Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Hampa
Malam itu hujan sudah reda, hanya menyisakan rintik gerimis yang jatuh pelan di atap mobil. Suara ban Jeep Wrangler milik Rajata yang melindas genangan terdengar lirih saat memasuki area rumah.
Rajata melirik ke samping. Di kursi penumpang, Tessa tertidur pulas dengan wajah pucat dan tubuh yang masih sedikit menggigil. Napasnya pelan, seolah menahan sisa letih dan dingin yang menggigit kulitnya.
"Maaf... harusnya gue nggak biarin lo sampai kayak gini," bisiknya lirih, hampir tak terdengar di antara rintik gerimis yang masih menari di luar kaca mobil.
Perlahan, ia melepas sabuk pengaman Tessa. Kedua lengannya yang kuat menyelip di bawah tubuh mungil itu, kemudian ia angkat dengan penuh kehati-hatian. Tubuh Tessa terasa ringan... terlalu ringan hingga membuat Rajata menahan napas.
Saat melewati cermin di ruang tengah, Rajata sempat menangkap bayangan dirinya menggendong Tessa. Hatinya terasa aneh. Ada perasaan yang sulit ia jelaskan—campuran antara rasa bersalah, tanggung jawab... dan entah apa lagi.
Begitu sampai di kamar, ia menurunkan Tessa perlahan di atas ranjang. Perempuan itu sedikit menggeliat, tapi masih belum benar-benar sadar. Rajata menarik selimut hingga menutupi tubuh Tessa, lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya sendiri yang juga masih basah oleh sisa hujan.
Kali ini, Rajata memutuskan untuk membiarkan Tessa tidur di ranjangnya. Selimut itu ia rapikan hingga menutupi tubuh mungil perempuan yang masih terlihat pucat itu.
Sementara dirinya... ia memilih untuk mengalah, merebahkan badan di sofa kecil di sudut kamar. Ia tahu, sofa ini cukup empuk jika hanya untuk duduk atau bersandar sebentar. Tapi untuk tidur semalaman? Rasanya benar-benar tidak nyaman.
Ia mencoba mengatur posisi, memiringkan badan ke kiri lalu ke kanan, tapi tetap saja ada rasa pegal yang menjalar di punggungnya.
"Selama ini... ini ya yang dia rasain kalo tidur di sini?" gumam Rajata lirih. Ada sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Tessa selalu tidur di sofa ini selama seminggu
terakhir sejak mereka menikah. Ia baru sadar, betapa perempuan itu pasti sering terbangun karena kesemutan atau pegal, tapi tidak pernah sekali pun mengeluh.
Pandangan Rajata beralih ke arah ranjang. Dari posisi tidurnya di sofa, ia bisa melihat samar wajah Tessa yang pucat tertimpa cahaya lampu tidur. Napasnya pelan, seolah masih menanggung kelelahan sepanjang hari tadi.
Rajata mengusap wajahnya sendiri dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa bersalah yang makin menggerogoti.
***
Langkah Tessa terhenti ketika hendak keluar rumah. Di ruang tengah ia berpapasan dengan Renata yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatapan tajam sang mertua langsung menusuknya.
"Saya kira kamu sudah pergi. Ternyata masih ada di sini," ucap Renata dingin.
Tessa menarik napas, mencoba menahan gejolak di dadanya. Namun langkahnya ikut terhenti ketika Renata melanjutkan, "Harusnya kamu sadar diri, Tessa. Rumah ini bukan tempatmu. Sejak awal pun tidak pernah."
Kali ini Tessa menatap lurus ke arah wanita paruh baya itu. Suaranya terdengar tenang, tapi ada getar yang tertahan.
"Kalau ibu memang ingin saya pergi dari rumah ini... suruh saja Rajata menceraikan saya."
Renata mengerjap, sedikit terkejut dengan keberanian Tessa.
"Saya sadar diri, Bu. Saya tahu siapa saya di rumah ini... Tapi, bukankah seharusnya ibu juga berterima kasih pada saya?"
"Berterima kasih?" Renata menyipitkan mata, nadanya penuh cemooh. "Maksudmu apa?"
Tessa menatap tajam, kali ini tanpa ragu.
"Kalau bukan karena saya... menerima pernikahan ini, mungkin sekarang ibu sudah kehilangan Pak Reza."
Kalimat itu membuat wajah Renata berubah. Namun sebelum sang mertua sempat menjawab, Tessa sudah melangkah pergi dengan langkah mantap. Meninggalkan Renata berdiri mematung, tatapan wanita itu sulit ditebak—antara marah atau... terpojok.
Pagi itu Rajata terbangun dengan kepala sedikit berat. Ia refleks menoleh ke ranjang—kosong. Tessa tidak ada di sana.
Matanya menyapu sekeliling kamar, tapi tak juga menemukan tanda-tanda keberadaan istrinya. Ia cepat bangkit, berjalan keluar kamar, namun rumah pun terasa sunyi. Bahkan suara Mama-nya tak terdengar sama sekali.
Seketika dadanya terasa sesak. Jangan-jangan Mama... pikirnya. Ada rasa panik yang mulai menyelinap. Apakah Mama membawa Tessa pergi lagi seperti kemarin?
Tanpa pikir panjang, Rajata turun ke halaman dan langsung menghampiri pos satpam.
"Pak... Tessa, istri saya... tadi ada keluar nggak?" tanyanya cepat.
Satpam itu mengangguk ramah. "Oh, Mbak Tessa sudah berangkat kuliah, Mas. Tadi jam enam kurang, saya lihat beliau pesan ojek online."
Rajata melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam enam lewat sedikit... Untuk apa Tessa berangkat sepagi itu? Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi rasa khawatir tetap mengganjal.
"Tapi... dia pergi sendiri kan, Pak? Nggak sama Mama?" tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, seolah ingin memastikan kekhawatirannya tidak jadi kenyataan.
Satpam itu mengangguk cepat. "Iya, Mas. Mbak Tessa sendiri tadi. Kalau Nyonya malah pergi sama Mbak Carissa. Katanya mau ngantar Mbak Carissa ke sekolah."
Rajata akhirnya menghela napas berat. Ada sedikit rasa lega, tapi dadanya tetap sesak.
Sementara itu, Tessa kini berada di pemakaman. Ia memang sengaja berangkat lebih awal, bukan ke kampus, tapi ke tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.
Di bawah langit yang masih mendung sisa hujan semalam, ia jongkok di depan dua nisan yang berjajar rapi. Jari-jarinya mengusap lembut tulisan nama ayah dan bundanya yang mulai dipenuhi embun pagi.
"Ayah... bunda..." suaranya serak, tertahan isak. "Kenapa kalian ninggalin aku?"
Air matanya jatuh, membasahi tanah yang masih sedikit basah.
"Aku sendirian di sini, yah... aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Dadanya sesak. Ia memeluk lututnya, seperti anak kecil yang mencari rasa aman.
"Aku... aku takut... harus sampai kapan aku bertahan kayak gini?"
Hening. Hanya suara dedaunan yang berbisik diterpa angin. Tessa menyeka wajahnya kasar, berusaha menenangkan diri tapi tangisnya justru semakin pecah.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa