London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 34
'Aku harus pergi.'
Sebuah keinginan yang otomatis bergolak dalam benak Tara, memberikan dorongan kuat untuk segera enyah dari ruangan tersebut.
Tanpa berpikir-pikir lagi, Tara pun bergegas bangkit dan melangkah menuju pintu dengan setengah berlari. Bahkan, ia sampai mengabaikan Orion yang sebenarnya sudah ikut bangkit.
"Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah kalian belum memesan makanan? Atau ... aku aja yang memesankan? Ada pastry enak loh di sini."
Tara melangkah mundur dengan perasaan yang kian tak menentu. Yang bicara barusan, tak lain dan tak bukan adalah Olliver, lelaki yang beberapa jam lalu foto prewedding bersamanya.
Tanpa dijelaskan pun Tara sudah paham sekarang, siapa pemilik nomor yang mengirim pesan padanya dan Orion. Pasti Olliver-lah pelakunya. Entah apa maksud dan tujuan lelaki itu, yang jelas Tara merasa bahwa dirinya sudah masuk perangkap.
"Apa maksudmu melakukan ini, Olliver?" tanya Tara dengan lirih. Kalau saja Olliver tidak menajamkan pendengaran, mungkin suara itu tidak tertangkap dalam telinganya.
Sembari melipat tangan di dada, Olliver memiringkan badan dan bersandar di dinding. Lantas sambil tersenyum, ia berkata, "Hanya ingin meyakinkan pikiranku sendiri kalau kamu itu benar-benar mencintaiku. Tapi, ternyata malah semakin yakin kalau kamu sebenarnya nggak mencintaiku."
Tara tak bisa berkata-kata. Dia hampir kehabisan alasan untuk menyangkal bahwa Olliver sudah tahu perihal dirinya dengan Orion.
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Olliver, kenapa kamu malah melakukan sesuatu yang bisa membuat kita salah paham," sahut Tara.
Namun, Olliver justru tersenyum miring. "Bicara baik-baik? Bicara yang seperti apa, Tara? Bukankah semalam aku udah memberimu kesempatan untuk bicara? Lalu, apa kamu membahas masalah ini? Nggak, kan?"
"Sudah kukatakan, Olliver, apa yang nggak kubahas denganmu adalah sesuatu yang nggak penting. Ini—"
"Nggak penting?" pungkas Olliver. "Kalau Orion nggak penting, kenapa sekarang kamu ada di sini? Kamu nggak ngomong loh sama aku kalau mau ketemuan sama dia."
Tara menata sejenak deru napas dan detak jantungnya. Lantas, kembali menjawab ucapan Olliver dengan suara ia buat setenang mungkin. "Aku ke sini nggak ada maksud apa-apa, cuma penasaran dengan hal penting yang akan dia bahas. Apa itu ada kaitannya dengan hubungan kita atau gimana. Karena jujur ... semalam aku juga ngerasa sikapmu agak aneh."
Olliver tertawa kecil. "Kamu sadar kalau sikapku aneh? Lantas, kenapa nggak nanya langsung ke aku? Kenapa malah mau mencari tahu lewat Orion?"
"Aku—"
"Tara, aku penasaran, sebenarnya semalam kamu nggak mau jujur sama aku, karena dia nggak penting banget atau justru penting banget? Lebih penting dariku gitu?" Untuk kedua kalinya Olliver memotong ucapan Tara.
"Olliver kamu jangan salah paham!" Suara Tara agak meninggi. Bukan karena kesal, melainkan untuk menegaskan bahwa sejauh ini tidak ada keinginan untuk berkhianat.
"Kalau gitu jelaskan, Tara Sayang, kenapa kamu nggak jujur ke aku? Kenapa malah mau menemuinya?"
Tara kembali menarik napas panjang. "Aku takut kamu salah paham dan ngira yang nggak-nggak. Aku takut kamu kecewa karena aku pernah ketemu sama dia di masa lalu. Aku nggak jujur karena aku menjaga perasaanmu."
"Perasaanku atau perasaan dia, Tara?" sahut Olliver sembari menunjuk Orion.
Merasa bahwa dirinya mulai dibawa-dibawa, Orion melangkah maju hingga jarak mereka lebih dekat.
"Di antara aku dengan Tara nggak ada hubungan apa-apa, juga nggak ada perasaan seperti yang kamu bayangkan. Aku ke sini karena pesan darimu yang mengatasnamakan Tara. Sama, aku pun hanya penasaran dengan sesuatu yang katanya penting itu," ujar Orion.
"Kamu sadar nggak, kenapa bisa penasaran? Karena Tara sendiri kamu anggap penting! Sekarang ingat baik-baik, Orion, berapa kali Jenny mengatakan hal serupa? Apa kamu ada niat untuk menemuinya? Nggak, kan!" Olliver menjawab cepat.
"Duduklah! Kita bicarakan ini baik-baik. Kamu harus tenang, jangan emosi seperti ini. Masalah nggak akan selesai kalau nggak dihadapi dengan kepala dingin." Orion kembali bicara, mencoba membujuk Olliver agar mau duduk dan membahas persoalan dengan tenang.
Namun, bukannya menurut, Olliver justru tertawa sumbang, seraya melayangkan tatapan yang memicing. "Dengan kepala dingin, katamu? Orion, Orion, coba hitung sudah berapa hari berlalu sejak kamu tahu kalau Tara adalah Sunny-mu. Selama itu, apa kamu ada niatan untuk ngomong ke aku? Asal kamu tahu, Orion, aku mengetahui semua ini karena nggak sengaja mendengar obrolanmu dengan Papa di ruang baca! Orion, kenapa selama ini kamu diam saja? Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa ke aku?"
"Untuk apa aku ngomong? Kamu dan Tara sudah menjalin hubungan, sudah merencanakan pernikahan. Aku nggak mau mengganggu hubungan kalian, makanya nggak ngomong apa-apa ke kamu. Aku—"
"Omong kosong! Kalau kamu memang nggak niat mengganggu hubungan kami, waktu itu kamu nggak akan menemui Tara. Tapi nyatanya ... kamu tinggal lebih lama di Surabaya karena mendatangi Tara, kan? Kamu mengutarakan perasaanmu ke dia, kan? Sudah cukup kamu bersandiwara, Orion! Cukup menganggapku bodoh! Kamu pikir aku nggak tahu, kemarin pun saat di meja makan, kamu masih sering menatap Tara, kan? Dan Tara sendiri terlihat salah tingkah saat ditatap olehmu. Aku merekam jelas semua itu."
Melihat emosi Olliver yang makin pecah, Tara pun menggenggam lengan Olliver dan berusaha menenangkannya.
"Aku minta maaf atas semuanya. Aku sadar sikapku salah. Tapi, Olliver, kamu salah kalau menganggapku menyimpan perasaan padanya. Aku nggak mencintainya, Olliver. Yang kucintai itu kamu."
Dengan pelan Olliver menepis tangan Tara. Lantas, menatap dalam-dalam sepasang mata wanita yang pernah membuatnya takjub hingga merasakan cinta dalam tatapan pertama.
"Jika kemarin, mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu, Tara. Tapi untuk malam ini, maaf, aku udah nggak percaya lagi. Ini adalah kesempatan yang kesekian kalinya, yang kuberikan ke kamu, dan sayangnya ... semua meleset dari harapan."
"Olliver—"
"Perlu kamu tahu, Tara, dari pertama kali aku menyadari bahwa kamu adalah Sunny yang dicintai Orion, aku udah menyimpan kecewa karena kamu nggak ngomong apa-apa ke aku. Logikaku terus mengingatkan kalau ada yang nggak beres dengan hatimu, tapi perasaanku terus berontak, dengan meyakinkan diri kalau kamu memang sungguh-sungguh mencintaiku. Akan tetapi, setelah kupikir-pikir ... dalam hubungan kita memang ada yang janggal. Saat kita mengobrol, nggak pernah sekali pun kamu menyatakan cinta tanpa kuminta. Dan ... jarang banget kamu manggil aku 'sayang' tanpa kuminta," ucap Olliver dengan panjang lebar. Nada suaranya menurun, tetapi tatapan matanya menyiratkan
kekecewaan yang mendalam.
Di hadapan Olliver, Tara terdiam, tak tahu harus menyahut apa. Sampai kemudian, Olliver lagi yang kembali berucap.
"Karena ada kejanggalan itulah, akhirnya aku mencoba mencari jawaban darimu, sebagai dasar keyakinanku kalau kamu memang mencintaiku. Tara, aku menunda prewed kita bukan karena pekerjaan, tapi karena aku ingin mendengar kamu mengeluh atau membujukku untuk nggak menunda agenda itu. Tapi, ternyata kamu oke-oke aja. Padahal, katanya orang benar-benar punya cinta nggak akan bisa tenang kalau pasangan terkesan mengentengkan persiapan-persiapan pernikahan yang udah direncanakan."
"Aku hanya nggak mau menuntut kamu. Karena aku tahu kamu juga ada bisnis yang harus di-handle."
"Kedua ... aku membawa Jenny ke bandara saat menjemputmu. Aku berharap kamu cemburu dan merasa kesal. Tapi ternyata, kamu malah ngobrol asyik dengan Jenny. Padahal, cinta dan cemburu itu adalah dua hal yang akan selalu berkaitan."
"Aku nggak cemburu karena percaya dia temanmu."
"Ketiga ... semalam, saat aku memberimu kesempatan untuk bicara. Setelah melihatmu sering salah tingkah dengan Orion, terus terang aku sangat mengharap kejujuranmu. Tapi, lagi-lagi meleset. Sedikit pun kamu nggak mengungkit masalah Orion."
"Aku minta maaf." Tara berucap lirih.
"Dari keraguan-keraguan itu, akhirnya aku berinisiatif mengirimimu pesan dengan mengatasnamakan Orion. Tujuanku satu, untuk mematahkan logika yang semakin kencang berteriak, mengatakan kalau kamu nggak mencintaiku. Tara, andai hari ini kamu nggak datang ke sini, keraguan-keraguan yang kemarin nggak akan kuingat lagi. Aku akan sepenuhnya percaya kalau kamu memang mencintaiku. Tapi, kenyataannya kamu datang tanpa memberitahuku. Tara, sekarang aku nggak punya alasan lagi untuk percaya kalau kamu mencintaiku," sahut Olliver. Ia tetap pada ucapannya sendiri, tanpa menghiraukan permintaan maaf dari Tara.
Bersambung...
Dan Tara prilaku mu mencerminkan hati yng sdng galau , kenapa juga harus mengingkari hati yng sebenarnya Tara
Orion kalau kamu benar cinta ke Tara terus lah perjuangkan.
lanjut thor 🙏