. Tangan yang kekar, tak henti-hentinya meremas kasar dada gadis itu dengan penuh kebuasan. Julian menyingkap kaos biru muda yang gadis itu kenakan. Lalu ia melabuhkan bibirnya ke pucuk dada gadis itu.
"Agh!" Elika tersentak. Mencengkeram rambut Julian dengan sangat erat.
"Jangan pasrah. Kau membuatku semakin ingin menghancurkanmu," batin Julian saat itu. Akal sehatnya menginginkan pembalasan dendam, tapi hatinya berkata lain.
Tangan Julian mulai merayap ke bawah. Memasuki celana jeans yang gadis itu kenakan.
"Ngh!" Elika melenguh begitu jari tebal kekasihnya menyapa kasar tubuhnya di bawah sana. Namun ia semakin terpacu. Ia memegang kedua pipi Julian. Menatap pasrah mata pria itu.
"Lakukan sampai akhir. Aku ikhlas ... karena kau orangnya," ucap Elika dalam.
... ❤︎❤︎❤︎...
...To be continued .......
But love can also be a disaster due to the hatred and resentment that lingers....
Lagian ku merasa hidup lu ga pantas utk bersanding dengan Kael bukan..
ditambah finansial orangtua lu udh ga menunjang utk hidup hadon, pergi jauh-jauh..
support dr anak satu-satunya akan lebih dibutuhkan untuk orangtuamu..
Dan tinggalkan Kael dengan seribu penyesalan terdalam karena terlalu sibuk dengan mendendam.
Indeed Love and hate have equal emotional intensity, but opposite directions, and one can swiftly turn into the other with betrayal or heartbreak