NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 | AKAL BULUS

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Andai aku guru Bahasa Indonesia, sudah kubuat anjlok nilai lisannya! Andai aku bisa baca pikiran, sudah kuterobos masuk ke dalam isi kepalanya untuk langsung tahu apa yang hendak dia bilang. Sebenarnya apa Zofan mau, sih? Gereget aku dibuatnya.

“Astaga, Zofan! Cepat selesaikan ucapanmu, sebelum kucekik!”

Tanganku sudah bergerak penuh ancaman, memeragakan gestur mencekik ke arah lehernya.

“Sabar, sabar! Aku juga sedang merangkai kata-kata yang tepat! Beri aku waktu!” protesnya tak terima, sigap menjauhkan diri dariku sambil memegangi lehernya sendiri.

Kurang sabar apalagi aku menunggu mulutnya yang bak kaset rusak itu?

Sudah berapa banyak waktuku yang dia habiskan tak berarti, dan sekarang dia minta lagi?

Hah. Mungkin Zofan butuh sedikit motivasi. Baik, akan berikan sedikit. “Kalau masih belum kau katakan sampai bel berbunyi nanti, aku bersumpah akan menendang tulang keringmu—”

Kriing. Kriing.

Mata Zofan melotot, mungkin dia tak menduga bel akan langsung menyahut berpihak padaku. Tidak tahu saja dia, bel sekolah sudah langganan menyela momenku, sampai aku hafal kapan bel ini akan berdering.

“T – tunggu, tunggu!”

Kakiku sudah terangkat hendak melayang pada sasarannya, siap menepati sumpahku tadi, tapi Zofan tak menyerah. Ia dengan cepat bergerak menghindar, sebelum akhirnya mulut lemas itu berseru kilat mengalahkan laju kereta api.

Aku sampai sempat mengira dia bicara dengan bahasa lain, saking kebutnya.

“Aku butuh bantuanmu, Nata! Ada masalah serius yang perlu kuselesaikan, dan hanya kekuatanmu yang terpikir olehku untuk bisa mengatasinya! Ini super, duper, genting!” begitu isi seruannya.

Aku baru mengerti setelah dia mengulangi kalimatnya dengan lebih pelan, dan jelas.

Zofan mendesah lega sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, sudah seperti orang yang baru berhasil menyelesaikan soal ulangan tersulit.

Kedua tangannya tiba-tiba mencengkram lenganku penuh harap, mengguncang pelan tubuhku memohon. Kepalaku dibuat menjengit karenanya, sampai kedua alis dan bibirku melengkung ke bawah bereaksi.

“Hentikan, aku pusing!”

Tanganku terulur berusaha menyentak tangan Zofan yang bertengger di bahuku.

“Zofan, berhenti,” Sora turut andil, dia membantuku.

Diangkat paksa kedua lengan Zofan dan digesernya ke samping, menjauh dariku. Selang beberapa detik kemudian, satu tangan Sora kembali terangkat, kali ini untuk mengusap pelan kepalaku.

“…”

Aku hanya bergeming.

“Sudah merasa baikan, kepalanya?”

Dan sekarang aku tak bergeming.

Sora, kepalaku memang sudah tidak pusing, terima kasih untuk itu … tapi sekarang mau meledak, Sora!

Telapak tanganku menempel lambat pada mulutku. Aku tahu bibirku ini tak bisa diajak kompromi dan pasti akan memamerkan senyum bodohnya, jadi aku harus segera sembunyikan jejak bukti.

Tanpa terkesan mengabaikan kebaikan Sora yang sudah sukarela menyedot pusing dari kepalaku, aku mengangguk-angguk kecil menjawab pertanyaannya.

“Cih, lihat mata besarnya yang seperti bola ping pong itu! Setelah tadi menyerangku tanpa belas kasih, sekarang malah berbinar karena elusanmu, Sora!”

Berisik sekali mulut remix itu! Gemas, ingin kucopot dan kubuang ke atap sekolah.

“Akh! Sakit, gila!”

Biar, pada akhirnya kutendang juga tulang kering manusia bermulut remix itu. Siapa suruh berisik? Hobi sekali ikut campur urusan orang lain.

“Kau ini perempuan atau apa? Bersikap lembut lah sedikit!”

Aku mencibir tanpa suara, menunjukkan ketidakpedulian akan rintihan sakitnya, apalagi celotehan tak penting seorang Zofan yang sekarang tengah berloncat dengan satu kaki, sementara kaki lainnya tertekuk sambil ia tahan dengan satu tangan.

Aku ini hampir selalu bersikap lembut, ya. Kau saja yang tak layak mendapat sikap itu dariku, dan itu ulahmu sendiri. Malah seenaknya menyalahkanku.

“Sora, bantu aku! Kenapa kau hanya melihat saja, sih?” rengeknya bercampur ringis kecewa.

“Ada apa itu, bertiga di depan kelas? Kenapa belum masuk? Mana guru kalian?!”

Sial, itu guru yang sedang piket dan patroli!

Sempat lupa kalau sudah bunyi bel sedari tadi, kami bertiga lantas berhamburan ke kelas masing-masing. Zofan tergopoh-gopoh dengan Sora yang memapahnya, mungkin nanti baru sakitnya dipulihkan Sora, setelah mereka masuk kelas.

Sebaiknya, sih, tak usah kau sembuhkan, Sora. Biar lah dia nikmati dulu tendangan perdanaku itu.

“Nanti kita bicarakan lagi,” timpal Zofan padaku sebelum kami berpisah.

“Tidak! Aku tidak mau membantumu,” sergahku dan langsung masuk ke dalam kelasku sebelum dia sempat menyanggah lagi. Sekilas aku melihat wajahnya melongo kaget akan penolakanku.

Maksudku, jika kau benar-benar membutuhkan bantuanku, maka minta tolong lah dengan benar. Bukan dengan membuatku kesal bahkan naik darah.

Jujur saja, aku penasaran dengan bantuan yang Zofan butuhkan, sampai dia bilang hanya aku yang bisa selesaikan masalahnya. Sampai dia begitu seringnya mencari celah mengusiliku, sok kenal, sok dekat.

Tapi, orang macam apa yang tidak tahu diri meminta bantuan, tapi menjahili penolongnya? Sudah pernah kubilang, kan, kalau aku malas berurusan dengan sekumpulan orang menjengkelkan yang suka menyia-nyiakan waktuku?

Jadi, jika ada siapa pun yang butuh aku, maka bersikap baik lah dahulu. Jangan sampai menguji kesabaranku, apalagi di luar batas.

Semenjak hari itu, Zofan tak lagi mengusik waktuku selama jam sekolah berlangsung. Yah, tidak juga mengganggu walau waktu sekolah telah usai.

Hal itu juga terlihat jelas dari bagaimana penggemar Zofan juga tak lagi menaruh perhatian mereka padaku, yang mana aku selalu merasa diawasi banyak mata ketika Zofan masih membuntutiku.

Berbeda dengan Zofan, Sora justru semakin sering menyapaku. Dia selalu ramah padaku … dan pada hampir semua orang. Dia juga mulai sering meninggalkan komentar atau sekadar memberi tanda suka pada postingan-postinganku di media sosial. Sesekali kami saling berbalas singkat.

Singkatnya, kehidupan sekolahku mulai kembali normal dan tenang. Tentunya dengan sedikit tambahan bumbu romansa yang selalu ditabur seorang Sora setiap harinya.

Tak ingin menyia-nyiakan segala kesempatan yang ada, kadang otak tidak tahu maluku ini merancang ide-ide konyol untuk mencari masalah-masalah sepele yang membuatku ‘terluka’. Bukan tanpa sebab aku melakukannya.

Aku memprediksi dan memperhitungkan setiap rencana dan langkahku sebaik mungkin, agar berjalan lancar dan membuahkan hasil; mendekatkan diri pada Sora.

“Eh, eh! Astaga – aduh!” rintihku saat kakiku dengan sengaja menginjak gagang pel yang terjatuh hingga menggelundung dan membuatku tergelincir. Aku mencengkram pelan pergelangan kakiku yang rasanya sedikit terkilir.

“Loh, Nata! Apa yang terjadi?”

Posisiku yang masih terduduk menyamping di depan pintu kelas ini lantas menarik perhatian Sora yang tengah menyusuri di lorong, sepertinya baru kembali dari ruang UKS.

Dia bergegas menghampiriku, lalu menggandeng lenganku dan membantuku berdiri. Setelah itu, Sora mendudukkanku di tembok rendah pembatas lorong.

“Terima kasih, Sora. Aku sedang piket kelas dan tak sengaja menjatuhkan pel. Lebih cerobohnya lagi, aku terlalu panik berusaha menangkapnya, dan malah berakhir menginjaknya hingga aku ikut jatuh,” jelasku dengan senyum tipis – yang aku yakin terlihat bodoh.

Kenapa juga aku menjelaskan seperti orang presentasi?

Penjelasanku mengundang kekehan tanpa suara dari Sora, tergambar sempurna hanya dari deru napas dan ukiran manis di bibirnya.

Sora menurunkan posisinya menjadi setengah berlutut di sampingku, lalu setelah meminta izin padaku, dia meremas lembut pergelangan kakiku hingga jemarinya yang melingkar di sana terlihat berkilauan.

Indah sekali. Proses pemulihan dari Sora selalu memanjakan mata, seakan dia sedang menciptakan sebuah karya dengan sinar kekuatannya. Aku seperti melihat bintang-bintang dari dekat.

“Sepertinya akhir-akhir ini kau sering tak sengaja melukai dirimu sendiri, ya? Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Tolong lebih berhati-hati dan perhatikan lagi kondisimu, Nata,” ujar Sora.

Matanya terfokus memantau proses penyembuhan pada pergelangan kakiku, sementara mataku terfokus pada pesonanya. Aku mengulum senyum terbaikku, walau Sora tak melihatnya. Dia sangat perhatian, pada semua orang.

“Hm, iya. Akhir-akhir ini banyak yang kupikirkan, Sora.”

Banyak memikirkanmu.

“Maaf aku jadi sering merepotkanmu, aku sangat bersyukur kau selalu ada di setiap kebetulan. Kau jadi seperti malaikat pelindungku, Sora! Atau, jangan-jangan …,”

“Jangan-jangan?” Kali ini kepala Sora mendongak dan bertemu pandang padaku, menunggu lanjutan dari ucapanku yang menggantung, membuat jantungku serasa ditembus panah asmara yang meluncur gesit.

Kurasa pipiku semakin membulat dengan semburat sewarna apel merah.

“J – jangan-jangan … kau memang malaikat.” Di sini suaraku hampir tak terdengar, saking kecilnya. Padahal aku yang berniat menggombal, tapi kenapa malah aku juga yang malu dengan ucapanku sendiri?

Setidaknya gombalanku mendapat respon yang baik dari Sora, aku membuatnya tertawa.

“Haha, kau menggemaskan, Nata.”

Pernyataan tiba-tiba dari Sora membuat mataku hampir menggelinding jatuh dari sarangnya.

Aku mengerjapkan mataku berulang kali, masih mencerna kata-kata terakhir Sora. Sampai saat Sora tiba-tiba menceletuk, “aku tidak tahu kalau ternyata orang jenius sepertimu juga bisa begitu ceroboh,” dan membuatku buyar.

Gerakanku kaku seketika, dan kurasa cengiranku saat ini terlihat begitu dipaksakan.

“E – eng, aku kan juga manusia. Kita sama saja, Sora,” balasku canggung dan cemas, seperti orang yang baru ketahuan melakukan kecurangan. Kuharap Sora tak menyadari akal-akalanku.

“Uhuk, uhuk!”

Apa-apaan suara batuk yang memaksa itu? Itu bukan suaraku, apalagi suara Sora. Suaranya berasal dari arah pintu kelas Sora.

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!