NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 / THTM

Langit siang tampak bersih, seolah kota sedang bernafas dengan tenang.

Dari jendela kamar, Nayara menatap kosong pada udara yang diam.

Hari ini seharusnya terasa ringan—libur dari sekolah dan fotokopian—tapi dadanya malah terasa berat, seperti diselimuti kabut tipis yang menahan napas.

Sudah beberapa hari Alaric tak muncul.

Tak ada pesan, tak ada tatapan misterius di antara kerumunan, tak ada kehadiran yang tiba-tiba muncul seperti bayangan yang menempel di belakang punggungnya.

Tapi justru itu yang membuat Nayara gelisah.

Keheningan itu tidak menenangkan.

Justru terasa seperti badai yang sedang menarik napas panjang.

Kata-kata terakhir itu masih menempel di pikirannya:

“Kamu cantik hari ini.”

Kalimat sederhana itu menghantui Nayara lebih dari yang ia mau akui.

Ketukan di pintu memutus lamunannya.

“Nayara?”

Suara lembut itu terdengar ragu—namun kali ini tanpa nada curiga.

Elara berdiri di ambang pintu, membawa senyum yang tampak tulus.

Terlalu tulus, sampai Nayara sempat berpikir: mungkin Elara sudah melupakan semuanya.

“Lara?” Nayara bangkit, menatap sahabatnya. “Kenapa kamu datang?”

Elara mengangkat bahu. “Kamu libur, kan? Aku juga. Ayo keluar! Makan es krim atau keliling sebentar. Kamu akhir-akhir ini kayak... pudar.”

“Pudar?” Nayara terkekeh pelan, menahan gugup.

“Kayaknya aku cuma capek.”

“Ya makanya itu. Capek harus dihapus pakai udara luar.”

Elara tersenyum cerah.

Nayara sempat menolak. Tapi Elara tak mau menyerah.

Ia menarik tangan Nayara dengan lembut, dan karena lelah terus menolak dunia, Nayara akhirnya mengangguk.

Mereka berjalan menyusuri jalan kota yang tak terlalu ramai.

Elara terus berbicara tentang hal-hal sepele, tapi Nayara sadar tatapan gadis itu sering berhenti lama di wajahnya.

Bukan tatapan curiga, lebih seperti menganalisa.

“Aku senang kamu mau ikut,” kata Elara. “Jujur, aku kangen banget sama kamu.”

Nayara tersenyum kecil. “Aku juga, Lara.”

Elara menatap wajah Nayara lama. “Tapi kamu berubah.”

“Berubah gimana?”

“Entahlah. Kayak ada sesuatu yang kamu simpan. Aku gak tahu apa, tapi aku bisa ngerasain.”

Nayara menunduk. Degup jantungnya mulai tak beraturan.

Namun Elara tertawa, menghapus ketegangan itu.

“Udahlah, aku bercanda,” katanya sambil menunjuk toko bunga di seberang jalan. “Ayo ke sana, aku mau beli bunga.”

Toko bunga itu wangi dan tenang.

Elara pura-pura menatap rak bunga, tapi sesekali menatap Nayara lewat pantulan kaca.

Ia memperhatikan setiap gerak kecil—terutama ketika Nayara tiba-tiba terdiam di depan mawar putih, menatapnya terlalu lama, seolah warna itu mengingatkannya pada sesuatu.

Elara mengeluarkan ponselnya diam-diam.

Rekaman suara menyala.

Ia merekam percakapan dan tarikan napas kecil sahabatnya.

Setiap helaan, setiap nada lirih yang mungkin menyimpan rahasia.

Sementara Nayara tetap tak sadar, asyik menatap kelopak bunga yang seolah berbicara padanya dalam bahasa yang samar: Kamu tidak bebas.

Setelah keluar dari toko, Elara sengaja menjatuhkan dompetnya di kafe tempat mereka makan.

Dan benar saja—reaksi Nayara terlalu cepat, seolah takut Elara sempat membuka dompet itu dan melihat sesuatu.

Tatapan Nayara menegas, gugup, lalu tersenyum paksa.

Elara membalas senyum itu. Tapi dalam pikirannya, potongan-potongan teka-teki mulai saling terhubung.

Sore merambat menjadi senja.

Mereka berjalan pulang melewati jalan kecil di belakang toko yang mulai tutup.

Lampu jalan redup, dan udara menjadi dingin.

Nayara mempercepat langkahnya, menatap sekeliling dengan resah.

“Nayara, kamu kenapa?” Elara memegang lengan sahabatnya.

Nayara menoleh cepat, wajahnya pucat. “Gak apa-apa,” katanya singkat, tapi suaranya bergetar.

Ada sesuatu yang membuat tubuhnya ingin lari.

Ia merasakan tatapan itu. Tatapan yang familiar.

Dan memang, di kejauhan—dalam mobil hitam yang terparkir rapi—Alaric sedang duduk diam.

Tatapannya tak lepas dari keduanya.

Matanya tajam, namun ada sesuatu yang gelap di balik tenangnya.

Ia hanya menatap, menunggu.

Mendengarkan setiap tawa kecil yang tidak sampai ke telinga Nayara.

Malam tiba.

Elara mengantar Nayara pulang. Mereka berpamitan dengan pelukan hangat, senyum yang nyaris membuat Nayara percaya segalanya kembali normal.

Namun saat Nayara masuk ke dalam rumah, Elara tidak langsung pergi.

Ia menatap rumah itu lama.

Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk tidak berhenti di sini.

Ia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya: alat kecil berbentuk gantungan kunci, di dalamnya chip perekam suara dan penanda lokasi.

Dengan gerak hati-hati, ia meletakkannya di pot bunga dekat pagar rumah Nayara.

“Maaf, Nayara,” gumamnya pelan. “Aku cuma mau tahu... apa yang kamu sembunyikan dariku.”

Lalu ia berbalik pergi.

Namun Elara tak tahu — ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan.

Dari balik kaca mobil hitam yang kini mesinnya diam tanpa suara.

Alaric keluar perlahan, langkahnya tenang, wajahnya teduh tapi dingin.

Ia berdiri di depan pagar rumah Nayara, menatap pot bunga tempat alat kecil itu tersembunyi.

Dengan dua jari, ia mengambil alat itu tanpa ragu.

Ditatapnya sebentar, lalu dari saku jasnya ia keluarkan pena dan secarik kertas kecil.

Beberapa detik kemudian, kertas itu diselipkan di celah pagar, tepat di tempat alat penyadap tadi berada.

Tulisan tangannya rapi, kuat, dan berbahaya.

“Jangan mencari, Elara.

Kau tak akan suka jawabannya.”

Satu kalimat.

Tapi cukup untuk membuat siapa pun kehilangan napas saat membacanya.

Alaric menatap rumah itu sekali lagi, lalu melangkah pergi ke arah mobil.

Lampu mobil menyala sebentar, memantulkan bayangan wajahnya di kaca.

Senyum samar muncul di bibirnya — bukan karena bahagia, tapi karena permainan baru saja dimulai dan kini adiknya juga ikut memasuki ranah permainan ini.

Di dalam rumah, Nayara berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang remang.

Ia tak tahu mengapa dadanya terasa sesak tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang mengintai dari luar.

Ia mencoba menutup mata, tapi kata-kata yang pernah ia dengar kembali bergaung di kepalanya:

“Kamu cantik hari ini.”

Kata itu dan udara di luar terasa menyesakkan.

Karena di luar sana, seseorang sedang memastikan bahwa dirinya tidak pernah benar-benar bebas.

...----------------...

Gang itu sempit, dan lengang.

Suara langkah kaki Elara terdengar jelas di antara dinding-dinding sempit rumah warga yang menutup rapat jendelanya. Ia menggenggam ponsel erat, matanya terus menatap layar yang menampilkan sebuah titik kecil berwarna merah.

Titik itu adalah alat perekam mini yang tadi ia sembunyikan di dekat rumah Nayara — tepat di sela pot bunga di depan pagar.

Namun, sejak beberapa menit lalu… titik itu tidak bergerak.

Lalu perlahan… menghilang.

Elara berhenti. Napasnya tertahan.

Ia mencoba memuat ulang peta digitalnya, tapi sinyal yang semula kuat tiba-tiba menghilang begitu saja. Seolah sesuatu — atau seseorang — mematikan alat itu dengan sengaja.

“Jangan bercanda,” gumamnya, jari-jarinya gemetar menekan layar ponsel.

Namun tetap nihil. Tak ada tanda apa pun.

Elara mengangkat wajahnya.

Hening.

Hanya suara serangga malam dan dengung listrik dari kabel di atas kepala.

Rasa cemas mulai menyusup ke dada.

Ia menelan ludah, memaksa langkahnya bergerak maju. Meskipun kakinya dingin, ia tetap berjalan, menyusuri gang kecil menuju rumah Nayara.

Pintu rumah itu tertutup rapat,

Ia menatap sekeliling, mencari-cari pot bunga tempat ia menaruh alat perekamnya.

Kosong.

Pot itu memang masih di sana, tapi tanahnya terlihat agak berantakan, seperti baru saja terusik.

Elara berjongkok, menyorot dengan senter ponselnya. Pandangannya terpaku pada sesuatu di balik pot — selembar kertas kecil, terlipat rapi.

Tangan Elara bergetar saat mengambilnya. Kertas itu lembap, mungkin karena embun, tapi sudutnya masih hangat, seperti baru saja disentuh seseorang.

Ia membuka lipatannya perlahan.

Tulisan itu sederhana. Tegas. Rapi.

Dan begitu matanya membaca baris pendek itu, tubuhnya seketika kaku:

...Jangan mencari, Elara. Kau tak akan suka jawabannya....

Dunia di sekitarnya mendadak hening.

Jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa menyakitkan di dada. Kata-kata itu… seolah bukan sekadar pesan, tapi peringatan.

Dan tulisan itu —

Elara mengenalnya.

Bertahun-tahun hidup di bawah satu atap membuatnya hafal betul bagaimana bentuk tulisan itu. Huruf-huruf tajam tapi elegan, sedikit menekan di bagian akhir — ciri khas yang tidak mungkin salah.

Tangan Elara menutup mulutnya. “ Kak Alaric…”

Suara itu nyaris tak terdengar, hanya sebuah bisikan putus asa.

Ia berdiri perlahan, menatap sekitar. Gang itu tetap sunyi. Tidak ada siapa pun.

Tapi entah kenapa, ia bisa merasakan sesuatu — seperti tatapan dari kegelapan, dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Ia melangkah mundur. Sekali. Dua kali.

Elara menahan napas. Detik berikutnya, terdengar suara mobil dari arah tikungan.

Lampu depan mobil menyala terang, menyapu gang sempit itu. Dalam cahaya yang hanya berlangsung beberapa detik itu, Elara melihatnya — siluet seseorang di balik kemudi, duduk diam, menatap ke arahnya.

Mobil itu kemudian perlahan berbelok dan menghilang.

Tapi Elara tak perlu berpikir dua kali untuk tahu siapa itu.

Satu jam kemudian, Elara sudah di rumah, duduk di tepi ranjang dengan wajah masih pucat. Lampu kamar menyala temaram, hanya cukup untuk membuat bayangan dirinya terpantul samar di kaca jendela.

Kertas kecil itu kini tergeletak di meja belajar, terbuka, memperlihatkan tulisan itu sekali lagi.

Jangan mencari, Elara. Kau tak akan suka jawabannya.

Ia menatapnya lama, mencoba menenangkan diri, tapi setiap kali membaca kata-kata itu, perasaan takut bercampur marah muncul bersamaan.

Kenapa kakaknya menulis itu?

Kenapa dia tahu?

Dan lebih dari semuanya — kenapa dia di sekitar rumah Nayara hari ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala tanpa henti.

Elara meraih rambutnya, menariknya ke belakang kasar, menutup wajah dengan kedua tangan. “Apa yang kalian sembunyikan dariku…” gumamnya pelan.

Nayara.

Sahabatnya yang dulu selalu terbuka, kini lebih sering menghindar.

Dan Alaric. Kakaknya yang dulu selalu menjadi pelindungnya, kini terasa seperti sosok asing yang bergerak di balik bayangan.

Ia tahu keduanya menyembunyikan sesuatu.

Ia hanya belum tahu apa.

Dan mungkin, seperti yang ditulis Alaric — ia memang tidak akan suka jawabannya.

Tapi rasa ingin tahunya jauh lebih besar daripada rasa takut itu.

Keesokan harinya, Elara kembali bersikap seperti biasa. Ia tertawa bersama Nayara, bahkan memaksakan senyum setiap kali gadis itu menatapnya. Namun di dalam kepalanya, rencana kecil mulai terbentuk.

Ia tidak akan berhenti hanya karena pesan di secarik kertas.

Saat jam istirahat, mereka duduk berdua di kantin seperti biasa.

Nayara tampak sedikit kelelahan, tapi tetap tersenyum. “El, kau nggak apa-apa? Kau kelihatan pucat.”

Elara menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja. Justru aku yang harus tanya, Nay. Kau nggak terlihat seperti biasanya.”

Nayara terkekeh pelan, pura-pura santai. “Cuma kurang tidur, itu saja.”

“Karena kerja?”

Elara sengaja bertanya, matanya mengamati perubahan kecil di wajah sahabatnya.

“Ya… mungkin.”

Jawaban itu menggantung aneh, seperti tidak sepenuhnya benar.

Elara mengalihkan pandangan, pura-pura menatap meja.

Dalam hatinya, ia mengulang kalimat itu pelan: mungkin.

Kata yang terlalu ragu untuk datang dari Nayara.

Setelah itu mereka tidak banyak bicara lagi. Elara tahu, semakin ia menekan, semakin Nayara akan menutup diri. Jadi ia memilih diam, meski pikirannya tidak berhenti bekerja.

Begitu pulang ke rumah malam itu, Elara langsung membuka laptop.

Ia mencoba memeriksa file dari alat perekam kecilnya — mungkin, hanya mungkin, rekaman sempat tersimpan sebelum alat itu mati.

Tapi tidak ada apa-apa.

File terakhir berhenti tepat beberapa menit sebelum sinyal menghilang.

Kosong.

Senyap.

Elara menatap layar kosong itu lama.

Lalu ia memejamkan mata dan tersenyum miris.

“Dia tahu aku mencari,” bisiknya. “Dia tahu semuanya.”

Dan jika Alaric tahu… berarti Nayara juga tahu.

Atau setidaknya, menjadi bagian dari rahasia itu.

Ia menatap kertas kecil di meja — kini tersimpan rapi di dalam map bening.

Tulisan itu seperti menatap balik padanya, seperti suara yang bergema di kepalanya:

Jangan mencari, Elara. Kau tak akan suka jawabannya.

Elara menarik napas panjang, menatap keluar jendela. Langit malam tampak tenang, tapi pikirannya sama sekali tidak.

Mungkin Alaric benar.

Mungkin ia memang tidak akan suka kebenaran yang menunggunya.

Tapi ia sudah terlanjur melangkah terlalu jauh.

Ia menatap bayangan dirinya di kaca dan berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

“Kau salah, Kak. Aku akan tetap mencari. Apa pun jawabannya.”

...----------------...

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!