Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 6
Belum sempat kumenjawab. Telepon sudah dimatikan.
Ya, semua berakhir. Bukan telepon itu yang kumaksud, tetapi kedekatanku dengannya beserta khayalan yang pernah kuimpikan tentangnya.
Tlit! Satu pesan masuk ke ponselku.
Sebuah alamat tertera di sana dan aku nggak membalasnya lagi.
***
Mobilku sudah terparkir nggak jauh dari gereja yang dimaksud kakaknya kemaren.
Satu per satu kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang keluar dari sana. 'Ya Allah, jika memang iman kami berbeda, tolong hancurkan perasaan yang tak pantas ini. Namun jika dia muslim, permudahlah jika memang namanyalah yang Kau tuliskan dalam Lauhul Mahfudz untukku.' Aku terus-terusan berdoa hingga akhirnya, kulihat dia keluar dengaan pakaian kemeja dan celana panjang. Kalung yang biasanya bersembunyi di balik kausnya kini bisa kulihat dengan jelas. Liontin salip bergerak-gerak sesuai irama kakinya. Ternyata benar!Cepat kilat aku mencari akal agar bisa menemuinya, tetapi tanpa wajah yang sedih ini. Kusapu pandanganku ke belakang mobil, dan terlihat proposal skripsiku di pojoknya. Cepat-cepat aku keluar sebelum dia melewati mobilku. Kusambar tumpukan kertas itu lalu pura-pura menyusunnya di jok belakang mobil.
"Jasson!" sapaku dengan tenang dan tersenyum ke arahnya. Kusembunyikan perasaan kecewa yang kini memenuhi rongga dada hingga sesak.
Dia gugup dan menyembunyikan kalungnya. "Ka-kamu-" ucapnya terbata lalu menengok ke belakang, ke arah gereja.
"Kebetulan aku mau ke fotocopy ini," ucapku sambil mengangkat proposalku.
"Nayla, maafkan aku," ungkapnya dengan wajah bersalah setengah memelas.
"Untuk apa?" tanyaku pura-pura bodoh. Padahal hatiku tengah meraung kesakitan.
"Tentang agama itu, aku benar-benar minta maaf.""Nggak apa-apa, toh aku sudah tahu 'kan?
Oh iya, aku buru-buru. Aku pamit ya," ucapku sambil meninggalkannya.
Aku berjalan menuju fotocopy yang nggak jauh dari sana. Dia terus mengekoriku. Beruntung, fotocopy itu ternyata tutup. Jadi aku nggak perlu lebih lama lagi di sana.
"Masih ada yang ingin kujelaskan, Nay." Dia ikut berbalik arah seiring denganku, seperti anak kecil yang sedang memelas minta dibelikan mainan oleh ibunya.
"Maaf, tetapi aku buru-buru. Lewat chat saja, ok?" pintaku lalu masuk lagi ke dalam mobil.
Terlihat dia masih ingin mengatakan sesuatu namun mesin mobilku sudah menyala. Dia pasrah dengan apa yang kulakukan. Mobil pun melesat meninggalkannya. Aku segera menuju kampus. Sebenarnya sudah nggak ada semangat lagi untuk mengurus semuanya hari ini.
Sampai di kampus aku berusaha menghilangkan segala rasa yang timbul akibat pertemuaku dengannya barusan. Apalagi setelah aku mengetahui hal yang selama ini dia sembunyikan. Tujuannya apa coba seperti itu? Menyembunyikan semuanya dariku.
Aku terus naik ke lantai tiga sambil terus menanyakan sesuatu yang aku sendiri nggak bisa menjawabnya. Jujur aku sedih jika jauh darinya.
Sampai di lantai tiga aku langsung bergabung dengan teman-temanku yang juga mengurus ijazahnya. Kami duduk di ruang tunggu kantor jurusan yang sudah sempit karena di sana juga ada junior yang sedang menunggu giliran bimbingan skripsi.
Setelah mengecek file-file yang diperlukan, sesekali aku nimbrung dengan orang-orang yang ada di sana. Walaupun begitu, bukan berati ingatanku sudah lepas dari pikiran tentangnya. Sesekali, kulihat layar ponselku memastikan apakah ada panggilan atau pun chat darinya. Ternyata tidak, mungkin dia benar-benar sudah pasrah dengan apa yang terjadi setelah ini. Bisa jadi, dia juga sedang berusaha melupakan sama sepertiku. Setengah jam menunggu, terdengar ada keributan di luar ruangan. Kehebohan itu menarik perhatian sejumlah orang yang ada di ruang tunggu, tak terkecuali aku dan teman-temanku.
Aku dan beberapa orang yang ada di ruangan ini seolah ditarik rasa penasaran untuk melihat kejadian di luar sana.
"Cakep banget!" ucap salah satu mahasiswi yang berdiri di tembok pembatas lantai tiga ini.
"Iya, kayaknya bukan anak fakultas ini deh," sahut yang lain menimpali sambil melihat ke bawah sana.
"Jelas bukan! Cogan yang ada di sini gue hapal banget," ucap mahasiswi yang lainnya lagi.
Aku dan teman-temanku serentak mendekati tembok pembatas dan melihat ke arah yang mereka tunjuk.
"Naay! Bener deh cakep banget. Cakep banget nggak tuh?" ucap Nabila hampir memanjatku sebelum aku menemukan sosok yang mereka maksud."Apaan sih! Lebay banget deh." Aku menyangkal tangannya yang bergelayutan dibahuku sambil mencari-cari sosok yang mereka katakan.
What!? Jasson? Aku tak percaya ini. Dia sampai nekat mencariku ke kampus ini? Aku menyesal memberitahunya bahwa aku kuliah di sini. Asli! Aku benar-benar nggak percaya kalau dia senekat ini.
Senyumku terukir tiba-tiba, antara senang dan tidak senang sih. Senang karena dia sampai repot-repot mencariku ke sini dan tidak senang karena tentu aku akan jadi bahan pembicaraan setelah ini. Apalagi mungkin setelah ini aku akan makin susah melupakannya. Berikutnya nanti pasti teman-temanku akan bertanya tentang dia padaku dan itu akan membuatku semakin sulit untuk melupakannya.
Aku terus memperhatikannya dari atas sini. Terlihat di bawah sana dia menoleh ke kanan dan kiri seperti mencari-cari. Namun dia tidak bertanya pada orang-orang yang di lewatinya. Mungkin dia juga risih karena di sana juga banyak yang memperhatikan dia.Sebentar lagi dia akan sampai di sini. Apa yang harus aku lakukan?