Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Melati menatap Dewi dengan mata yang berkilat penuh perhitungan, wajahnya yang biasanya lembut kini menyiratkan niat tersembunyi. Nafasnya dihembuskan panjang, seakan menahan sesuatu yang berat di dada, namun sorot tajam di matanya menunjukkan tekad yang bulat. Dengan suara pelan tapi penuh arti, ia berkata, "Gimana kalau kita menempuh jalan damai?" Kalimat itu keluar seperti sebuah jebakan halus, memancing Dewi untuk terperangkap dalam rencananya.
Dewi yang sejak awal tampak tenang, menyunggingkan senyum penuh kemenangan, mata kecilnya bersinar licik. "Berarti kamu rela dimadu?" tantangnya, menantang tanpa rasa malu sedikitpun karena telah berusaha mengambil dengan paksa suami wanita lain.
Revan yang awalnya tampak biasa saja, tiba-tiba menatap keduanya dengan ekspresi terbelalak, seolah barang yang diperebutkan sedang diposisikan di tengah mereka, dua wanita yang saling bernegosiasi dengan tatapan penuh ambisi dan manipulasi.
Revan menatap istrinya dengan tatapan penuh teka-teki.
"Jangan gila kamu sayang, aku nggak mau menikahinya!" kekehnya terdengar keras.
Namun Melati dengan santai membalas, "Yang bilang kamu menikahinya siapa, Mas?" Suasana tegang itu seakan membeku, menunggu keputusan besar yang akan menentukan nasib mereka bertiga.
"Trus apa maumu?" Tantang Dewi.
"Bukan hanya kamu dan anak kamu saja yang akan kami jamin kehidupannya, kedua orang tuamu maupun mertua kamu akan kami jamin, asal kamu tak memperkarakan masalah ini ke ranah hukum."
Dewi tersenyum sinis. "Seluruh harta kalian diserahkan semua padaku pun tak akan mampu mengembalikan maupun menukar nyawa suamiku, aku nggak mau semua itu, kehidupan kami nggak kekurangan kok. Ya walau tidak sekaya kalian, tapi lebih dari cukup walau dihasilkan dari kebun sayur di tanah perkebunan kami. "
Dewi menatap Revan penuh damba, agaknya perempuan itu begitu tergila-gila pada sosok Revan.
"Aku mau suamimu menggantikan tugas suamiku itu saja atau suamimu mendekam di penjara!" Ucap Dewi pelan akan tetapi menusuk.
"Sayang, aku memilih di penjara."
Sedangkan Sandra yang sejak tadi diam menyimak obrolan mereka, bibirnya sudah gatal ingin meremas mulut Dewi yang terlalu berani itu.
"Dewi, kamu sadar yang baru saja kamu katakan? Suamimu di surga sana pasti sedih melihat istrinya seperti itu, meminta suami wanita lain. Dan saya pun nggak sudi punya menantu culas, licik dan manipulatif seperti kamu!"
Sandra menoleh pada Abah yang tertunduk. "Maafkan saya Abah, kalau saya sedikit berkata kasar pada putri Abah, Abah denger sendiri kan anak Abah seperti apa?"
Abah tampak mendongak dan mengangguk. "Saya mengerti nyonya, mungkin saya selama ini salah dalam mendidik putri saya."
Tiba-tiba dari arah dalam seorang perempuan paruh baya berhijab instant keluar dengan wajah memerah.
"Abah, ngapain minta maaf sama mereka! Mereka yang salah, mereka telah menginjak harga diri kita di rumah kita Bah, kita nggak boleh diam saja!" Teriak Ambu berapi-api.
"Tenang Ambu, masalah ini bisa kita selesaikan dengan kepala dingin. Maaf nyonya sebenarnya saya tak akan memperpanjang masalah ini, selama ini nak Revan sudah berbuat baik dengan memperhatikan kesehatan dan kehamilan Dewi. Bahkan Nak Revan akan menjamin masa depan cucu kami, itu sudah lebih dari cukup."
Melati, Revan dan Sandra menarik nafas lega, Abah cukup bijaksana dalam menyikapi masalah.
Dewi menjerit keras, wajahnya memucat penuh amarah dan rasa takut. Matanya berkilat, seolah ingin menentang dunia, saat dia berteriak, "Enggak bisa begitu, Bah! Mereka memang orang kaya, tapi semua nggak bisa dibeli uang! Apa karena uang Abah sampai mau menjual keadilan, aa Andra harus dapat keadilan Abah! Aa Revan harus bertanggung jawab—menikahiku atau dipenjara!" Nafasnya terengah-engah, tangan bergetar menekan dada.
Revan menunduk lemas, tubuhnya seolah dipukul oleh rasa bersalah yang berat.
"Aku akan menyerahkan diri ke polisi," Ucapnya kemudian, Dewi tersenyum penuh kemenangan.
Melati berbisik pelan di telinga Revan, menatap penuh pengertian, "Enggak bisa begitu, mas. Kamu juga nggak sepenuhnya salah."
Revan menghela napas dalam, lalu menatap istrinya yang tetap kukuh berdiri dengan aura penuh emosi. "Iya aku ngerti sayang , tapi menghilangkan nyawa orang—entah sengaja atau nggak—tetap harus diproses secara hukum. Nanti pengacaraku yang urus. Sekarang, mari kita pergi, Ma."
Suaranya bergetar, penuh ketegasan. Dewi menatap mereka tajam, tidak rela. "Kalian mau kemana? Urusan kita belum selesai!" teriaknya dengan air mata menggenang di ujung mata.
Revan menggenggam tangannya, menatap tegas, "Aku akan ke kantor polisi, menyerahkan diri. Kamu pikir aku lari dari tanggung jawab?" Suaranya bergetar namun penuh tekad.
***
Revan berdiri di sudut ruang yang lembap dan pengap itu, tubuhnya dikelilingi jeruji besi dingin yang terasa semakin membatasi nafasnya. Di belakangnya, beberapa napi melirik penuh perhatian, tatapan mereka berat dan penuh tanya.
Sebelum ia dipindahkan ke jeruji setelah dia interogasi, Melati menggenggam tangannya erat, matanya berkaca-kaca. "Mas, aku nggak tega lihat kamu seperti ini," suaranya bergetar pelan. "Kalau anak-anak tanya, nanti aku bilang apa?"
Revan menatap dalam ke wajah Melati, mengusap pipi lembut istrinya, senyumnya tipis menyembunyikan kepedihan. "Katakan saja aku sedang urusan bisnis di luar negeri yang cukup lama."
"Sampai kapan mas?"
Revan menggeleng. "Mas juga nggak tau sayang."
Melati mengerutkan dahi, suaranya penuh harap sekaligus kecewa. "Apa dengan uang dan kekuasaanmu kamu tak bisa bebas mas?" Revan menghela napas, menundukkan kepala sejenak lalu menatapnya teguh. "Bisa saja, sayang. Tapi aku memilih tidak. Aku salah, dan harus menerima hukuman ini. Kalau aku membiarkan hukum dibeli, sama saja aku setuju dengan 'mereka'."
Matanya penuh tekad, meski tubuhnya terkurung.
Revan menarik napas pelan, matanya redup menatap Melati dengan tatapan penuh kerinduan. "Yang nggak bisa aku tahan, kalau aku nggak melihatmu," suaranya bergetar tipis.
Jemarinya perlahan menyusuri tangan lentik istrinya, mencari kehangatan yang sudah lama hilang. "Doain, ya... semoga suamimu ini cepat bebas. Kalau kamu sempat, sering-seringlah ke sini. Bawain masakan terenakmu buat suamimu, aku pasti sangat merindukanmu," bisiknya seraya tersenyum pahit, menahan rindu yang tak kunjung reda.
dari dulu kok melati trus yg nerima siksaan dan kjhtan,
Ini perempuan siapa lagi yang ganti nyulik Melati.
Kalau punya suami ganteng, mapan dan kaya banyak pelakor bersliweran pingin gantiin istri sah. Semoga Revan bisa nolong Melati dan anaknya. Kasihan......