Menjadi anak haram bukanlah kemauan Melia, jika dia bisa memilih takdir, mungkin akan lebih memilih hidup dalam keluarga yang utuh tanpa masalah.
Melia Zain, karena kebaikan hatinya menolong seseorang di satu malam membuat dirinya kehilangan kesucian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Jantung Melia berdetak kencang menunggu jawaban di seberang sana. Hya, Melia menggunggu jawaban Kevin. Apakah laki-laki itu akan menolongnya atau tidak.
"Jika aku menolongmu, hal apa yang bisa aku dapatkan?" pertanyaan Kevin membuat Melia berfikir keras. Ia sudah tak memiliki apapun selain hidupnya. Jadi, apapun permintaan Kevin, Melia berusaha mengiyakan.
"Asalkan kita tidak bertengkar lagi, apa kau bisa? jadilah wanita penurut." Melia dengan yakin mengiyakan permintaan Kevin.
"Dan lagi, kamu harus keluar dari pekerjaan malammu itu. Aku sangat tidak suka kamu bekerja disana." tegas Kevin.
Melia kembali berfikir, jika dirinya resign sekarang maka gaji yang akan ia dapat hanya setengah belum lagi bonus yang lumayan dari Andre akan lenyap.
"Bisakah membiarkanku bekerja? tanya Melia ragu-ragu.
"Tidak, jika tidak mau maka aku tidak akan membantumu." Ancam Kevin yang berhasil membuat Melia bungkam.
"Hanya sampai akhir bulan. Boleh ya?" bujuk Melia harap cemas. Sayang sekali, jika bonus bulanannya lenyap. Bisa ia gunakan untuk membeli kebutuhan atau menambah saldo atm-nya.
"Baik, hanya sampai akhir bulan. Dengar, aku tidak suka kamu bekerja di tempat seperti itu. Kedepannya harus bersikap baik dan penurut kalau mau aku membantumu." tegas Kevin, Melia mendekus tak bersuara. Mau bersikap kesal, rasanya ia tak punya daya.
"Jadi bagaimana apa kamu bisa membeli tokonya, jika iya maka toko itu akan tetap menjadi milikmu, meskipun aku meminta membelinya. Aku hanya ingin membuat istri sah ayahku dan anaknya malu." Jelas Melia.
Kevin berfikir sebentar, tak menghiraukan tatapan penasaran orang-orang, ia harus segera membereskan masalah Melia.
Toh dia punya kuasa, jadi hal yang tak akan menjadi masalah besar jika ia menghentikan rapat sebentar.
"Jika tidak membeli toko itu, tapi aku bisa membantumu bagaimana?" tawar Kevin, suaranya yang tegas selalu bisa menyakinkan Melia.
"Bagaimana caranya?" tanya Melia, Kevin berpikir sejenak.
"Tunggu saja, aku akan segera membereskannya. Kamu hanya perlu melihat hasilnya dan ingat janjimu." tekan Kevin.
"Baik, Kev. Terima kasih, aku menunggumu." jawab Melia.
Deg
Deg
Jantung Kevin berdetak kencang mendengar penuturan Melia. Namun, lagi ia hanya menganggap respon sesaat.
"Aku tidak mungkin kan menyukainya?" batin Kevin.
Melia tersenyum sumringah, ia menatap diri di depan cermin toilet setelah mematikan telepon. Entah kenapa, ia bisa sesenang ini. Merasa Kevin selalu hadir di saat ia butuhkan, itu membuat Melia merasa bangga. Meski sebenarnya tidak ada perasaan apapun yang mengikat diantara mereka.
Melia merapikan penampilannya agar sedikit lebih baik, lantas ia akan kembali ke gerai untuk menunggu tindakan apa yang akan dilakukan oleh Kevin setelah ia meminta tolong.
Setelah mematikan telepon dari Melia, Kevin terlihat menghubungi seseorang dan berbicara serius. Raut wajahnya terlihat serius, tak berselang lama Kevin mematika telepon lantas melanjutkan kembali rapat yang tertunda.
🍁🍁🍁
Melia tersenyum senang, sebelum kembali ia bersenandung sembari mencuci tangannya sebelum kembali. Setelah selesai, ia melongok keluar lantas meringis saat menyadari toilet antri karena dirinya.
"Sakit perut ya Mbak?" tanya wanita yang menunggu di depan pintu toilet, meski terdiri dari beberapa bilik. Tetap saja, kalau mereka punya pilihan antrian.
Melia mengangguk sekilas, lalu mempersilahkan antrian untuk menggunakan toilet.
Langkahnya tiba di depan gerai, Liona tersenyum sinis sementara Melia menatapnya dengan raut wajah datar.
"Ck! Sudah kuduga, sangat lama bisa dipastikan laki sialanmu tidak akan bersikap bodoh untuk menuruti kemauan konyolmu," sindir Liona dengan nada mengejek.
Melia diam, enggan menanggapi ocehan Liona yang menurutnya unfaedah.
"Mam, kita tunggu gadis kampung ini malu karena tidak bisa menepati ucapannya." Liona menyeringai.
"Iya sayang, kira-kira mukanya seperti apa?" sambung Lyn diiringi kekehan tawa.
Melia tetap mengabaikan, menghampiri sang ibu yang berada di kursi tunggu.
"Gimana, Mel?" tanya Sintia dengan raut wajah cemas. Melia tersenyum, lantas menggenggam tangan sang Ibu.
"Ibu tenang aja, semua masalah sudah diatas oleh calon menantu Ibu. Jadi, Ibu jangan memikirkan macam-macam ya."
"Beneran, Mel?" tanya Sintia, raut wajahnya berubah sumringah penuh kelegaan. Lyn merada kesal melihat hal itu, ia jadi penasaran hal apa yang akan dilakukan anak haram itu untuk mengatasi masalah ini.
Tap... tap... tap...
Derap langkah kaki mendekat, Melia tersentak. Tidak tahu, apakah kehadiran orang itu ada kaitannya dengan bantuan Kevin.
"Permisi," sapa kepala toko dengan ramahnya langsung ke arah Sintia dan Melia. Lyn yang melihat hal itu pun hanya mampu berdecak malas. Terlebih saat kepala toko meminta pelayan agar melayani Melia dan Sintia dengan baik, Lyn dan Liona semakin emosi.
"Kenapa juga bisa kenal pelayan toko, jangan-jangan memang benar apa yang di ucapkan gadis kampung itu," batin Liona.
"Sial, apa setelah ini aku akan kalak telak." gerutu Lyn, menatap kesal saat Melia dan Dintia begitu ramahnya dilayani. Penasaran, dua orang itu lantas mendekat. Mendengarkan dengan saksama pembicaraan yang di iringi tawa ramah.
"Aku gak boleh nyerah, bagaimanapun kalangan atas sepertiku lebih pantas." gumam Lyn, kemudian mendekat ke arah mereka.
"Anda tidak perlu membeli toko kami, Nona. Calon suami anda, sudah mengatakannya. Oh ya, silahkan dipilih baju sesuai selera. Kedepannya anda dan ibu ini mendapat fasilitas gratis dimanapun chain toko kami berada." Kepala toko itu menunduk hormat.
Mata Lyn melotot tak percaya, begitupun dengan anaknya, Liona.
"Bagaimana mungkin?" tanya Lyn, kesal.
"Apa orang yang di belakang mereka, begitu penting Ma?" tanya Liona muram. Meski tidak mengenal Melia dan Ibunya, melihat sang mama kecewa juga menabur kebencian di di diri Liona. Gadis itu menggeram kesal, lantas terduduk lemas, pun dengan mamanya yang mengusap wajah kasar.
"Silahkan bu, ini gaun yang anda inginkan tadi. Silahkan di coba." Pelayan yang tadi sempat menghina Sintia juga Melia seketika bersikap lembut. Melia dalam hati tertawa puas, melirik sinis ke arah Lyn.
Melia senyum saat kepala toko begitu ramah padanya, dalam hati ia harus berterima kasih terhadap Kevin yang telah membantunya hari ini.
"Aku, apa harus mengirimnya pesan?" tanya Melia dalam hati. Ia merogoh ponsel, mengetikan sesuatu dan berfikir sejenak. Tapi, ia urungkan dan hapus lagi.
'Makasih, Kev'
Melia menggeleng lantas menghapusnya lagi, merasa aneh. Ia sedang berfikir kata apa yang terlihat tulus untuk mengucapkan tanda makasihnya terhadap Kevin.
"Astaga aku ini kenapa sih?" Melia menngusap wajahnya merasa aneh dengan diri sendiri.
Makasih nggak, makasih nggak, makasih nggak. Pikiran Melia dijejali kata-kata, haruskah ia mengirim pesan dan bilang makasih. Namun, semakin berfikir semakin ia tak menemukan kata yang pas untuk berpesan pada Kevin.
'Makasih selalu bisa ku andalkan'
Melia kembali menghapusnya, bisa jadi setelah menerima pesan itu Kevin akan besar kepala.
"Oke makasih saja aku rasa cukup," gumam Melia akhirnya.
menikah Dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan Mampir
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir