"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
(Bukan) Pertemuan Pertama
Bayangan gadis asing yang Adhan lihat saat di taman baca "Lily" terus mengganggu pikirannya. Ia tidak tahu siapa gadis itu? Tak pula tahu dari mana asalnya? Namun, sosok yang terlihat rapuh itu benar-benar membuatnya merasa khawatir dan terus bertanya-tanya, bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia sudah baik-baik saja? Atau, justru sekarang tengah menangis sendirian di sudut tempat, seperti yang dia lakukan di taman baca "Lily"?
Lamunan itu membawanya begitu jauh, hingga tanpa sadar, ia sudah sampai di rumah yang telah ia tinggali sejak berusia tujuh tahun. Memarkirkan mobil kesayangannya di garasi, Adhan melangkah masuk. Aroma masakan khas menyambutnya, membawa kehangatan yang selalu ia rasakan sedari dulu.
"Kenapa pulangnya telat? Pas sekali, makan malam sudah siap!" Suara riang menyapa kedatangan Adhan dengan penuh antusias.
Adhan tersenyum kecil. Sosok yang menyambutnya tak lain adalah Claudia, bibinya. Ia mendekat, bergabung dalam makan malam bersama keluarga besarnya.
***
Usai makan, Adhan menuju kamarnya. Pandangannya tertuju pada tumpukan kardus-kardus yang tertata rapi di sudut ruangan, lambang keputusan besar yang telah ia buat.
Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan. Claudia muncul dengan senyuman tipis, tetapi matanya menyiratkan perasaan yang tak rela.
"Han, kamu benar-benar yakin harus pergi?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh harap. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap Adhan seolah mencari cara untuk menahan keponakannya tetap tinggal.
Adhan menghela napas, berusaha menenangkan perasaan bibinya yang begitu kalut. "Mbak, aku bukan pergi jauh. Hanya pindah tempat tinggal saja. Kita masih bisa bertemu kapan pun."
Ya. Sedari dulu Adhan selalu memanggil Claudia sebagai Mbak. Itu permintaan dari Claudia sendiri, katanya dia tidak mau dipanggil bibi dengan rentang usia mereka yang tidak terlalu jauh.
Claudia menghela napas panjang. "Apa kamu kurang nyaman di sini? Jika masalahnya Mas Hardi, aku bisa bicara dengannya."
Hardi, yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu, tersenyum mendengar candaan yang dilontarkan oleh istrinya itu. Dia pun berkata, "Apa benar aku membuatmu nggak nyaman, sampai kamu ingin pindah, Han? Kalau begitu, apa yang harus Mas lakukan supaya kamu tetap tinggal. Mas nggak tega lihat Mbak Dia mu ini menangis dan merengek seperti bayi tiap malam."
Adhan tersenyum tipis, lalu menatap Claudia yang terlihat sewot dengan sindiran suaminya. Padahal, dia lah yang jelas-jelas melemparkan bom candaan.
"Aku nggak pernah merasa kurang nyaman di sini. Rumah ini selalu menjadi tempat untukku pulang. Tapi, sampai kapan aku harus terus bergantung dengan Mbak Dia dan Mas Hardi. Sudah saatnya untukku belajar hidup mandiri."
Claudia mendesah, masih tampak berat hati. "Tapi ... bagaimana kalau nanti kamu kesulitan? Atau perlu sesuatu? Tinggal di sini kan lebih gampang. Semuanya sudah ada dan tersedia."
"Mbak, aku akan datang kalau aku membutuhkan bantuan dari Mbak, Mas Hardi, Paman, atau bahkan Bibi. Mbak juga tetap bisa panggil aku kapan saja, apalagi kalau Mbak masak makanan enak, mana mungkin aku melewatkannya," kata Adhan mencoba mencairkan suasana.
Claudia terdiam sejenak, memandang ke arah Adhan sambil menyeka ujung matanya yang mulai basah. Ia tahu, tak mungkin menahan Adhan selamanya. Adhan adalah versi lain dari dirinya yang punya kemauan kuat dan juga keras kepala.
"Kalau begitu, janji ya, jangan sungkan buat datang kalau ada apa-apa. Ingat, rumah ini adalah rumahmu juga. Kamu adalah keponakan, adik, dan teman yang paling Mbak sayangi."
Adhan mengangguk, merasa hangat mendengar kata-kata itu. Lalu, ia menoleh ke arah Hardi dengan tatapan sedikit serius.
"Mas Hardi, aku hanya ingin meminta satu hal. Jagain Mbak Dia dengan baik. Jangan pernah sakiti dia. Kalau sampai sesuatu terjadi pada Mbak Dia, atau kudengar Mbak Dia menangis karena Mas Hardi ... Mas bakal berhadapan denganku."
Hardi hanya tertawa kecil dan menepuk bahu Adhan. "Tenang saja. Mbak Dia mu ini adalah pusat dunia Mas sekarang. Dia adalah segalanya bagi Mas. Kamu nggak perlu khawatir soal itu."
Claudia tersipu mendengar ucapan kedua orang yang sangat ia cintai. Meski ia tak bisa menghilangkan rasa sedih dalam hati, namun ada kelegaan dalam raut wajahnya. Akhirnya, ia pun meraih tangan Adhan dan menggenggamnya erat. "Terima kasih karena kamu sudah menemani Mbak selama ini. Kamu adalah orang yang paling berharga bagi Mbak."
"Justru aku yang harus berterima kasih. Karena Mbak Dia, aku bisa jadi seperti sekarang. Terima kasih sudah menjaga dan merawatku selama ini."
"Merawat apanya? Kamu itu kan besar bareng Mbak, kita selalu main bareng, dan kadang sering juga berantem. Kamu itu sudah Mbak anggap sendiri seperti adik bungsu."
"Iya, deh. Asal Mbak bahagia aja. Pokoknya, aku berterima kasih sama Mbak, karena tidak membuatku merasa kesepian."
Percakapan di antara mereka berakhir ketika Claudia dan Hardi meninggalkan kamar Adhan. Setelah membereskan barang-barang yang perlu dibawa esok hari, Adhan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapannya tertuju lama pada langit-langit kamar, merenungi bahwa malam ini adalah malam terakhirnya tidur di tempat yang begitu akrab dengannya. Namun, ini bukanlah perpisahan yang sesungguhnya dengan keluarga yang selalu mendampinginya—melainkan awal dari sebuah babak baru dalam hidup yang sudah dia pikirkan dengan matang sejak lama.
Kenangan indah yang ia ukir selama tinggal di rumah ini tidak akan pernah ia lupakan. Ia akan membawa semuanya dalam hati dan pikiran, menjadikannya sumber kekuatan untuk menghadapi masa depan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berlarian terdengar mendekat. Adhan menoleh ke arah daun pintu yang masih sedikit terbuka. Dua anak kecil—berusia sekitar 13 tahun dan 10 tahun—tampak menargetkannya dengan semangat. Ia tersenyum kecil, bersiap menyambut kejutan itu. Dan benar saja—dalam sekejap, tubuh mungil mereka melompat masuk ke dalam pelukannya, disambut hangat oleh dekapan Adhan yang penuh kasih.
***
Keesokan paginya, Adhan sibuk dengan kepindahannya, memindahkan barang-barang ke unit baru. Saat hendak masuk, ia berpapasan dengan seorang gadis asing—yang tak lain adalah Serena.
Entah karena penasaran atau alasan lain, Adhan merasakan aura menusuk dari gadis itu. Seolah-olah ia sedang diamati dengan saksama oleh tetangga barunya. Namun, alih-alih menanggapi, Adhan memilih untuk mengabaikannya, berpura-pura tidak menyadari apa pun.
Baru setelah Serena pergi, Adhan menoleh ke arah gadis asing itu. Ia menyipitkan mata. Sungguh perempuan yang aneh, pikirnya demikian.
Saat punggung Serena semakin menjauh, Adhan merasakan sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang familiar pada sosok gadis itu, seperti déjà vu. Mungkinkah mereka pernah bertemu sebelumnya? Namun, itu tidak terlalu lama. Dalam hitungan detik, Adhan melangkah masuk ke dalam unitnya. Ruangan itu masih berantakan. Ia meletakkan barang bawaannya di tempat yang sedikit lapang, lalu menghela napas pelan.
Mengeluarkan ponsel dari saku celana, ia memeriksa pesan masuk. Belum ada balasan dari jasa pengangkut barang yang dipesannya. sepertinya mereka terjebak macet, atau ada masalah lainnya. Adhan tidak tahu pasti. Mau tak mau, Adhan harus membereskan apa yang bisa ia kerjakan sambil menunggu mereka datang.
Adhan bukan tipe yang suka membuang-buang waktu. Maka dari itu, ia memutuskan untuk turun ke bawah.
Di sana, ia mulai mengeluarkan beberapa kardus dari dalam mobil, memeriksanya satu per satu untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Saat itulah ia kembali melihat Serena. Kali ini, gadis itu tampak sibuk berdebat dengan seseorang—seorang pria. Suara mereka terdengar samar, tapi dari ekspresi gadis itu, Adhan bisa menebak bahwa mereka sedang terlibat pertengkaran kecil, dan itu bukan urusannya.
Melihat pemandangan yang penuh dengan drama picisan itu, Adhan hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin ikut campur, apalagi mengurusi urusan orang lain. Tanpa memedulikan lebih jauh, ia kembali fokus pada pekerjaannya.
***
Saat hendak masuk ke lift, ia mendapati tetangga barunya sudah masuk lebih dulu ke dalamnya. Gadis itu menoleh sekilas dan tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah. Adhan membalasnya dengan senyum singkat, sekadar sopan santun agar tidak terlihat angkuh.
Di tangan Adhan saat ini, menumpuk beberapa kardus besar sambil berusaha menjaga keseimbangan. Namun, begitu lift bergerak, tumpukan itu sedikit goyah. Salah satu kardus paling atas hampir jatuh.
Ia refleks menurunkan semua barang bawaannya ke lantai, dan segera menyusun ulang posisi kardus-kardusnya agar lebih stabil dan tidak membahayakan orang di sekitarnya. Ia tak mau ada yang terluka, apalagi karena kelalaiannya sendiri.
"Maaf. Saya hampir aja bikin Anda celaka," ucap Adhan penuh penyesalan, dia hampir saja menciptakan situasi yang berbahaya.
Serena menggeleng pelan, masih sedikit terkejut namun mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, kok. Lagi pula, nggak sampai terjadi apa-apa."
"Tapi tetap saja, saya minta maaf," katanya sekali lagi sembari menunduk sopan.
"Iya, lain kali hati-hati aja, ya."
Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara mereka. Keheningan kembali mengisi ruang lift yang sempit itu, menyisakan hanya suara samar dari mesin yang bekerja membawa mereka ke lantai tujuan.
Bagi Adhan, pertemuan itu mungkin tak lebih dari sekadar perjumpaan biasa, sama seperti yang lain. Ia tak menyadari bahwa akan ada banyak hal yang berubah dalam hidupnya—sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikirannya sedikit pun.
Karena setelah itu, dia tidak akan menemukan jalan untuk kembali.
Bersambung
Jum’at, 22 Agustus 2025