Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 — Siapa Dia?
Sementara itu di kantor ...
"Oh astaga!" desah Camelia frustasi melihat Reyga yang masih setia berjalan tepat di belakangnya.
Ia mencoba menahan amarah yang sudah mendesak di dada, lalu bergegas menuju pantry untuk membuat teh hangat, berharap aroma dan rasanya bisa sedikit menenangkan. Namun setiap langkahnya terasa berat karena ada tatapan tajam Reyga yang seakan tidak pernah lepas darinya, dingin, kaku, seolah sedang mengawasi seorang tahanan.
Biarpun Camelia berusaha pura-pura tidak peduli, tetap saja rasa risih itu menyusup ke dalam pikirannya. "Bisa tidak kau menungguku saja di depan ruangan?" pintanya dengan nada yang ditahan, meski jelas terdengar getir.
"Mohon maaf, Nona. Ini perintah Tuan Nerios," jawab Reyga tenang untuk kesekian kalinya. "Saya harus terus mengikuti Anda ke mana pun, selama Anda berada di luar ruangan."
Camelia mengaduk tehnya pelan, uap hangat menyentuh wajahnya. Begitu selesai, ia berbalik, menatap Reyga dengan datar, kedua tangannya kosong. "Tapi jarak pantry ini ke ruangan hanya dua puluh langkah saja, Reyga!" sergahnya.
Reyga bergeming. "Tetap tidak bisa, Nona."
Camelia mendengus, lalu menyipitkan mata. "Apa kau pikir aku akan loncat dari sini, hah?" sindirnya tajam.
"Anda orang yang nekat," balas Reyga tenang. "Jadi tidak ada yang tahu apa yang akan Anda lakukan."
Camelia mengangkat tangan seakan hendak meremas wajah pria tegap itu dengan geram. "Sh*bal!"
Belum sempat Reyga merespons, suara langkah berat terdengar. Dari arah lift, Nerios berjalan dengan ekspresi letih, namun segera terhenti ketika Camelia dengan cepat mencegatnya. Ia berdiri di depan Nerios, tangan bersedekap di dada, wajah penuh emosi.
"Kau benar-benar keterlaluan! Kau menyuruh penjaga menyebalkan itu terus mengikutiku. Bahkan saat aku hanya pergi ke pantry pun dia menempel seperti bayangan! Dan lebih g*la lagi, dia bilang aku bisa saja meloncat dari sini. Apa kalian berdua sama g*la-nya?!" cerocos Camelia, tangannya menunjuk ke arah Reyga, lalu memperagakan adegan dirinya diikuti terus, dengan gerakan dramatis penuh kemarahan.
"Aku benar-benar capek, Nerios! Dan sekarang, bisakah kau setidaknya ambilkan teh milikku dan anggap saja sebagai—"
"Bisakah kau diam!" bentak Nerios tiba-tiba, suaranya keras hingga membuat udara seolah terhenti. Matanya menatap tajam, rahangnya mengeras.
"Aku melakukan itu karena kau sering mencoba kabur! Jadi berhenti protes! Kau hanya dijaga Reyga, sisanya kau hidup dengan nyaman. Terima saja takdirmu jadi tahananku seumur hidup!"
Kata-kata itu menghantam keras, membuat mata Camelia membola. Tubuhnya refleks tersentak, jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Untuk sesaat, ia hanya bisa terdiam.
"Maaf ..." suaranya lirih, nyaris bergetar, seakan seluruh tenaga menguap dari tubuhnya.
Perlahan, tanpa menatap balik, Camelia melangkah melewati Nerios, masuk ke dalam ruangan dengan langkah lemah dan diam.
Nerios berdiri kaku. Rasa sesal menghantam dadanya seketika. Ia menunduk, merutuki dirinya sendiri—perjalanan panjang, tekanan dari sabotase perusahaan, semuanya membuat emosinya tidak stabil. Tapi tetap saja, ia tidak seharusnya melampiaskannya pada Camelia.
"Camelia," panggilnya pelan, lalu menyusul masuk ke dalam ruangan, tatapannya penuh penyesalan.
Camelia duduk di meja kerjanya. Ia tidak terlalu kecewa pada bentakan Nerios—lagipula, mereka sudah sering bertengkar, jadi suara keras pria itu bukanlah hal baru baginya. Namun, yang membuatnya benar-benar kesal adalah respon Nerios yang tidak sesuai harapannya.
Camelia merasa lelah terus-menerus diikuti oleh Reyga. Ia hanya ingin mengadu pada orang yang menyebabkan ketidaknyamanan itu, berharap mendapat sedikit perhatian atau sesuatu yang bisa memperbaiki mood-nya, mungkin sekadar dibelikan makanan manis. Tetapi yang ia dapat justru makian, ditambah lagi dengan kalimat terakhir Nerios yang benar-benar terdengar menyebalkan.
“Camelia, aku tidak bermaksud berkata seperti itu,” ucap Nerios lembut, mencoba menjelaskan sambil berjalan mendekat.
Namun Camelia tidak peduli. Ia tetap fokus mengetik laporan di laptop, seolah tidak mendengar apa pun.
Nerios akhirnya menyentuh bahunya dengan hati-hati. “Maafkan aku, ya? Aku membuatmu jadi sedih …”
Camelia langsung menggoyangkan bahunya, menolak sentuhan itu. “Siapa yang sedih?” sahutnya ketus.
“Suaramu tadi langsung berubah waktu aku membentakmu,” balas Nerios. Tatapannya melembut, teringat suara Camelia yang serak ketika meminta maaf. Itu menusuk hatinya. “Aku terlalu lelah setelah perjalanan dua jam, jadi tanpa sadar melampiaskannya padamu.”
“Tidak masalah,” jawab Camelia datar sambil menyingkirkan tangan Nerios dari bahunya. “Aku hanya tahananmu. Jadi tidak perlu menjelaskan apapun. Percuma.”
Nerios menggigit bibirnya, menahan perasaan gemas. Ia tahu Camelia sedang merajuk, bersikap sinis namun tetap menyinggung ucapannya—sangat khas sekali seperti seorang wanita yang sedang merajuk pada pasangannya.
“Maafkan aku karena bilang kau tahananku seumur hidup. Itu terucap karena aku terbawa emosi,” katanya pelan, sambil mengelus rambut Camelia dengan lembut.
Namun Camelia langsung menghempaskan tangan itu dengan kasar. “Aku tidak peduli. Jadi lebih baik kau diam dan duduk di kursimu. Katanya kau capek, kan?”
“Astaga …” Nerios hanya bisa menggeleng, tak habis pikir dengan sikap keras kepala wanita di hadapannya.
Pria itu mengubah pendekatan. “Kau mau sesuatu supaya mood-mu kembali? Makanan, barang, apa saja. Pesan saja, nanti aku yang bayar.”
Sekilas mata Camelia berbinar, tapi buru-buru ia menggeleng dengan wajah garang. “Tidak perlu!”
Nerios menunduk mendekati wajahnya, kali ini dengan nada jahil. “Kau yakin tidak mau? Padahal hari ini kita akan lembur lagi. Aku tadinya mau membelikanmu makanan untuk menemani kita lembur …”
Camelia sontak menoleh, menatap Nerios yang berusaha menahan tawa. “Apa? Serius kita akan lembur hari ini?”
Nerios menegakkan tubuhnya lalu mengangguk kecil. “Iya. Tapi karena kau bilang tidak mau, ya sudah, aku batalkan saja pesanannya.” Ia pura-pura hendak beranjak pergi.
“Eh … tunggu!” Camelia cepat-cepat menahan tangannya. Senyum lebar tiba-tiba merekah di wajahnya. “Pesankan aku beberapa makanan, ya?”
Nerios menatapnya, lalu mengulurkan tangan. “Tapi maafkan aku dulu.”
Camelia langsung menggenggam tangan itu dan menggoyangkannya penuh semangat. “Oke, aku maafkan! Untuk kali ini saja.”
Nerios terkekeh, melepaskan genggaman itu dengan senyum lembut. “Begitu lebih baik.” Ia pun kembali menuju meja kerjanya, meninggalkan Camelia yang akhirnya sedikit tersenyum, meski masih menahan sisa kekesalannya.
...----------------...
Sementara itu, di waktu yang bersamaan. Di sebuah lounge hotel mewah yang temaram, seorang wanita duduk anggun dengan gaun hitam sederhana namun elegan. Bibirnya berlapis lipstik merah menyala—kontras dengan pencahayaan redup ruangan itu. Setiap kata yang keluar darinya terasa semakin berbahaya dengan warna merah yang begitu mencolok.
Di hadapannya, seorang pria berjas abu-abu duduk sambil menyeruput kopi hitam. Mereka berbincang dengan suara rendah, seakan takut ada telinga lain yang ikut mendengar.
"Akhirnya rancangan itu berhasil kita dapatkan," ujar pria itu pelan, jemarinya mengetuk meja dengan resah. "Tapi masalahnya, tanpa investor besar, kita hanya bisa menyimpannya sebagai tumpukan kertas kosong."
Wanita itu tersenyum tipis, matanya berkilat di balik bayangan topinya. "Jangan meremehkan rancangan ini. Meski kita tidak bisa langsung memulainya, bocoran ini sudah cukup membuat perusahaan Nerios waspada. Mereka akan sibuk mempertahankan investor mereka, sementara kita punya waktu mencari celah."
Pria itu menghela napas panjang. "Investor bukan masalah kecil. Nerios punya nama besar, sementara kita hanyalah bayangan. Butuh lebih dari sekadar rencana curian untuk meyakinkan orang-orang menanamkan dana mereka."
Wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya menjadi lebih dingin.
"Itu sebabnya kita tidak terburu-buru. Biarkan Nerios meluncurkan proyeknya. Kita akan amati, lalu masuk tepat di saat mereka goyah. Kadang kemenangan bukan tentang siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih cerdas membaca peluang."
Pria itu terdiam, menatap penuh tanya. “Goyah? Maksudmu gagal?”
“Tidak harus gagal total,” jawab wanita itu santai. “Cukup ada celah kecil, seperti cacat produk, investor yang mulai ragu, atau masalah internal. Begitu Nerios tersandung, kita masuk. Dengan rancangan yang sudah kita miliki, kita bisa meluncurkan versi yang lebih baik dan meyakinkan investor yang kecewa padanya. Saat itu, Miller’s Crop sudah membuka jalan. Kita tinggal merebut panggung.”
Pria itu perlahan mengangguk, kini memahami maksudnya. “Kau licik sekali …”
Wanita misterius tersenyum tipis, matanya berkilat tajam. “Licik bukan kelemahan, tapi strategi. Dan Nerios bahkan tidak tahu kalau musuh terbesarnya sedang duduk santai menunggu langkahnya yang salah.”
Pria itu terdiam, menimbang kata-kata itu. Sesaat kemudian ia mengangguk pelan, seolah menyerah pada siasat wanita misterius tersebut.