Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Small Move Askara - Rania....
Layar ponsel Rania tiba - tiba bergetar pelan di kursi penumpang. Ia baru saja memarkir mobil di halaman proyek ketika notifikasi grup WhatsApp proyek masuk.
“Seluruh supervisor diminta hadir rapat evaluasi proyek di kantor pusat jam sepuluh. Direksi lengkap hadir.”
Pesan itu membuat jantung Rania seperti memukul - mukul dada. Kantor pusat. Direksi lengkap. Itu berarti ia akan bertemu Askara.
Rania menarik napas, tidak membantu. Hatinya terlanjur tidak karuan. Ada rasa bahagia yang menyelinap, seperti bara kecil yang menyala diam-diam di tengah reruntuhan hatinya. Ingatan semalam tentang tangan Askara, tentang ciuman yang hampir saja tak bisa mereka hentikan... kembali membakar pipinya.
Jam menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Rania memutuskan untuk langsung berangkat ke kantor pusat, menyiapkan mentalnya.
Ruang rapat lantai dua kantor pusat Atmadja Holdings terasa dingin. Pendingin ruangan berembus pelan, bercampur bau kopi yang baru diseduh. Para supervisor sudah duduk dengan rapi, map laporan di hadapan masing-masing.
Rania duduk di barisan tengah. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya ada entah di mana.
“Bu Rania, ibu kelihatan pucat,” bisik salah satu rekan kerja di sebelahnya.
"Saya baik - baik saja,” jawab Rania pendek, matanya tak lepas dari pintu rapat.
“Pak Askara sudah berangkat?” suara supervisor paling senior terdengar tegang.
“Dalam perjalanan,” jawab staf sekretariat sambil memeriksa ponsel.
Semua orang seperti menahan napas.
Lima menit kemudian, suara ketukan sepatu terdengar dari lorong. Makin lama makin dekat.
Begitu pintu dibuka, aroma parfum lembut dan dingin memenuhi ruangan.
“Selamat pagi,” suara itu datar tapi tegas.
Refleks semua orang berdiri. Kursi berderit bersamaan.
Askara masuk dengan langkah tenang. Jas abu tua membalut tubuh tingginya, kemeja putih bersih menyala kontras dengan kulitnya yang juga putih bersih. Wajahnya tenang, tanpa senyum. Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti sepersekian detik di mata Rania.
“Silakan duduk,” katanya pelan.
Rapat dimulai.
Direksi senior membuka. “Kita mulai dari laporan progres proyek minggu ini.”
Supervisor lapangan berdiri. “Untuk pengecoran, jadwal sesuai rencana, Pak. Cuaca sempat menghambat, tapi...”
“Uji kualitas beton?” potong Askara, tanpa mengangkat kepalanya dari berkas.
“Sudah kami lakukan. Hasil slump test sesuai standar.”
“Hasil tes core?”
“Negatif retak, Pak.”
Askara mengangguk. Lalu menoleh ke sisi lain meja.
“Bagian administrasi proyek?”
Rania yang ditanya. Ia menegakkan tubuh, tangan sedikit gemetar.
“Ya, Pak. Laporan tertulis ada di map. Semua dokumen sudah diverifikasi. Ada beberapa vendor yang butuh klarifikasi, sudah saya catat di halaman terakhir.”
“Bacakan.”
Ruangan hening. Semua menoleh.
Rania membuka map, menarik napas.
“Poin pertama, dokumen pembayaran vendor Anindya Karya, ada selisih waktu penagihan…”
Suaranya sempat bergetar.
Askara menatap lurus. “Jangan terburu-buru. pelan saja,” katanya datar.
Rania mengulang pelan, berusaha stabil.
Supervisor lain menyela, “Untuk itu, kami juga sudah...”
Askara mengangkat tangan, menghentikan. “Nanti. Saya mau dengar catatan dia dulu.”
Rania melanjutkan satu per satu. Ketika selesai, ia menutup map.
Askara bertanya lagi, “Semuanya sudah kamu pastikan benar?”
“Sudah, Pak.”
“Bagus. Tolong finalkan laporan ini hari ini.” Ia berhenti sebentar, matanya menatap Rania lebih lama dari biasanya. “Dan… jangan lupa makan.”
Beberapa orang menoleh heran. Ada yang tersenyum tipis, mengira itu sindiran umum. Maklumlah.. waktu Rania pingsan, hebohnya sampai kantor pusat.
Wajah Rania panas. Ia cepat-cepat menunduk.
Rapat berlanjut. Bahasan teknis, angka-angka. Sesekali Askara bertanya cepat:
“Jumlah pekerja harian?”
“367, Pak.”
“Material sudah dipesan?”
“Sudah, tiba besok pagi.”
“Vendor alat berat?”
“Dalam proses negosiasi.”
Tiap kali seseorang menjawab, suasana seperti ujian.
Sementara Rania lebih banyak diam. Pandangannya ke meja, tapi telinganya menangkap setiap suara.
Menjelang akhir rapat, Askara menutup mapnya.
“Rapat cukup sampai disini. Sampaikan pada semua orang, saya butuh hasil, bukan alasan.”
“Baik, Pak,” jawab semua orang, nyaris kompak.
Suara kursi berderit kembali terdengar saat Askara bangkit dan meninggalkan ruang rapat. Ruangan yang tadi tegang itu kembali beroksigen... ada yang mengelap keringat, ada yang minum banyak - banyak, ada yang sibuk menghidupkan ponsel, ada yang kini bisa tertawa lepas setelah tadi serasa di cekik.
Begitu rapat selesai, Rania sudah bersiap kembali ke proyek. Tapi tiba-tiba sekretaris direksi masuk, menyampaikan agenda tambahan.
“Bapak minta semua supervisor jangan pulang dulu. Ada tur keliling kantor pusat, mengingat kita jarang sekali kumpul seperti ini,” katanya sambil tersenyum ramah.
Pak Rudi yang duduk di sebelah Rania berbisik, “Wah, ini kesempatan langka. Katanya kantor pusat Atmadja Holdings ini seperti hotel bintang lima.”
“Iya Pak.” Jawab Rania singkat, senyumnya terbit tapi hatinya entah kemana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana kantor pusat Atmadja Holdings siang itu terasa berbeda.
Para supervisor proyek, yang biasanya jarang sekali menginjakkan kaki di gedung pusat, dikumpulkan setelah rapat untuk satu agenda tambahan, tur keliling kantor.
Seorang sekretaris senior memimpin rombongan, menjelaskan setiap lantai dengan ramah.
Semua orang berdiri tegap ketika Askara memutuskan ikut berjalan bersama.
Banyak yang saling pandang heran… bos besar ikut tur? Tapi tak ada yang berani bertanya. Mereka hanya berasumsi, mungkin ini bentuk pendekatan dari pemilik perusahaan.
Rania, di barisan tengah, berusaha mengatur napas.
Ia sadar, setiap langkah pria itu… mendekat.
Lantai Arsip,
“Di lantai ini, semua dokumen proyek diarsipkan,” jelas sang sekretaris.
Rania berhenti di dekat rak, membaca tulisan pada pintu.
Hening.
Hanya ada suara langkah sepatu kulit mendekat.
Sebuah suara rendah berbisik di belakang telinganya, membuat bulu kuduknya meremang.
“Pagi ini kamu cantik sekali,” kata Askara pelan, tanpa menoleh sedikit pun.
Rania menelan ludah, tak bisa membalas.
Jari pria itu menyentuh cepat punggung tangannya, seolah tak sengaja.
Lorong Panjang Menuju Perpustakaan,
Rombongan berjalan lagi. Lorongnya panjang, dan agak sepi.
Askara melambat, sengaja membiarkan jarak dengan rombongan di depan.
Tiba-tiba, bisikannya lagi.
“Jangan jauh-jauh dari aku.”
Rania menunduk. Pura-pura memperhatikan lantai, padahal tubuhnya tegang.
Perpustakaan,
“Ini ruang perpustakaan. Banyak referensi teknik dan bisnis di sini,” suara sang sekretaris lagi.
Para supervisor masuk, terpukau melihat interior modern dengan dinding kaca tinggi. Rania berdiri agak menyendiri di pojok. Askara datang mendekat, berdiri di sisinya.
Ia tampak memperhatikan rak buku, tapi tangannya meraih buku di atas kepala Rania, sengaja mendekat.
Jarak mereka terlalu dekat. Aroma parfum kayu hangat menyeruak.
“Kalau begini… aku bisa gila,” gumamnya lirih, hanya untuk Rania.
Jantung Rania berdentum. Sebelum ada yang menyadari, ia sudah mundur selangkah.
Ruang Inovasi... Lorong Sepi,
Menuju ruang inovasi, jalannya menyempit. Semua orang sudah lebih dulu masuk. Rania berjalan paling belakang.
Askara tiba-tiba menarik pergelangan tangannya. Hanya beberapa detik, ia terseret ke sisi lorong yang terlindung partisi. Tanpa bicara, bibir pria itu mendarat cepat di bibir Rania.
Sekejap. Hangat. Dalam. Rania membeku.
“Maaf… aku tidak tahan,” katanya serak, lalu ia kembali melepas, membiarkan Rania kembali bergabung dengan rombongan.
Tak ada yang tahu.
Ruang Kaca... Balkon Smoking Area,
Rombongan sampai di lantai atas. Ada balkon kecil di samping ruangan kaca. Udara segar. Pemandangan kota. Semua supervisor sibuk mengobrol.
Rania berdiri di pinggir, mencoba mengatur napas.
Askara mendekat dari belakang, suaranya pelan, “Makan siang nanti… di ruanganku.”
Rania hanya bisa mengangguk pelan. Senyum tipis melintas di bibir Askara, tapi hanya sebentar.
Hari itu, tidak ada satu pun yang sadar kalau di balik agenda tur formal, ada badai kecil yang terus berputar.
Di antara lorong, rak buku, dan balkon kantor, ada dua hati yang terbakar, menunggu kesempatan berikutnya.
(Bersambung)....