Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Tidak Rela
Tapi Gama menganggapnya berbeda. Seperti ada rasa getir ketika dia mendengarnya. "Memangnya dulu kamu gemuk?" tanyanya seolah tidak sadar pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Arin yang mendengar pertanyaan itu pun seolah tidak sadar dengan apa yang tadi dia katakan. Dia menatap Gama lalu berkata, "Ya, aku sangat gemuk sampai menjadi bahan bully teman-teman sekolahku."
Gama tidak merespon, tapi ekor matanya melirik ke pergelangan tangan Arin.
'Mungkinkah karena itu?' batin Gama.
"Sayang, kamu mau makan apa?" Suara manja Tania memecah keheningan antara Gama dan Arin. Kemudian dia menoleh pada Arin. "Rin, kamu mau pesan apa?"
"Ya, terserah kamu saja," jawab Gama asal.
"Aku tidak tahu menu favorit di restoran ini. Jadi kamu pesankan saja. Terserah, apapun yang menurutmu enak," jawab Arin dengan nada biasa.
"Oke," jawab Tania cepat, lalu perempuan itu memanggil pelayan untuk memesan makanan.
"Arin ini dulu sempat menjadi korban bully di sekolah. Aku sampai kasihan melihatnya.Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya karena kami tidak satu kelas. Benar kan, Rin?" tutur Tania setelah dia selesai memesan makanan.
Arin mengangguk, hampir tertawa melihat akting Tania.
"Benar sekali," ucap Arin. Sepupunya itu memang paling pintar memainkan karakter lemah lembut dan tak berdaya.
"Jadi bagaimana kamu bisa menjadi langsing?"
"Oh... Aku diet ketat," jawab Arin asal.
"Berapa berat badanmu sekarang? Atau kamu turun berapa kilo dari berat badanmu yang dulu?"
"Aku tidak tahu dan tidak begitu peduli. Yang penting sehat itu saja sudah cukup bagiku."
Arin tidak mau menceritakan bagaimana dia kehilangan berat badannya secara drastis. Tubuh langsing itu tidak didapat karena melakukan diet apalagi operasi plastik, tidak sama sekali.
Waktu itu Arin sudah pindah ke luar kota jadi Tania tidak mengetahuinya.
"Sejak kecil cita-citaku memang menjadi seorang model. Aku sudah dibiasakan mengatur pola makan jadi berat badanku selalu terkontrol," terang Tania tanpa diminta.
"Cita-citaku menjadi seorang dokter. Tapi karena suatu kesalahan aku tidak bisa mewujudkannya," timpal Arin melirik Tania.
"Makanannya sudah datang," seru Tania, membuat Arin tidak melanjutkan ceritanya mengenai cita-citanya yang gagal terwujud karena ulah Tania.
"Selamat makan," ucap Tania lalu mulai makan, diikuti Gama. Laki-laki itu terus diam, tidak banyak bicara.
Arin pun mulai menyantap hidangan yang sudah tersaji di hadapannya.
"Mmm... Ini enak sekali. Sayang... cobalah." Gama menawarkan steak yang dia makan.
"Tidak sayang, bukankah itu mengandung lemak? Kamu tahu aku tidak boleh makan makanan yang berlemak," tolak Tania manja. Dia hanya makan semangkuk sup krim kentang untuk mengisi perutnya.
"Cobalah, sedikit saja," paksa Gama. Tania pun menurut lalu membuka mulutnya. Kemudian Gama menyuapkan potongan kecil daging steak ke mulut Tania.
"Bagaimana?"
"Enak, benar katamu. Aku belum pernah mencoba steak di restoran ini," ucap Tania sambil manggut-manggut menikmati makanan di mulutnya.
Pemandangan ini sungguh memuakkan bagi Arin. Tania seperti berusaha menunjukkan kalau hubungan mereka baik-baik saja. Sementara Gama seperti sedang berusaha menunjukkan kalau dia begitu mencintai Tania dan Arin tidak akan bisa masuk dalam hidupnya.
"Kalian mesra sekali," ucap Arin, menyembunyikan rasa muaknya. Salah jika mereka berpikir telah berhasil membuat Arin kepanasan. Arin sama sekali tidak merasa cemburu melihat kemesraan mereka.
"Rin?" Tiba-tiba seseorang memanggil Arin dari belakang. Arin menoleh dan melihat Ken berdiri di belakangnya.
"Ken? Tiba-tiba sekali kita bertemu di sini," ucap Arin dengan wajah pura-pura terkejut.
Tadi sebelum masuk ke restoran, Arin sengaja menyuruh Tania dan Gama duluan dengan alasan ingin membalas pesan dari sekretarisnya. Padahal sebenarnya dia mengirim lokasinya pada Ken.
"Aku baru saja meeting dengan klienku di gedung sebelah." Ken menunjuk bangunan empat lantai tepat di samping restoran. "Sekarang aku baru mau makan siang," lanjutnya, langsung bisa mengikuti drama yang Arin buat.
"Oh... kebetulan kami juga baru makan siang. Apa boleh Ken bergabung?" tanya Arin tanpa basa basi.
Gama tidak menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya, sementara Tania terlihat salah tingkah.
"Bagaimana Tania, apa boleh kalau Ken bergabung dengan kita? Diantara kalian sudah tidak ada apa-apa, seharusnya sih, tidak masalah."
Tania tidak menjawab, dia menatap mata Gama meminta persetujuan.
"Gama apa kamu cemburu jika Ken bergabung dengan kita?" Arin beralih ke Gama.
"Maaf, aku tidak mau mengganggu acara kalian, jadi aku akan pesan meja sendiri saja," kata Ken.
"Tidak, sama sekali tidak mengganggu. Silahkan duduk," ucap Gama pada akhirnya. Dia tidak mau terlihat pengecut hanya karena tidak mau satu meja dengan mantan kekasih Tania.
Ken langsung duduk di sebelah kiri Arin, yang berarti dia berhadapan dengan Tania. Tanpa aba-aba Ken langsung meraih tangan Arin lalu melihatnya.
"Tanganmu sudah sembuh?" tanya Ken sambil mengusap punggung tangan Arin yang kini cuma terlihat bekas kulit mengelupas.
Arin mengangguk. "Iya, berkat salep dari kamu. Terima kasih," jawabnya berusaha bersikap biasa agar Tania dan Ken tidak curiga.
"Kalau sekiranya tinggal di rumah itu membahayakan nyawamu, lebih baik kamu pindah," ucap Ken tanpa melepaskan tangan Arin.
"Dia tinggal di rumahku, Ken. Apa maksudmu tinggal di rumahku membahayakan nyawanya? Maksudmu rumahku tidak aman?!" protes Tania tidak terima.
Ken mengingat bahunya. "Kamu yang lebih tahu, Tan. Seseorang jelas menuang air panas ke atas tangan Arin hingga melepuh. Apa itu masih bisa dibilang aman?"
"Sebelumnya juga ada yang mengguyur Arin dengan satu ember air hingga laptopnya rusak. Itu termasuk tindak pidana penganiayaan ringan dan bisa dilaporkan," terang Ken. Tania menciut.
Sementara Gama melirik Tania dan memperhatikan ekspresi wajahnya, kemudian memperhatikan Arin. Dia mulai berpikir jika perkara laptop itu benar adanya.
Ken membalik tangan Arin dan kini terlihatlah bekas luka sayatan di pergelangan tangannya. Ken mengusap bekas luka itu lembut, Arin terlihat menikmatinya.
Dan entah kenapa Gama sangat tidak menyukainya. Seharusnya dia yang mengusap bekas luka itu sambil mendengarkan Arin bercerita bagaimana dia bisa mendapatkan bekas luka itu.
"Aku sudah mengganti kunci pintu di rumah lamamu. Sekarang kamu aman kalau mau tidur di sana lagi. Tidak akan ada yang bisa masuk. Atau mau direnovasi sekalian?"
"Tidak, tidak perlu. Rumah itu adalah tempat ternyamanku dan aku akn membiarkannya seperti itu. Kamu tahu aku tidak begitu tertarik dengan kemewahan," jawab Arin.
Tiba-tiba saja tangan Ken mengusap kepala Arin. "Kamu tidak pernah berubah, Rin," ucapnya sambil menatap Arin penuh kekaguman. Gadis di depannya ini tidak pernah berubah. Meski dia bisa membeli segalanya, dia tetap hidup apa adanya.
Di seberang meja, Gama terlihat tegang. Rahangnya mengeras melihat Ken bisa leluasa mengelus kepala Arin. Gama merasa tidak rela.
Ingin sekali dia menyambar tangan laki-laki lalu mematahkannya kemudian berkata, "Singkirkan tanganmu dari dia!" tapi Gama tidak bisa melakukannya.
jdi greget sendri aq kak ,boleh tak aq pukul ,aq tau nimpuk pakai sandalll🤣🤣🤣