Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH EMPAT : MENJAUH, MENDEKAT
Gita yang sudah berhenti menangis, langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Tak ada niat untuk memberikan jawaban, apalagi sampai menemui Mandala. Saat ini, dia hanya ingin sendiri.
“Pergilah, Mas. Jangan memaksakan kehendak,” pinta Ratih pelan.
“Aku hanya ingin bicara sebentar.”
“Jangan sekarang. Beri Gita waktu untuk menenangkan diri terlebih dulu,” saran Ratih.
Mandala terdiam mempertimbangkan ucapan Ratih. Memang benar dirinya tak bisa memaksakan kehendak karena tak akan membuat situasi jadi lebih baik.
Dengan terpaksa, Mandala memilih pergi dari sana. Dia berlalu membawa penyesalan. Pria tampan berambut gondrong sebahu itu kembali merutuki diri karena telah dikalahkan oleh amarah tanpa arah.
Kerlap-kerlip lampu kendaraan terlihat sangat indah di malam hari. Mereka bagai ribuan kunang-kunang berukuran besar, yang membuat kegelapan malam sedikit tersamarkan.
Malam itu, Mandala tidak langsung pulang ke bedeng. Dia tak peduli meskipun belum minum obat dan mengganti perban. Bekas luka tusuk di pundak tidak sebanding dengan apa yang terjadi saat ini.
Mengapa kali ini Mandala begitu merasa bersalah kepada Gita? Apakah karena gadis itu menolak bertemu dengannya sehingga membuat Mandala takut kehilangan?
Embusan napas berat bernada keluhan meluncur dari bibir Mandala, yang duduk termenung seorang diri di bangku kayu pinggir jalan. Padahal, dia berusaha menjauhkan diri dari urusan perasaan terhadap lawan jenis. Akan tetapi, Tuhan justru menuntunnya kepada Gita.
“Ah! Sial!” gerutu Mandala pelan, seraya mencondongkan tubuh ke depan. Tak dipedulikannya rasa tak nyaman di pundak. Mandala menopang kepala yang terasa begitu berat karena dipenuhi beban pikiran tak menentu.
......................
Pagi ini, matahari bersinar hangat. Mandala membuka mata dengan perasaan tak biasa. Dia sadar harus melanjutkan segalanya. Namun, dia harus terlebih dulu memperbaiki kekacauan, agar tidak meninggalkan kesan buruk. Selain itu, Mandala juga ingin lebih tenang menjalani hidup.
Setelah beberapa hari berlalu, kondisi Mandala mulai membaik. Dia harus berterima kasih kepada Arun, yang senantiasa membantunya menjalani pemulihan hingga benar-benar siap kembali ke arena berdebu.
“Perkenalkan. Saya Zulkifli, mandor pengganti Pak Rais. Saya dengar, kamu adalah wakil mandor dan baru bisa kembali bekerja karena mengalami cedera.”
Zulkifli, pria berperawakan pendek dan agak gemuk dengan kumis cukup tebal. Dia menyalami Mandala yang baru ditemuinya hari itu.
Mandala mengangguk. “Anda bisa memilih orang lain untuk dijadikan wakil. Aku belum bisa bekerja dengan baik.”
“Begitukah?”
Mandala kembali mengangguk, kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling. Dilihatnya beberapa pekerja yang tengah sibuk dengan tugas masing-masing.
“Herman. Dia sudah berpengalaman,” ucap Mandala kemudian.
“Herman?” ulang Zulkifli, lalu manggut-manggut. “Baiklah. Akan saya pertimbangkan. Terima kasih.”
Mandala tersenyum kecil, sebelum berlalu dari hadapan Zulkifli.
Ya, itu lebih baik. Tak ada beban serta tanggung jawab apa pun dalam situasi pikirannya yang sedang tak keruan. Mandala hanya akan melakukan sesuatu, yang membuatnya tidak harus 'menampakkan' diri di depan semua orang. Menjadi tak terlihat merupakan pilihan tepat.
“Sepertinya, aku akan pergi, Run,” ucap Mandala, ketika tengah berbincang sambil merokok berdua dengan Arun.
“Pergi? Maksud kamu?” Arun menatap tak mengerti.
“Mencari dunia baru,” ucap Mandala, setelah mengisap dalam-dalam rokoknya yang tinggal setengah.
“Dunia baru?” Arun tersenyum sangsi. “Tidak ada yang namanya dunia baru. Semua sama saja, Man.”
Mandala tidak menanggapi. Pikirannya melayang jauh, menembus batas penglihatan panca indera. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Entah berapa lama dirinya tidak bertemu dan menyapa Gita. Gadis itu bagai disembunyikan oleh kabut tebal.
Namun, ada dorongan kuat dalam diri Mandala untuk menemui Gita. Pasalnya, dia masih berutang permintaan maaf, meskipun tahu bahwa itu sia-sia.
Mandala sudah beberapa kali mengulangi hal serupa, dari semenjak mengenal gadis berparas rupawan tersebut. Menyakiti, lalu meminta maaf. Selalu begitu.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Man?” tanya Arun, membuyarkan lamunan Mandala.
“Sesuatu yang besar,” jawab Mandala, seraya berdiri. Tanpa memberikan penjelasan secara detail, dia berlalu begitu saja.
Mandala melangkah penuh percaya diri. Keyakinan, keteguhan, serta kekuatan kembali hadir. Ketiga hal yang ditanamkan Subagyo sejak dulu dan membekas hingga saat ini, meskipun ternodai oleh ketidakmampuannya dalam mengelola emosi. Sayangnya, hanya sedikit yang tahu kenapa Mandala bisa seperti itu.
Langkah tegap Mandala berhenti di depan sebuah tempat dengan plang bertuliskan 'Asgar'. Tanpa ragu, dia masuk ke sana.
Lain Mandala, lain Gita. Berkat paras cantiknya, dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, meski bukan sebagai pegawai kantoran.
Gita mulai menumbuhkan rasa percaya diri. Dia meyakinkan hati dan berusaha menutup segala pikiran buruk, bahwa tidak semua orang mengetahui siapa dirinya di masa lalu.
Berbekal ijazah SMA, Gita mendapat pekerjaan sebagai kasir di salah satu mini market. Setiap hari, dia selalu sibuk. Itu bisa jadi obat penyembuh dari luka, yang ditorehkan Mandala beberapa waktu ke belakang.
Ya. Kesibukan dan bertemu dengan banyak orang. Gita selalu menemukan hal baru dalam aktivitas sama setiap harinya. Terasa melelahkan, tapi menyenangkan. Meskipun penghasilannya tidak sebesar dulu, tapi jauh lebih memuaskan.
“Terima kasih,” ucap Gita hangat, diiringi senyum manis. Itu merupakan kata pamungkas, setiap kali selesai melayani pembeli.
Tak berselang lama, di hadapan Gita sudah tersedia dua botol kopi kemasan. Dia yang tengah merapikan uang di dalam tempat khusus, tak sempat melihat pembeli yang berdiri di hadapannya.
“Ada yang lain, Mas?” tanya Gita, seraya mengarahkan perhatian sepenuhnya ke depan. Gadis cantik itu langsung terpaku. Dia tak bertanya lagi atau sekadar berbasa-basi. Diambilnya kedua barang tadi untuk discan.
“Semua jadi 15 ribu.”
“Kapan kamu selesai?” tanya seseorang di depan Gita, yang tak lain adalah Mandala.
“Sebentar lagi akan pergantian shift,” jawab Gita seperlunya.
“Tepatnya?”
“15 menit.”
Mandala mengangguk. “Baiklah. Kutunggu di luar.”
Tanpa basa-basi lagi, Mandala meraih dua botol kopi kemasan yang sudah dibayar. Dia berlalu dari hadapan Gita, lalu duduk di meja yang ada di depan mini market.
“Siapa, Mbak?” tanya salah seorang pegawai, yang tak sengaja mendengar perbincangan singkat antara Gita dengan Mandala.
“Teman,” jawab Gita singkat, dengan diiringi senyuman.
Lima belas menit menit telah berlalu. Sebelum keluar, Gita mengintip terlebih dulu dari pintu kaca. Dia melihat Mandala masih menunggu di luar.
Tak ada pilihan, Gita memaksakan diri keluar. Padahal, dia sudah bertekad menjauh dan melupakan segala hal tentang Mandala. Namun, pria itu justru muncul kembali di hadapannya.
Melihat Gita sudah keluar, Mandala langsung berdiri. Diberikannya sebotol kopi kemasan yang tadi dibeli.
“Terima kasih,” ucap Gita.
“Aku ingin bicara denganmu sebentar saja.”