Bukan menantu pilihan, bukan pula istri kesayangan. Tapi apa adil untuk ku yang dinikahi bukan untuk di cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Dugh.
Zian berhasil mendobrak pintu toilet wanita, yang sebelumnya dikunci dari dalam oleh Angel.
“Astagaaa! Apa yang kamu lakukan Angel?” beo Zian dengan tatapan gak percaya.
“Pak Zian, to- tolong pak!” Wati mengulurkan tangannya dengan tatapan sayup. Seketika pandangan nya menjadi gelap, sebelum akhirnya Wati kehilangan kesadarannya.
Begitu pun dengan Angel, wanita muda berbobot subur itu terpaku melihat Zian dan dua orang orang pria berseragam security berdiri di depan pintu toilet wanita.
“Kalian tunggu apa lagi? Cepat amankan dia!” titah Zian pada kedua security.
“Siap bos!” seru salah satu security, keduanya berjalan memasuki toilet.
“Sa- sayang… ka- kamu datang di saat yang tepat. Cepat singkirkan nih sampah!” dusta Angel, dengan tatapan meyakinkan miskin dengan tergagap.
Dugh.
Dengan sengaja Angel menendang pinggang samping Wati, sembari melangkah menghampiri Zian.
“Wa- wanita penggoda itu menyerang ku, sayang! Untung aja aku, aku bisa melawan.” Angel menunjuk Wati yang terkapar di lantai.
Grap.
Kedua tangan Angel dipegang kedua security, membuat Angel meronta dengan melayangkan tatapan gak percaya pada Zian.
“Sa- sayang, apa apaan ini? Wati yang menyerang ku, sayang… a- aku hanya melakukan perlawanan.” kilah Angel, dengan tubuh yang diseret keluar dari toilet wanita.
“Kalian, ngapain berkerumun? Cepat panggil ambulance!” titah Zian saat melihat para karyawannya sudah berkerumun di depan toilet.
“Udah pak, ambulance lagi di jalan.”
Beberapa menit kemudian.
Di salah satu rumah sakit ternama, ruang rawat VVIP, tempat di mana Wati berbaring dengan posisi miring.
‘Andai saja aku gak membiarkan mu kembali ke kantor saat itu, Wati! Kamu gak akan berakhir di rumah sakit!’ pikir Alex, netranya gak lepas dari Wati yang ada di hadapannya.
“Akuisisi perusahaan di mana Wati bekerja, aku harus merebut perusahaan itu! Membalas satu persatu orang yang sudah menghancurkan hidup Wati.” titah Alex tanpa ingin di bantah.
Arif yang berdiri di samping Alex tampak gak percaya dengan perintah tuannya.
“Pelakunya hanya satu orang, Lex! Pemilik perusahaan sama sekali tidak tahu menahu soal kejadian yang menimpa wanita mu! Apa harus kita sampai sekejam itu?” tanya Arif hati hati.
Alex menoleh, menatap sengit Arif lalu mengumpat, “Bodoh, itu satu satunya cara agar aku bisa memiliki alasan untuk tetap terus berdekatan dengan Wati, jika aku bosnya… aku bisa saja menjadikan Wati seorang sekretaris ku.”
“Lalu bagaimana dengan nasib wanita yang bernama Angel, apa yang akan kita lakukan padanya?” tanya Arif.
“Habisi saja, toh wanita itu pula yang sudah membuat Wati terbaring di rumah sakit.”
Alex mengecup punggung tangan Wati, membuat wanita itu dengan pasti membuka kelopak matanya.
“Pak Alex, kau di sini? A- aku di mana? Ughhhhh!” Wati meringis, saat ingin merubah posisinya.
“Jangan banyak bergerak, biarkan tubuh mu seperti ini dulu. Apa punggung mu begitu sakit?” tanya Alex dengan tatapan khawatir. Tangannya terulur mencengkram lembut lengan Wati.
“Sedikit, kenapa pak Alex bisa ada di sini?” Sati melirik sekilas Arif, pria yang berdiri di samping Alex.
“Kalau begitu saya tunggu di luar. Semoga pendekatan anda berhasil pak Alex!” ejek Arif, menepuk bahu Alex sebelum meninggalkan ruang rawat.
Wati menatap kepergian Arif dengan bingung, ‘Jangan bilang, orang itu juga tau perasaan pak Alex pada ku seperti apa?’
Alex mencapit dagu Wati, membuatnya kembali menatap dirinya.
“Jangan melihat nya terus, aku bisa berbuat keji jika kamu tidak menuruti ku! Karena pria yang boleh kamu tatap hanya lah aku, Wati!” seronok Alex dengan tatapan yang sulit diartikan.
Wati mengerucutkan bibirnya kesal, menyingkirkan tangan Alex dari dagunya.
“Jangan gila! Kenapa bapak ada di sini? Apa bapak terlalu senggang bisa di sini? Pekerjaan bapak terlalu sedikit ya?” cicit Wati,
“Aku ada disini, tentu saja karena kamu yang menginginkannya. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku tahu kamu dalam bahaya.”
“I- itu maaf, a- aku tidak tau jika menghubungi nomor mu.” dusta Wati tapi di hati merasa senang.
“Jangan berbohong di depan ku, Wati… kamu pikir aku percaya dengan yang kamu katakan barusan? Sudah jelas kamu yang menginginkan ku datang menjadi pahlawan mu… tapi maaf, aku datang terlambat. Harusnya aku bisa datang lebih awal.”
“Ini bukan salah mu, tapi salah ku yang gak bisa melawan Angel. Angel di mana, pak? Bagaimana keadaannya?” cecar Wati.
“Di neraka. Kenapa kamu malah mencemaskan nya?”
“Karena aku gak tau, apa alasannya menyerang ku. Aku butuh penjelasannya.”
Alex mengerutkan keningnya, “Alasannya? Bukannya wanita buntelan kentut itu sudah mengatakannya dengan jelas? Apa lagi yang ingin kau dengar dari Angel?”
“Iya tapi aku …”
“Sstttt, istirahat lah! Gak usah pikirkan hal lain. Apa kamu mau makan buah? Apa ada yang ingin kamu makan? Aku bisa meminta Arif untuk membelinya.” cecar Alex, mengalihkan perhatian Wati.
Jari telunjuk Alex menempel di depan bibir pucat Wati, sementara kedua matanya menatap ke arah nakas yang ada di samping kepala ranjang rawat. Disana terdapat aneka buah dan beberapa roti di atasnya.
“Gak perlu, aku cuma ingin tidur aja.” Wati mengelus perutnya, “Awh.”
Alex menatap Wati cemas, “Kenapa? Apa itu sakit?”
Wati mengangguk kecil, ‘Apa karena tendangan dari Angel tadi? Pasti memar.’
“Biar ku lihat!” Alex menarik selimut yang menutupi pinggang hingga batas kaki Wati, berniat menyingkap selimut yang menutupi perutnya.
“Eh jangan!”
Wati menahan tangan Alex dengan sorot mata tajam, bibir mengerucut.
Alex mengerdikkan dagunya, “Kenapa jangan? Aku kan hanya ingin melihatnya, memastikan jika ada luka atau tidak di perut mu! Kenapa tidak boleh, hem?”
“Sudah pasti ada luka, Angel menendang perut ku tadi. Belum lagi bo kong ku… akkhhh!”
Wati kembali memekik kesakitan, saat hendak menelentangkan posisi tubuhnya, rasa nyeri kini menyerang di punggungnya yang bersentuhan dengan kasur tempat ia berbaring, membuatnya menggeliat, membusungkan dada.
Alex beranjak dari duduknya, pindah ke tepian ranjang rawat tempat Wati berbaring, kedua tangannya refleks mengangkat tubuh Wati dengan kedua tangan berada di sela ketiak Wati.
Suara Alex begitu emosi, kesal bukan main. Melihat wanita yang tengah ia kejar malah babak belur karena seorang wanita.
“Apa semua tubuh mu terasa sakit? Apa saja yang sudah dilakukan wanita gendut itu pada mu… selain menendang perut mu? Katakan pada ku!” cecar Alex dengan jarak yang begitu dekat dengan wajah Wati. Hembusan nafas mintnya menyeruak di wajah Wati.
Satu tangan Wati terulur di dada bidang Alex.
“Ta- tapi gak sedekat ini juga pak!” beo Wati dengan perasaan gak menentu.
“Alex, biasakan hanya Alex tanpa embel embel pak, aku bukan bapak mu!” ralat Alex, menatap galak Wati.
“Ehem i- iya maaf, pak.”
“Pak lagi!” protes Alex dengan wajah kesal.
“I- iya Alex!”
Alex membantu Wati mencarikan posisi ternyaman untuk berbaring, meski hasilnya sama dengan posisi miring namun sandaran di bagian kepalanya di tinggikan, hingga membuat posisi Wati jadi menyandar.
“Ini jauh lebih baik, terima kasih! Maaf sudah merepotkan mu!” beo Wati, menatap punggung tegap Alex yang tengah menghadap ke arah nakas dan memunggunginya.
Alex berbalik badan, berkata dengan wajah tenang.
“Jangan sungkan begitu, aku senang direpotkan oleh mu! Merasa aku dibutuhkan! Dan aku anggap kamu menerima tawaran ku menjadi kekasih ku! Teman hidup ku! Akan ku buat kamu bahagia di sisa hidup mu, Wati!” tangan Alex sibuk mengupas jeruk yang ia ambil dari nakas, lalu ia mendudukan dirinya di tepian ranjang rawat.
“Hah? Ka- kapan aku bi- bilang menerima tawaran mu? A…emmm.”
Alex langsung membungkam Wati, kali ini bukan dengan bibirnya. Melainkan dengan menyuapkan jeruk yang sudah dikupas ke dalam mulut Wati.
“Bagaimana rasanya, manis bukan?” Alex, menyuapkan kembali jeruk ke mulut Wati.
“Manis banget biar aku aja, aku bisa makan sendiri!” Wati mengulurkan tangan kanannya, meminta jeruk yang ada di tangan Alex untuk diberikan padanya.
Alex menggeleng, “Kalah manis dengan kamu yang tersenyum tulus pada ku, Wati!”
“Muka datar gak pantes gombal, lebih bagus serius dalam bekerja, gak usah ikut ikutan buaya darat gombal sana sini!” cibir Wati, namun tidak dengan hatinya.
“Benarkah? Jadi menurut mu, aku sedang menggombal? Tapi menggombal itu apa ya?” Alex menggaruk keningnya canggung.
“Gak usah bercanda, masa gombal aja gak tau. Ngomong ngomong ponsel ku mana, apa bapak melihat ponsel ku?” Wati celingukan, mencari cari keberadaan benda pipihnya.
“Ada pada ku!”
Alex merogoh kemeja putih, yang ada di balik jas hitam yang membalut tubuhnya.
“Terima kasih, pak!” beo Wati, menerima ponselnya dari Alex.
“Aku sudah bilang jangan panggil aku pak, sayang!”
Ceklek.
Bersambung ...