Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5
Happy Reading...
.
.
.
Malam ini Raka kembali pulang terlambat. Lampu kota berpendar melewati jendela menerpa wajahnya, namun yang terbayang di kepalanya bukan lampu lampu itu, melainkan wajah Naira yang tadi malam berdiri tepat di sisinya.
Perjalanan Raka kali ini terbilang cukup cepat dari kantor sampai rumah. Setelah memasuki rumah ia tak segera menghampiri Jingga seperti biasanya. Raka lebih memilih mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. Raka meletakkan tas kerjanya dengan gerakan pelan lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
Setelah merasa lebih tenang ia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju kamar sang anak. Jingga sudah terlelap. Raka berdiri di ambang pintu kamar anaknya, menatap sejenak. “Kamu harus kuat untuknya, Rak,” ia berbisik pada diri sendiri, suara lembut yang nyaris tenggelam oleh detak jam.
Di dapur, ia membuat kopi. Tanpa ia sadari aroma pahitnya memenuhi ruangan. Raka meletakkan gelas kopi itu di atas meja makan. Ia kembali menyandarkan badannya lalu sedikit mendongakkan kepalanya. Raka menutup matanya sejenak lalu membiarkan ingatan tentang senyum Naira bersarang di ingatannya. Senyum itu...Bukan senyum lemah yang seperti pernah ia kenal, melainkan senyum penuh kepercayaan diri. “Melihat wajahnya tersenyum kenapa begitu menyakitkan?” gumamnya.
Raka membuka kedua matanya. “Kamu bilang kamu ingin dibanggakan,” Raka berujar pelan sambil menatap foto Nayla yang menggantung di dinding. “Sekarang aku mengerti sebabnya.”
Kembalinya bayangan Naira membuat sesuatu dalam dirinya berputar lagi. Bukan hanya tentang rindu yang ia rasakan, tapi tentang niatnya yang hampir ia lupakan. Niat untuk membalaskan dendam. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba menepisnya. “Tidak, tidak lagi,” ia menghardik diri sendiri. “Aku sudah berjanji akan membalaskan setiap luka yang kamu terima.. Maaf aku hampir melupakan itu."
Namun setiap kali ia kembali memejamkan mata, ingatan tentang senyum Naira dengan tatapan mata yang penuh dengan kepercayaan diri, dagu yang selalu terangkat, tawa yang terlihat sangat bahagia. kembali membuatnya semakin ingin melanjutkan niatnya.
“Kenapa kamu begitu hidup, padahal dia... dia mati?” bisik Raka, lebih kepada bayangan daripada kepada dirinya sendiri.
Ia kembali membuka kotak dokumen yang berada di atas meja kerjanya, menarik foto lama Nayla yang pernah ia simpan. Di foto yang lain, terdapat potret keluarga dua gadis kembar. Yang satu terlihat bersinar terang sedangkan yang satu terlihat sangat redup tanpa semangat. “Mereka memilih cahaya dan membuang yang lain,” ucapnya Raka dengan penuh kebencian. “Mereka membiarkanmu sendiri, Nayla. Dan aku akan membuat mereka untuk membayar itu semua.”
.
.
.
Raka berjalan ke arah balkon kamarnya, udara malam menyentuh wajahnya dingin. Dan entah kenapa Raka merasa angin malam ini terasa sangat dingin seolah mewakili hatinya. “Apakah aku akan sanggup melakukan itu?” tanyanya ragu. “Atau aku hanya seorang pria yang melampiaskan rasa bersalah dengan kebencian?”
Ia menggertakkan gigi. “Kebenaran itu harus terungkap.” ia menggumam. “Bukan sebagai hukuman yang tanpa alasan, tapi sebagai pengakuan bahwa mereka salah. Mereka semua sudah tidak adil kepada kamu.” Monolog Raka. Ia kembali berusaha untuk meyakinkan dirinya.
Raka menolehkan kepalanya saat mendengar ponselnya berdering. Ia berjalan memasuki kamarnya lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Raka mengerutkan keningnya saat mendapati nama salah satu rekan kerjanya. Raka sedikit heran.
“Kenapa malam-malam begini mas Dimas menelfonku?” gumamnya. Lalu Ia pun mengangkat telepon itu. “Halo, Mas Dimas.”
Suara di ujung telepon terdengar tergesa, namun tetap sopan. “Raka, maaf sekali aku sudah mengganggu di jam segini. Aku benar-benar minta maaf.” Ucapnya dengan nada bersalah.
“Tidak apa-apa, Mas. Apa ada yang penting?” tanya Raka pelan.
“Iya Rak, sangat penting. Besok pagi aku ingin bertemu denganmu. Ada urusan yang harus segera aku bicarakan. Ini menyangkut kerja sama yang sudah aku beritahukan kepadamu kemarin… dan ada seseorang yang ingin bertemu denganmu juga.”
Raka mengernyit. “Seseorang? Siapa?” Tanya Raka penasaran
“Benar. Nanti kamu juga akan tahu. Tolong datang jam sembilan pagi. Tempatnya di kafe dekat kantor pusat, yang biasa kita pakai meeting. Saya jelaskan semuanya besok.” Jawab Dimas.
Raka menatap meja, merasa ada sesuatu yang janggal dari nada suara rekannya. “Baik, saya datang. Terima kasih sudah memberi tahu.”
“Sekali lagi maaf, Rak. Sampai besok.” Ucap Dimas lalu menutup teleponnya.
Raka duduk terdiam beberapa saat. Ada rasa tidak nyaman yang muncul begitu saja, seperti firasat buruk yang tidak bisa dijelaskan. Namun ia mencoba menepisnya.
.
.
.
Pagi itu Raka datang tepat waktu seperti yang di janjikan. Di ruang pertemuan kecil kafe yang biasanya mereka gunakan untuk membahas proyek ternyata Dimas sudah menunggu sambil membuka beberapa dokumen.
"Hai. Bagaimana kabar kamu?" Sapa Dimas setelah Raka mendudukkan dirinya tepat di kursi depannya.
“Baik, Mas Dimas,” ucap Raka sambil duduk, “Mari kita bahas draft kontrak yang Anda kirim kemarin.”
Dimas mengangguk. “Tentu, Raka." Dimas menyodorkan map tepat di depannya. "Jika ada bagian yang perlu disesuaikan kamu beritahu aku sebelum kita lanjut ke tahap penandatanganan.”
Mereka mulai membahas beberapa poin penting—pembagian keuntungan, jangka waktu kerja sama, hingga klausul tambahan. Suasana berjalan lancar, hingga tiba-tiba pintu terbuka.
Arvino masuk.
Raka langsung berhenti berbicara. “Arvino?” katanya bingung.
Arvino memberi senyum tipis. “Maaf datang mendadak. Saya merasa saya harus hadir dalam pertemuan ini.”
Raka menoleh ke Dimas. “Apa maksudnya ini? Bukankah proyek ini diajukan oleh perusahaan kamu mas?”
Dimas tampak gelisah. “Sebenarnya, Raka… saya mewakili perusahaan yang dipimpin oleh Mas Arvino. Jadi, kontrak ini memang berasal dari beliau.”
Raka sedikit terkejut. “Saya baru tahu Anda terlibat langsung.”
Arvino membuka map besar yang ia bawa. “Justru itu alasan saya datang. Saya ingin menjelaskan rencana saya secara langsung.” Ia mengeluarkan beberapa desain bangunan dan meletakkannya di meja.
Raka memperhatikan dengan seksama.
“Saya sedang membangun anak perusahaan baru,” jelas Arvino. “Dan saya mendengar banyak hal baik tentang kemampuan Anda sebagai arsitek.”
Raka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Terima kasih, tapi proyek ini tampaknya besar. Apa Anda yakin ingin saya yang mengurusnya?”
“Saya yakin,” jawab Arvino tegas. Ia menunjuk desain yang terbentang. “Saya ingin Anda menangani keseluruhan konsep bangunan ini. Bukan hanya desain eksteriornya, tapi juga seluruh interiornya. Saya ingin perusahaan baru saya memiliki karakter yang kuat, dan saya percaya Anda bisa mewujudkannya.”
Dimas menambahkan, “Kami memang menilai kamu yang paling cocok untuk ini, Rak.”
Raka memandang desain itu dengan campuran rasa kagum dan tekanan. “Ini tanggung jawab besar. Saya butuh waktu untuk mempelajari semua detailnya.”
“Tentu,” ujar Arvino. “Saya hanya ingin Anda mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika Anda setuju, kita bisa mulai minggu depan.”
Raka akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Saya akan memikirkannya secara serius.”
Pertemuan itu berlanjut, namun di balik ketenangan Raka, pikirannya terus bertanya-tanya, mengapa Arvino begitu ingin bekerja sama dengannya? Apakah semua ini hanya bisnis… atau ada alasan lain yang tidak ia ketahui?
.
.
.