⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Rencana Busuk
Aku mengenakan jas hitam rapih, wajah tampanku bersinar. Aura dingin terpancar dalam diriku. Disamping ku ada sekretaris ku namanya Toy Hodgson Welsh, namanya terdengar aneh bukan? persis seperti kelakuannya yang absurd.
"Kamu sudah siapkan bahan meeting untuk hari ini Toy." Tanyaku datar.
"Sudah."
"Bagus, setelah itu bereskan sisanya."
Mataku fokus menuju ruang rapat yang akan di laksanakan untuk hari ini. Membahas pembangunan hotel bersama perusahaan Beltrame salah satu perusahaan terbesar dikota ini. Ada perusahaan lain juga yang ikut dalam kerja sama, namanya perusahaan ERL.
Aku masuk dengan kepala di angkat angkuh, semua para petinggi sudah siap dan menoleh kearah ku.
"Senang bertemu dengan anda pak lion." Mereka berjabat tanganku dengan menunjukkan senyum terbaik.
"Saya harap untuk kerja samanya akan berjalan dengan lancar." Ucap pak Aedi dari perusahaan ERL ikut menjabat tangan ku.
Aku mengangguk tampa banyak bicara. Para petinggi dari perusahaan Beltrame mulai mempresentasikan kerja sama pembangunan hotel yang akan di bangun di bagian kawasan sekolah.
Mereka berencana melakukan penggusuran rumah kumuh dengan memberikan kompensasi sebesar Rp 50 juta kepada warga yang tinggal di area tersebut. Kebijakan ini kemungkinan besar bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan infrastruktur di kawasan tersebut. Namun, warga mungkin memiliki perspektif berbeda tentang penggusuran ini, tergantung pada kebutuhan dan keadaan masing-masing.
"Untuk warga yang menolak, maka sebagai jaminan kita tetap akan membongkar."
Pernyataan Sakura, sekretaris di perusahaan Beltrame, tetap akan melanjutkan rencana penggusuran rumah kumuh, meskipun ada warga yang menolak tawaran kompensasi.
Mataku masih fokus, pikiranku menimbang-nimbang apakah harus setuju atau tidak?
"Apakah Rp 50 juta cukup untuk membeli rumah atau tempat tinggal baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka?" Aku bertanya, ingin mengetahui jawab yang tempat.
Mahen petinggi dari perusahaan Beltrame terlihat tidak setuju dengan usulanku.
"Pak Lion, kami sudah mempertimbangkan kompensasi yang sesuai dengan harga pasar saat ini. Rp 50 juta adalah jumlah yang wajar untuk area tersebut," katanya dengan nada yang tegas.
Aku menatapnya dengan tatapan yang tajam. Mungkin mereka tidak tau bahwa aku menghukum orang-orang yang tidak adil. Apalagi menurutku proyek ini akan bertetanggan dengan warga yang tidak terima.
"Saya tidak peduli tentang harga pasar. Saya peduli tentang keadilan dan kemanusiaan. Jika kita ingin membangun hotel di area tersebut, kita harus memastikan bahwa warga yang terdampak tidak akan menderita karena keputusan kita," tegasku.
Pak Aedi dari perusahaan ERL terlihat tidak nyaman dengan situasi ini.
"Pak Lion, mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk meningkatkan kompensasi menjadi Rp 75 juta. Itu sudah lebih dari harga pasar saat ini," katanya mencoba menengahi.
Aku mempertimbangkan tawaran itu sejenak, lalu mengangguk.
"Baiklah, Rp 75 juta itu bisa diterima. Tapi saya ingin ada jaminan bahwa warga yang terdampak akan mendapatkan prioritas dalam proses pembangunan hotel ini. Saya ingin mereka memiliki kesempatan untuk bekerja di hotel tersebut atau mendapatkan manfaat lainnya dari proyek ini," kataku dengan tegas.
Mahen dan Pak Aedi saling menatap, lalu mengangguk. "Kami setuju, Pak Lion. Kami akan memastikan bahwa warga yang terdampak mendapatkan prioritas dalam proses pembangunan hotel ini,"
Padahal aku yakin betul, hati mereka tidak setuju. Untuk kontrak semua tergantung dari keputusan ku. Jika aku menentangnya, maka kerja sama ini otomatis tidak terjadi.
Dengan kesepakatan itu, pertemuan pun diakhiri. Aku meninggalkan ruang rapat dengan perasaan puas, karena telah berhasil memperjuangkan keadilan bagi warga yang terdampak.
***
"Sepertinya kita harus mengambil langkah lanjutan. Aku pribadi tidak setuju dengan usulan kompensasi itu,"
"Benar," sahut seseorang. "Kompensasi sebesar itu akan membuat kita merugi besar. Lagi pula, warga yang tinggal di sana berasal dari kalangan kurang mampu. Tidak masuk akal kalau kita harus menghabiskan dana sebesar itu hanya untuk mengakomodasi mereka."
"Saya setuju, saya akan instruksikan anak buah saya untuk segera bertindak. Besok semuanya akan beres."
"Jika semua berjalan sesuai rencana, kita akan meraih keuntungan besar,"
***
Dua pria berpakaian serba hitam berjalan menunduk di lorong sempit yang gelap. Kawasan itu sunyi, tanpa pengawasan CCTV—tempat sempurna untuk menjalankan rencana tanpa jejak.
"Kalau kita bakar satu rumah, yang lain pasti ikut terbakar," bisik salah satu dari mereka, suaranya pelan namun penuh maksud.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah tua. Di sana, seorang warga sudah menunggu—seseorang yang telah dibayar mahal untuk tutup mulut dan ikut terlibat dalam konspirasi besar.
"Ini uangnya," kata salah satu pria sambil menyerahkan koper penuh uang. "Kalau kau buka mulut, keluargamu yang akan jadi korban."
Lelaki itu mengangguk, wajahnya berseri-seri saat menerima koper tersebut. Tak ada keraguan di matanya.
"Saya tahu risikonya. Saya akan berpura-pura jadi korban. Kalian tenang saja," ucapnya dengan senyum simpul. "Semuanya akan aman."
"Bagus. Lakukan sesuai rencana."
Tanpa kata tambahan, kedua pria misterius itu berbalik dan menghilang di kegelapan, meninggalkan sang warga yang tampak antusias menanti peran barunya dalam skenario kelam.
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"