Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panik
Mirza memijat pelipisnya. Ikut pusing melihat Haira yang terus mondar-mandir. Dulu ia bukanlah orang yang peduli dengan sekelilingnya, namun kini Haira seakan mengikatnya dan menyeret ke dalam masalah yang menimpa.
Cinta mengalahkan segalanya. Meruntuhkan hati Mirza yang sekeras batu. Bahkan untuk marah saja ia merasa kesulitan saat berada di dekat wanita itu. Semua amarah terbawa angin jika melihat Haira.
"Masih memikirkan Nada?" cetus nya, membaringkan tubuhnya lagi.
Haira mengangguk dan berkacak pinggang. Otaknya terus berkelana mencari cara yang tepat untuk berbicara dengan gadis itu. Menjelaskan semuanya supaya tidak berlarut.
"Gak usah dipikirin, yang penting sekarang kita bahagia." Seperti biasa, Mirza bernada acuh, dan itu yang membuat Haira tak suka dari sosok suaminya.
"Gak bisa begitu dong, Sayang. Nada itu adikku, kalau bukan aku yang peduli, siapa lagi? Nenek sudah tua, sedangkan Nada belum punya suami."
Menghampiri Mirza yang dari tadi tampak sibuk dengan wajahnya.
"Aku tampan, gak sih?" tanya Mirza mengalihkan pembicaraan. Ia risih jika harus membahas tentang Nada yang masih labil.
''Memangnya kenapa?" Haira balik tanya.
"Kok banyak yang suka?"
Haira berdecak kesal. Sejak kapan suaminya itu menanyakan sesuatu yang sudah terlihat jelas. Bahkan semua orang pun tahu jika ketampanan Mirza di atas rata-rata.
"Aku cantik, nggak?" Haira membalas kenarsisan suaminya. Menaik turunkan alisnya, menggoda.
"Cantik."
Mengucapkan dengan biasa saja, bahkan tanpa ekspresi menyanjung. "Tapi aku yang lebih tampan."
"Hamiz juga tampan. Dia itu baik, tidak pernah membenciku. Sedikitpun tidak pernah menyakitiku. Dan selalu mengerti aku."
Skak
Kedua Tangan Mirza mengepal sempurna mendengar nama yang disebut sang istri. Kepalanya terasa mau pecah jika dibandingkan dengan orang lain. Matanya menyala seakan memendam amarah yang sangat besar.
Meskipun itu benar, tetap saja ia tak terima.
"Apa kamu mencintai dia?" pekik Mirza.
Haira bisa melihat kemarahan di wajah Mirza, bahkan ia menatap kedua tangan sang suami yang masih terkepal.
"Tidak, karena kamu lebih segala-galanya bagiku. Meskipun kejam, tetap saja kamu adalah ayahnya Kemal. Tidak ada orang yang pernah membuatku jatuh cinta selain Tuan Mirza Asil Glora, laki-laki arogan dan tidak berperikemanusiaan."
Ha ha ha
Haira tertawa keras. Sedikitpun tidak takut dengan Mirza yang bisa melakukan apapun padanya. Pada dasarnya, ia yang lebih unggul karena bisa membuat Mirza jatuh cinta lebih dulu. Bahkan sampai saat ini pun hatinya masih ragu untuk menyerahkan hidupnya pada pria itu.
Mirza menarik tubuh Haira dan mendekapnya hingga wanita itu kesulitan bernapas.
"Jangan suka marah, aku tidak akan melirik laki-laki lain, karena kamu sudah sempurna di mataku."
Dada Mirza lega, amarah yang tadi mengendap ikut lenyap.
"Mommy." Suara serak menyapa membelah pelukan Haira dan Mirza. Kemal duduk di tengah-tengah orang tuanya.
"Kamu sudah bangun, Nak?" tanya Mirza.
"Kapan kita pulang, aku mau bertemu dengan kak Fajar dan kak Hasan." Untuk yang ke sepuluh kali Kemal merengek.
"Baiklah, nanti kita pulang."
Ponsel berdering menghentikan tawa keluarga kecil Mirza. Haira beranjak lalu mengambil ponsel milik sang suami. Menatap nama yang berkedip di layar.
"Kak Nita, Sayang."
"Angkat saja!" ucap Mirza.
"Halo, Kak," sapa Haira kembali duduk di samping Mirza mengalihkan ke mode loudspeaker.
Terdengar suara tangis membuat Haira dan Mirza kaget. Mereka saling tatap lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Halo, Kak." Mirza merebut benda pipihnya dari tangan Haira. Memastikan suara yang ada di balik telepon.
"Kalian cepat pulang." Suara Nita juga terputus-putus seperti menahan sesuatu.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Mirza lagi, dadanya bergemuruh, takut terjadi sesuatu pada keluarganya.
"Pokoknya Kalian cepat pulang," imbuh kak Nita lalu mematikan ponselnya.
Mirza turun dari ranjang. Ia menghubungi Erkan, sang sekretaris. Panik melanda membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Sialan, Erkan ke mana sih? Mengumpat dalam hati, takut Kemal mendengar pembicaraan yang kurang pantas.
Tersambung tapi tak diangkat itu lebih menyebalkan daripada nomor tidak aktif.
Kemudian, Mirza menghubungi sahabat laknatnya. Sama seperti Erkan, Aslan pun tak mengangkat telepon darinya.
"Jangan-jangan mereka sekongkol membuatku marah," gerutunya melihat ponselnya.
"Gimana kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan keluarga kita." Haira ikut panik dan memeluk Kemal.
Masalahnya dengan Nada belum terselesaikan, namun harus ada masalah baru lagi yang menerpa mereka.
"Kalau begitu kita pulang sekarang."
Mirza meraih tubuh mungil Lion, satu tangannya menggandeng Haira lalu keluar.
"Nenek," teriak Haira dengan suara lantang.
Tak ada sahutan, rumah sangat sepi, bahkan tak ada tanda-tanda orang di sana.
Haira mengetuk pintu kamar Nada berkali-kali. Tidak ada jawaban yang membuatnya harus berlari ke kamar nenek.
Sama seperti Nada, nenek pun tak menyahut panggilan Haira yang terdengar nyaring.
Mereka di mana sih? tanya Haira dalam hati. Mengedarkan pandangannya ke setiap ruangan kosong.
Saking gugupnya Haira tersandung kaki meja dapur. Untung saja tangan Mirza mengulur tepat waktu hingga Haira tak jadi jatuh.
"Mungkin nenek ke pasar, dan Nada bekerja," ucap Haira setelah melihat jam yang menggantung di dinding ruang tamu.
"Kita pulang sekarang. Nanti biar aku yang telepon nenek."
Haira mengikuti langkah lebar Mirza yang ada di depannya.
Mungkin sang sopir juga sudah mendapat kabar tentang apa yang terjadi di rumah, hingga pria yang berseragam hitam itu sudah menyiapkan mobil.
Mirza langsung masuk tanpa bertanya. Hatinya gelisah, takut jika musibah terjadi menimpa keluarganya.
"Cepat sedikit!" titah Mirza pada sang sopir.
"Aku takut," ucap Haira menyandarkan kepalanya di pundak Mirza.
" Jangan takut, ada aku."
Mobil melaju dengan begitu tenang membelah jalanan yang padat. Mirza terus menatap ke depan berharap cepat tiba di rumah besar, sedangkan Haira terus berdoa, berharap semua baik-baik saja.
Tak sesuai ekspektasinya yang akan lancar. Ternyata jalanan macet hingga beberapa kali Mirza memukul belakang jok.
Terus mengumpat dalam hati. Entah kenapa, hatinya semakin gelisah mengingat semua keluarganya.
Tepat sembilan jam, akhirnya mobil Mirza memasuki kota Istanbul. Meskipun belum tiba di rumahnya, ia bisa lebih tenang. Mengernyitkan dahi saat laju mobil bukan ke arah rumah besar. Seolah-olah sang sopir itu tak salah jalan.
"Jangan bermain-main denganku," ucap Mirza menyindir.
Sang sopir tersenyum. "Tenang saja Tuan, saya tidak salah jalan."
Bukankah ini jalan menuju hotel, sebenarnya apa yang terjadi sih? Kalaupun ada yang sakit, kenapa bukan ke rumah sakit.
Benar saja, mobil berhenti di depan hotel milik keluarga. Jika dilihat dari depan, tidak ada yang aneh, tempat itu sangat ramai. Seperti biasa, tamu keluar masuk memadati bangunan itu. Namun ada sebuah kejanggalan yang membuat Mirza curiga.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣