Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Elang.
Aku diam saja tak peduli dengan cerita yang ibuku katakan, malah selembar kertas akta cerai ditanganku menjadikan aku sibuk. Bibir wanita paruh baya itu bergerak sinis setiap mengatakan nama wanita yang merebut kebahagiaanku, si Alana begitulah beliau menyebutnya.
Sesekali aku memutar bola mataku, mengalihkan pembicaraan agar tak selalu soal Elang yang menjadi bahan obrolan. Padahal anaknya ini tengah berusaha mencari jalan agar lepas dari lelaki itu, tapi beliau malah hampir setiap hari ngobrol tentang pria tersebut.
"Kalau tak salah mereka juga melahirkan di Rumah sakit Mayapada, harinya juga sama dengan Arsya. Anaknya juga laki-laki," ujar ibuku, masih mengulik soal ceritanya yang ia dapatkan dari ibunya Elang.
Aku mulai bosan, rasanya ada yang panas membara dihatiku. Tapi, aku masih sadar diri. Seberuntung itu hidup Alana, namun kenapa ia malah enggan meng-asihi bayinya?
Menyusui itu emang sakit, tapi manfaatnya luar biasa. Itu yang kurasakan setelah punya Arsya, anak semata wayangku dengan sang mantan. Nahasnya pernikahanku hancur oleh pengkhianatan yang mereka lakukan.
Aku pikir menikah itu enak, ternyata tidak. Pernikahan itu hanya manis diawal saja, selanjutnya hanya luka yang terus-menerus menusuk tiap hari. Adakalanya seorang suami itu baik, tapi itu pas ia menginginkanku saja.
"Udahlah, Bu. Jangan ngomongin soal Elang terus, aku enek." Aku mulai memejamkan mataku, mencoba untuk tidur.
"Jangan tidur dulu, Ze. Kata mama nya Elang, kamu mau gak kalo dijodohin sama Elang," ujar ibuku yang membuatku langsung terbangun dan duduk dengan mata membola.
"Maksud ibu?" tanyaku memekik.
"Ibu tahu perasaan kamu sama Elang masih sama, iya kan." ibuku menaik turunkan kedua alisnya, bibirnya tersenyum memberiku sindiran halus.
"Gak mau!" tolakku yang langsung kembali merebahkan badanku, aku mau tidur miring pun kaki harus dituntun.
Kaki yang mati rasa ini menyadarkanku bahwa aku tak mungkin lagi bisa bersama Elang.
Aku memejamkan mataku mengabaikan ibuku yang ingin aku menyetujui perjodohan mereka, namun kurasa itu tak mungkin karena papa Elang tak merestui hubunganku dengan Elang.
Benar, menikah itu ternyata adalah mulainya penderitaan seorang wanita. Jadi, aku tak ingin mengulang semuanya. Aku buarkan ibuku disampingku sampai akhirnya aku terlelap.
..........
Dalam sebuah mimpi ...
Hari itu sudah siang, namun mas Reza baru bangun ia duduk dikursi makan sembari menyalakan rokoknya, dengan santainya ia membuka ponselnya sambil menghisap rokoknya.
Aku yang baru menyelesaikan cucian, ku dengar anakku menangis, hari yang membuatku merasa berharap dan bodoh sekaligus. Kulihat suamiku masuk kekamar, kupikir ia akan menimang anak kami, jadi aku melanjutkan pekerjaanku untuk menjemur pakaian diluar.
Aku masih mendengar suara Arsya menangis, aku memakluminya karena mas Reza tak bisa merawat anak, itu karena kali pertama kami merawat bayi. Aku menyelesaikan segera rutinitasku, kala suara tangisan itu tak berhenti juga malah kian kencang.
Ketika aku masuk, ku lihat suamiku memainkan poselnya ditempat tadi, bukan menimang bayi kami yang masih berusia sekian bulan. Segera aku berjalan cepat menuju kamar dan kulihat bayiku menangis sesenggukan dengan air mata yang menganak sungai, sungguh hatiku perih melihatnya.
Aku bodoh terlalu berharap bahwa suamiku akan memomong anak kami, faktanya tidak. Ia seolah fokus pada dunianya, sementara kami hanya didiamkan, diabaikan seperti orang asing.
Aku mengendongnya cepat dan Arsya mulai tenang, bayi laki-laki itu kembali tidur setelah diberi asi. Aku melangkahkan kakiku menemui suamiku, aku hanya diam melihatnya yang masih memainkan benda pipih ditangannya.
Aku diam dan tak mengatakan apapun, aku hanya berharap ia akan berubah dengan perlahan. Namun aku salah, semua justru terulang lagi ...
Saat dimana aku hendak memasak, aku ingin menitipkan Arsya pada suamiku yang masih sibuk dengan ponselnya. Disaat langit sudah terang itu, kalimat menyakitkan dari mulut pria berstatus suamiku akhirnya keluar.
"Mas, titip Arsya aku mau masak. Dia lagi anteng, kok. Aku takut, nanti ia kena cipratan minyak," pintaku padanya, sembari melepaskan pengait kain untuk menggendong.
"Kamu urus ajalah sendiri, aku lagi sibuk," ucapnya menjawabku dengan sedikit malas.
Ia duduk dikursi yang biasa ia duduki ketika makan, tentunya sembari merokok.
"Aku mau masak, mas. Ini sudah siang," ucapku memelas, berharap ia memahami ku dan menerima permintaanku.
"Zea, aku lagi sibuk. Lagi pula itu tugas istri bukan tugas suami, tugasku hanya mencari nafkah, bukan momong bayi," ujarnya.
Nadanya memang halus, tapi kalimatnya sangat menusuk jantungku. Seketika aku merasakan sakit yang dalam, itu memang tugas wanita, tapi ...
"Arsya kan, anak kamu juga. Aku gak hamil sendirian, aku melahirkan anak agar kamu punya gelar Ayah." ucapku berusaha membela diri.
"Kamu kan, lagi cuti. Apa salahnya sesekali menggantikan aku merawat Arsya?" lagi aku memintanya menggendong anak kami.
"Itu kodrat seorang wanita, sudahlah gak usah lemah. Para ibu kita juga seperti kamu dulu, tugas suami hanya mencari nafkah titik," ujarnya merendahkanku.
Aku diam tak lagi berbicara, jantungku berdebar kencang mendengar kata yang nyelekit itu, sebegitu tak pedulinya ia pada kami. Kupikir itu hal yang biasa, bukankah katanya benar bahwa merawat anak adalah tugas seorang istri.
"Satu lagi, kamu dandan lah. jangan kusam begitu, jelek banget," ucapnya lagi, menghinaku.
Deg
Aku merasakan sayap-sayap cinta yang kurajut untuknya seketika patah, semuanya serasa sia-sia. kata-katanya sangat menyakitkan walau dengan nada lembut. Aku akhirnya memutuskan untuk tak masak dan menidurkan anakku sebelum meneruskan aktivitas memasak dan melangkah menuju kamar tidur.
Kulihat meja riasku ada bedakku yang hampir habis, lipstikku bahkan sudah tak tersisa. Parfum sudah tinggal wadah kosongnya, aku tak ingat kapan terakhir kali aku bersolek.
Pada cermin yang menempel dilemari pakaian, aku melihat pantulan diriku, tubuhku sedikit gemukan dan wajahku sangat kusam, Bidan bilang itu efek KB suntik. Saat itulah, aku mulai berpikir bahwa menikah itu ternyata tak seperti dalam dongeng sorang putri dan pangeran yang menikah dan hidup bahagia.
Faktanya, semua berubah setelah menikah dan pernikahan itu adalah awal mula penderitaan seorang wanita.
...
Aku terbangun dengan nafas ngos-ngosan, bisa-bisanya aku bermimpi tentang masa lalu, masa dimana aku mulai menyadari suatu hal tentang pernikahan juga tentang sifat buruk mantanku.
Aku bangun kesiangan kulihat matahari sudah menyilaukan sinarnya, badanku mengesot menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku harus mandiri dan tak boleh terus-terusan merepotkan ibuku, beliau sudah lelah mencari uang dengan menjahit pakaian milik pelanggan.
Saat aku keluar dari kamar, kudengar ada mamanya Elang diruang tamu. Aku baru tahu bu Dibjo hampir setiap hari berkunjung kerumah kami. Tapi, hari ini sangat berbeda. Ia terdengar menyedihkan.
"Aku gak tahu, Ni. Aku bertemu dengan dokter yang merawat cucuku kemarin, katanya ... Ada kemungkinan anak Elang tertukar," papar tante Dibjo dengan nafas tersenggal.
Aku menajamkan telingaku, lalu menutup mulutku. Tertukar ...
dia diancam apa sehingga seorng Reza akhirnya menalak Zea disaat sedang koma??