Ilya Perry-Ivanova menikahi Nicholas Duncan hanya untuk satu tujuan: melarikan diri dari sangkar emas neneknya yang posesif.
Tapi Nicholas Duncan, sang pecinta kebebasan sejati, membenci setiap detik dari pernikahan itu.
Tujuannya Nick hanya satu: melepaskan diri dari belenggu pernikahannya, yang mana berarti Ilya. Istrinya yang paling indah dan jelita.
Ketika satu pihak berlari ke dalam ikatan itu, dan pihak lain mati-matian berlari keluar, mampukah mereka selamat dari perang rumah tangga yang mereka ciptakan sendiri?
×wasabitjcc
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wasabitjcc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Dingin
Pada keesokan hari, mengikuti rencana Nick, mereka pun menuju kawah Halaekalā untuk melihat matahari terbit.
Perjalanan itu dimulai pada dini hari, jauh sebelum matahari terbit. Karena perjalanan itu dimulai lebih awal, Ilya yang tidak biasa bangun pagi merasa tersiksa. Kantuk menguasai matanya.
Ilya tidak mau bangun tadi, tapi Nick yang menerobos masuk ke kamarnya bersikeras memaksanya bangun, sampai memercikkan air ke wajahnya.
Pria itu memaksanya mengikuti tur di pagi buta, dan sekarang, mereka berkendara di atas jeep hitam milik pemandu wisata yang akan membawa mereka ke puncak kawah Halaekalā.
Kendati langit di sepanjang perjalanan itu itu bertabur bintang, indah, dan cemerlang, Ilya tidak menunjukkan keantusiasan. Wajahnya masam. Ilya masih kesal pada Nick.
"Aku pikir kamu menginginkan ini," kata Nick, seringai remeh mekar di wajahnya. "Kamu menulis ingin melihat matahari terbit di Halaekalā."
"Aku memang mau melihat matahari terbit, tapi...," Tapi Ilya tidak mau bangun pagi.
Baiklah, kekesalannya memang tidak masuk akal. Nick sudah bertindak benar dengan memaksanya bangun pagi. Lagipula, melihat matahari terbit di Halaekalā adalah wish list nomor satunya setiba di Maui.
"Tapi apa?" Tanya Nick.
"Tapi kamu tidak perlu menyiramku."
"Kamu tidur seperti orang mati, Princess." Nick merotasikan mata. "Seribu pangeran tidak akan bisa membangunkanmu."
"Kamu adalah suamiku, kamu adalah pangeranku. Kamu seharusnya bersikap lebih romantis. Ini adalah bulan madu kita!"
"Jadi, apa kamu akan bangun kalau aku menciummu? Itu yang kamu mau?"
Ilya mengernyit, "Itu pelecehan."
"Itulah yang aku pikirkan, makanya aku menyirammu. Lagipula, beberapa tetes air tidak akan bisa dikatakan sebagai siraman."
Tetap saja, Ilya tidak suka.
"Kamu beruntung kita tidak perlu mendaki," kata Nick lagi. "Kalau kita akan mendaki mengikuti wish list gilamu itu, kamu akan mati di kaki gunung sebelum matahari terbit. Kamu menginginkan banyak hal tanpa perhitungan."
"Tidak sepertimu, Mister Jenius, aku tidak perhitungan."
"Ya, dan karena itu kamu tidak rasional." Nick lagi-lagi merotasikan mata. "Kamu ingin mendaki gunung tanpa persiapan apa pun. Kamu tidak pernah berolahraga, tidak mempunyai pengalaman mendaki sebelumnya, kamu bahkan tidak mempunyai baju hangat untuk mendaki."
"Aku tahu apa yang kulakukan," sanggah Ilya. Lagipula, apa mendaki memerlukan segala hal merepotkan itu? Bukannya mendaki itu hanya berjalan? Kaki Ilya baik-baik saja dengan berjalan.
"Kalau kamu tahu, kamu tidak akan menikah denganku."
"Urghh, apa kamu tidak bosan membahas itu? Apa setiap topik harus menuju ke pernikahan kita? Apa kamu akan membahas ini sampai kita tua?"
Nick mengendikkan bahu. "Tidak." Aku tidak akan bersamamu sampai tua, tambahnya dalam hati.
"Lalu kenapa kamu terus membahasnya? Pernikahan kita sudah terjadi sebulan yang lalu. Let it go, move on. Aku adalah istrimu sekarang, tidak ada yang bisa kamu lakukan."
"Kamu menjadi lancar bicara di sini."
Ilya balas mengendikkan bahu, "Pengaruh cuaca, mungkin?"
Ilya kembali berpura-pura bodoh, menutupi kenyataan bahwa kelancangannya datang dari kebebasan yang ia peroleh di Maui. Tanpa Ingrid, Ilya memang seperti ini.
Selama sisa perjalanan itu, Ilya tidak lagi mengatakan apa-apa pada Nick, begitu pula Nick. Selagi Ilya mengamati pemandangan menuju kawah, Nick menaruh kesibukan pada iPad-nya.
Nick menghubungi seseorang terpercaya yang menurutnya mampu membantu memecahkan misteri baru yang kini mencuat di benaknya seperti rumput liar.
...----------------...
Setiba mereka di puncak kawah Halaekalā, dinginnya udara di lereng itu terasa menusuk. Ilya yang awal perjalanan terasa mengantuk, seketika kehilangan kantuknya setiba di sana. Matanya sesegar embun pagi. Ia memandang ke sekeliling dengan kegembiraan terpatri di paras jelitanya.
Jingga di cakrawala seperti hamparan warna emas yang berpadu dengan warna merah muda dan biru tua yang memukau mata. Sangat tidak nyata.
"Pakai ini." Muncul di belakang Ilya, Nick menyampirkan satu jaket tebal lagi di pundak perempuan itu.
Ilya sudah memakai satu jaket tebal sebelum mereka berkendara ke puncak, dan jaket itu pun pemberian Nick. Namun, seperti tidak cukup membungkusnya dengan jaket gunung, Nick menambah lembaran baru lagi di tubuhnya dengan padded jaket yang pria itu pakai.
"Kamu memberikan semua jaketmu padaku," kata Ilya, ia menoleh kepada Nick yang kini hanya mengenakan hoodie hitam. "Aku tidak tanggung jawab kalau kamu mati kedinginan."
Ada sedikit kecemasan dalam mata Ilya, meski ucapannya sangat sinis.
"Aku tidak akan mati, Princess. Tidak sepertimu, aku sangat kuat."
"Aku tidak tahu apakah itu rasionalitasmu yang bicara atau arogansimu."
"Kamu tahu kamu hanya perlu mengucapkan terima kasih." Nick melirik Ilya dari sudut matanya dan tersenyum jenaka.
Jelas sekali, sesuatu terasa berbeda. Wanita itu berbeda. Nick hanya belum mengetahui mengapa wanita itu mengubah sikapnya.
"Aku tidak membutuhkan jaket tambahan," sahut Ilya. Ilya percaya diri satu jaket cukup untuk melindungi tubuhnya. Ia tidak menggigil tadi dan jelas sekali, ia tidak membutuhkan kehangatan tubuh pria itu melingkupinya. Ilya baik-baik saja tanpa—OH!!!
Ilya baru saja melepaskan padded jaket yang menggantung di pundaknya dan hendak memberikan jaket itu kembali pada Nick ketika udara dingin tiba-tiba menyerang dan menusuk tulangnya.
Sial, udara di gunung ternyata sedingin itu!
"Pakai kembali jaketmu, Princess. Aku tidak mau berbulan madu dengan mayat." Nick membaca reaksi Ilya terhadap dingin udara pagi itu dan terkekeh remeh.
"Sangat romantis," keluh Ilya. Mau tak mau, ia memakai kembali jaket Nick ke tubuhnya. Seketika, dingin udara yang tadi membekukan tulangnya pun mereda. Saat Ilya menyamankan diri dalam jaket itu, Ilya melihat Nick yang bersilang lengan di dada, memperhatikan langit yang semakin cerah—menyapu kabut kegelapan dari sepenjuru pulau.
Nick pasti kedinginan. Tidak peduli seberapa tebal ototnya, memakai hoodie tidak akan cukup untuk melindunginya dari udara dingin tadi.
"Nicky," panggil Ilya, dengan pergerakan seperti robot, Ilya menghampiri Nick yang berdiri tiga langkah di sebelahnya.
Nick pun menoleh ke Ilya, perempuan yang kini bundar seperti boneka salju.
"Kenapa?" Tanya Nick.
"Seperti yang kamu bilang tadi, aku juga sama."
"Sama apa?" Apa yang Nick katakan barusan? Nick tidak mengingat sudah mengatakan kata-kata yang penting.
"Tentang tidak mau berbulan madu dengan mayat," sahut Ilya. Ia lalu melebarkan tangannya, seakan mengundang Nick untuk masuk ke dekapannya.
"Kemarilah, kamu pasti kedinginan."
"Pfft, apa ini usahamu menggodaku?"
Ilya mencebik, ia menahan diri untuk tidak menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal di depan pria itu. "Ini usahaku menjagamu tetap hidup."
"Tidak perlu, aku baik-baik saja."
"Nicky...!!!"
"What?"
"Peluk aku atau aku akan mengadu ke Maya kalau kita tidur terpisah!"
"Apa kamu mengancamku, Princess?"
"Yes, my prince, sekarang. Aku hitung sampai tiga, kalau kamu tidak kemari, aku akan—"
Ilya belum sempat memulai hitungannya ketika Nick mengambil langkah lebar ke arahnya dan mengangkatnya ke dalam dekapan pria itu. Dada bertemu dada. Kaki dan tangan Ilya spontan melingkari tubuhnya, ekspresi wajah terperanjat.
"Apa yang kamu lakukan?" Ilya memekik penuh keterkejutan. Ilya meminta Nick untuk memeluknya, demi Tuhan. Bukan menggendongnya dan melemparnya ke kawah!
Tunggu!!!
Kengerian menjalar di tulang Ilya, ia menangkup wajah Nick dan memaksakan sepasang mata madu itu menatapnya.
"Kamu tidak akan melemparku ke kawah, kan?"
...----------------...