kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 31 - hari ke dua ospek , degup yang berbeda
Alarm ponsel Kinan berdering pukul 05.00.
Ia menggeliat pelan di kasurnya, berusaha membuka mata yang masih berat.
“Huufff… Jogja pagi gini adem banget… tapi kok tetep susah bangun ya,” gumamnya sambil meraih bando putihnya di meja.
Ia bangun, wudhu, lalu duduk di meja kecil tempat cermin. Rambut panjangnya ia ikat setengah, rapi tapi tetap manis. Wajahnya segar, masih ada semburat merah muda di pipinya—entah karena udara dingin atau efek begadang video call sama Danu semalem.
“Kinan, kamu pasti bisa,” katanya kepada bayangan sendiri.
Kos masih lengang. Hanya suara ayam dari kejauhan dan motor-motor awal pekerja pagi. Aroma tempe goreng dari ibu kos samar-samar tercium.
Begitu selesai dandan, Kinan turun ke lantai bawah. Ibu kos tersenyum hangat dari dapur kecil.
“Sarapan, Nak? Masih ada roti sama teh hangat.”
“Wah, terima kasih banyak, Bu. Saya ambil ya.”
Kinan duduk di kursi kayu, menghabiskan roti sambil menggulung tali sepatunya. Setelahnya ia pamit dan keluar gerbang kos.
Udara pagi Jogja menusuk lembut.
Langit masih pucat, tapi jalanan sudah mulai hidup dengan suara motor mahasiswa dan ibu-ibu ke pasar. Kinan memasang earphone, berjalan santai menuju kampus dengan mood yang—anehnya—cukup baik.
Namun, begitu melewati tikungan kecil dekat minimarket, ia mendengar langkah cepat dari belakang.
“KINAN!”
Kinan menoleh.
Dan seperti sudah diduga…
Rama datang sambil sedikit berlari, ranselnya goyang-goyang.
“Hah… untung aku liat kamu keluar kos tadi. Kupikir kamu udah jalan duluan.”
Kinan mengerjap. “Kamu… nunggu aku?”
“Nggak sengaja liat kamu keluar,” jawab Rama sambil tersenyum miring. “Terus aku pikir, ya sekalian aja bareng. Kan ke arah yang sama.”
Kinan menahan napas sebentar.
Entah kenapa, kehadiran Rama selalu muncul di momen… aneh.
“Tadi kamu sarapan?” tanya Rama.
“Udah. Roti.”
“Kecil banget. Mana cukup buat ospek.”
“Kamu pikir aku dinosaurus?”
Rama tertawa keras, suara yang langsung memenuhi gang.
“Tapi serius,” lanjutnya sambil menatap wajah Kinan, “kamu ngantukan nggak? Malamnya tidur?”
Kinan menoleh cepat. “Kamu kok tau aku tidur malam?”
Rama mengangkat alis. “Insting. Kamu keliatan kayak orang yang chat-an sama pacarnya sampai malam.”
Kinan nyaris tersedak angin.
“AKU— eh— aku cuma video call sebentar.”
“Pacar kamu? Yang di Bandung itu?”
Kinan tersentak.
“Eh, tau dari mana kamu?”
“Dari waktu kamu cerita sedikit kemarin,” jawab Rama ringan. “Santai, aku cuma nanya kok. Bukan mau ngegangu.”
Tapi dari cara matanya menatap… Kinan tahu itu bukan cuma “nanya”.
Sebelum suasana makin canggung, Tari dan Wulan memanggil dari kejauhan.
“KIIIN!! Siniii!! Nyampe barengan yoo!”
Kinan langsung melambaikan tangan dan mempercepat langkah.
“Rama, aku duluan ya!”
Rama tersenyum tipis.
“See you later, Kinan.”
Kinan buru-buru gabung dengan Tari dan Wulan, seolah baru lolos dari sesuatu.
“Kinan, itu siapa? Cakep banget sumpah,” bisik Tari nakal.
“Temen kelompok… baru kenal,” jawab Kinan cepat.
“Waaah, hati-hati nanti ada cinta lokasi ospek~”
“HUSH!”
Tapi pipinya hangat tanpa ia sadari.
---
Begitu apel ospek dimulai, panitia kembali super ganas seperti biasa. Teriakan-teriakan MC memenuhi lapangan.
“MABA HARUS SEMANGAT!!! SUARA KALIAN MASIH KAYAK ORANG NGANTUK!”
Tapi Kinan hari ini entah kenapa… cepat capek.
Mungkin karena malam sebelumnya terlalu lama video call sama Danu.
Atau mungkin karena jalan bareng Rama barusan bikin pikirannya penuh hal lain.
Ketika sesi pemanasan, Kinan sempat pusing dan sedikit oleng.
“Kinan, kamu oke??” tanya Tari panik.
“I-iya… cuma muter dikit.”
Panitia cowok mendekat. “Siapa yang pusing? Ayo duduk di teduhan.”
Kinan duduk di samping lapangan, menunduk sambil menarik napas.
Beberapa menit kemudian seseorang berdiri di depan wajahnya.
“Kinan.”
Rama lagi.
“Kamu pucat banget.”
“Aku nggak apa-apa kok, cuma kurang sarapan.”
“Makanya kubilang roti itu nggak cukup.”
Rama jongkok di depannya, membuka botol minum dan menyodorkannya.
“Minum.”
Kinan mengambilnya ragu. “Ini air kamu…”
“Minum aja. Ga kenapa-kenapa.”
Ia minum sedikit, lalu mengangsurkan kembali. Rama memeriksa wajahnya sekilas.
“Kamu harus hati-hati, Kin. Kalau jatuh, panitia pasti heboh.”
“Kayak kamu nggak heboh tadi,” sindir Kinan.
Rama tersenyum kecil.
“Nah itu bedanya. Panitia cuma tugas. Aku… beda.”
Kinan memicingkan mata.
“Rama, jangan mulai lagi.”
“Aku nggak mulai apa-apa.”
Kinan menggigit bibir, bingung harus marah atau malu.
Untung panitia segera memanggil semua kelompok untuk kembali berkumpul.
Rama berdiri, lalu berkata sebelum pergi:
“Kalau nanti butuh bantuan, kabarin aku.”
Kinan hanya bisa menghela napas panjang.
---
Istirahat siang, peserta dilepas untuk makan di sekitar kampus.
Tari dan Wulan ingin makan di kantin baru yang lagi viral, sedangkan Kinan lebih ingin sesuatu yang ringan.
“Aku beli salad aja deh,” katanya.
“Ke sana sendiri?” tanya Tari.
“Iya, deket kok.”
Kinan berjalan sendirian melewati pepohonan besar FK yang rindang. Panas siang tapi teduh, khas kampus tua Jogja yang penuh sejarah. Ia membeli salad buah dan duduk di bangku dekat taman kecil.
Tidak lama kemudian, seseorang duduk tanpa minta izin di sampingnya.
“Sendirian lagi?”
Suara itu.
Rama.
“Kamu kok muncul terus sih…” gerutu Kinan.
“Jogja itu kecil, Kin,” jawab Rama sambil membuka makanannya. “Lagian, aku nggak ngikutin kamu. Kamu aja yang selalu ada di area yang sama.”
“Salah aku gitu?”
“Enggak. Justru aku seneng.”
Kinan langsung ingin melempar sendok.
“Makan yang bener!” perintah Rama tiba-tiba.
“Hah??”
“Kamu tadi pusing. Makan yang cukup.”
“Ini aku makan!”
“Bagus.”
Kinan menatapnya heran campur jengkel.
Rama memperlakukannya seolah mereka sudah dekat bertahun-tahun.
Tapi justru karena itu… agak sulit buat marah beneran.
Saat mereka selesai makan dan kembali ke lapangan, Tari menyenggol Kinan.
“Tuh kan… kamu jalan bareng Rama lagi.”
“Bukan aku yang ngajak!” desis Kinan.
“Ya tapi Rama yang TERLIHAT ngajak.”
“IH TARIII.”
Tari cekikikan.
“Kin, aku nggak bilang kamu suka Rama kok. Tapi Rama… itu fix suka kamu.”
Kinan langsung berhenti melangkah.
“Apa?”
“Liat cara dia liat kamu. Cowok kalau gak tertarik nggak bakal begitu.”
Kinan menelan ludah.
Ya Tuhan… masalah baru lagi.
---
Sore hari, acara ospek akhirnya selesai.
Kinan merasa kakinya hampir copot. Ia berjalan pelan menuju gerbang kampus sambil memijat bahunya.
Di belakangnya, suara langkah cukup cepat terdengar.
“Kinan!”
OH MY GOD.
Rama lagi.
“Kamu mau pulang? Bareng aku ya,” katanya sambil menyesuaikan langkah.
“Rama, aku lewat gang belakang, kamu lewat jalan besar. Arah kita beda.”
“Gang belakang? Deket toko batik kan? Aku juga lewat situ.”
“Rama…”
“Apa?”
Kinan berhenti.
Ia menatap Rama lama.
“Kamu… ngapain sih?”
Rama mengangkat bahu, wajahnya jujur tanpa dibuat-buat.
“Aku cuma pengen deket sama kamu.”
Kinan tercekat.
“Tapi aku udah punya pacar.”
“Aku tau,” jawab Rama cepat. “Dan aku nggak berniat rebut kamu.”
“Lah terus??”
“Aku cuma mau kenal kamu lebih banyak.”
Kinan tidak bisa membalas.
Ia bingung—antara tersentuh, jengkel, atau takut Danu tiba-tiba teleport.
Rama tersenyum tipis, lebih lembut dari sebelumnya.
“Aku tau batas kok, Kin. Tapi… kalau suatu saat kamu capek, atau butuh temen, aku ada.”
Kinan menunduk.
Ia nggak pernah menyangka bakal dengar kalimat seperti itu di kota baru.
“Udah sana pulang,” kata Kinan akhirnya.
Rama tertawa kecil.
“Oke. Sampai besok ya.”
Kinan menonton Rama pergi, langkah cowok itu santai tapi jelas penuh niat.
Ia memegang dada.
Jantungnya… entah kenapa berdebar beda.
“Ya Tuhan… ini kenapa lagi…”
---
Malam itu, di kos, Kinan baru selesai mandi ketika ponselnya berbunyi.
Danu calling…
Begitu wajah Danu muncul di layar, hati Kinan langsung hangat.
Rindu yang menumpuk dari pagi mencair dalam sekejap.
“Sayang…” suara Danu berat dan capek.
“Kamu baru selesai tugas ya?” tanya Kinan lembut.
“Iya… aku capek banget. Pengen dipeluk kamu.”
Kinan tersenyum kecil.
“Kalau aku ada di situ sudah aku peluk kamu, Nu.”
Danu menatapnya lama.
“Kin…”
“Hm?”
“Kamu baik-baik aja kan? Hari ini?”
Kinan terdiam sebentar.
“Baik. Cuma… capek dikit.”
“Nggak ada yang gangguin kamu?”
“Nggak kok.”
Kinan memilih untuk tidak menyebut Rama.
Ia belum siap lihat Danu marah.
Danu menghela napas lega.
“Aku sayang kamu, Kin.”
“Aku juga sayang kamu.”
Dan saat Danu menatapnya melalui layar ponsel, Kinan sadar satu hal:
Rama mungkin bisa bikin deg-degan kecil…
tapi Danu tetap rumahnya.
Kinan udah rebahan, baru aja mau narik selimut ketika notifikasi WhatsApp berbunyi.
Layarnya nyala, dan satu nama langsung muncul.
Danu 💙
“Sayang… besok jangan lupa sarapan yang bener ya.”
Kinan ngedengus kecil.
“Duh ini anak ngapain sih jam segini masih ngechat,” gumamnya, tapi senyum lebar banget.
Ia ngetik balasan pelan.
“Iyaa, kamu udah makan?”
Danu bales cepet banget, kayak lagi duduk nungguin HP.
“Belum. Capek dari studio maket. Tapi kamu cerita dulu, Rama itu siapa?”
Kinan langsung melek.
“Hah, loh kok dia tau…” bisiknya.
Terus baru inget — tadi kan dia ceritain dikit di telpon sebelum mandi, tapi cuma sebut nama doang.
Sebelum Kinan sempet balas, chat baru masuk lagi.
“Pokoknya aku gak suka.”
Kinan ngakak kecil sambil nutup muka pake bantal.
Cowok satu ini… ya Tuhan…
Posesifnya bikin gemes banget.
Ia balas pelan.
“Rama temen kelompok bareng ospek. Udahaaah cemburuu…”
Danu langsung ngetik lagi.
“Kinan.”
Satu chat singkat. Serius.
“Jangan terlalu baik sama dia. Kamu tuh… ya kamu tau sendiri. Gampang disenengin orang.”
Kinan bengong.
Terus pipinya panas.
Sumpah, kalimat itu kayak tembakan jantung.
Ia taprek.
“Aku cuma punya kamu, bodoh.”
Titik.
Send.
Dan detik itu juga Danu langsung ngecall.
“Astaga…” Kinan nutup muka sambil angkat telpon.
“Kenapa sih kamu—”
“Aku suka kalau kamu ngomong gitu.”
Suara Danu berat, capek, tapi hangat banget.
“Jangan ngomong ke cowok lain.”
“Kamu pikir aku gila apa ngomong kayak gitu ke orang lain?” Kinan ketawa kecil.
“Gak tau. Kamu tuh… ya kamu tau lah. Cantik.”
“Ap—APAA?!” Kinan langsung duduk di kasur.
“Danu, sumpah ya kalau kita ketemu aku jitak.”
Danu cuma ketawa pelan.
“Udah tidur sana. Besok kamu ospek full day kan?”
“Full sampe sore,” jawab Kinan sambil senderan ke dinding.
“Baru hari pertama aja udah capek banget, Dan…”
Ada jeda hening kecil.
Terus suara Danu turun, lembut banget.
“Aku pengen banget peluk kamu sekarang.”
Kinan menunduk, jantungnya lari marathon.
“Jangan ngomong gitu. Aku homesick lagi nanti…”
Danu ketawa tipis.
“Udah. Tutup mata. Aku temenin sampe kamu ngantuk.”
Dan Kinan beneran nurut.
Ia rebahan, narik selimut, dan cuma denger suara napas Danu di speaker.
Tenang.
Ngebuat kamar kost sempit itu tiba-tiba terasa hangat.
“Dan…” bisik Kinan.
“Hm?”
“Aku capek. Tapi bahagia.”
Danu senyum—kedengeran dari suaranya.
“Aku juga.”
Mereka masih ngobrol kecil sampai Kinan kebablasan ketiduran duluan.
Dan Danu baru nutup telpon setelah denger napas halus Kinan berubah ritme.
“Good night, sayang,” katanya sebelum menutup call.
---
Pagi hari suasana kost udah rame lagi.
Suara sandal selop gesek-gesek di lorong, anak kost ketawa-ketawa, ada yang buru-buru nyatok rambut, ada yang teriak, “IH SERAGAM OSPEKNYA MANA LAGI??!”
Kinan keluar kamar sambil bawa botol minum, tas, dan wajah setengah ngantuk setengah pasrah.
“Halo, cantik pagi,” sapa Naya dari kamar seberang.
“Kamu ngomong cantik tuh bikin Danu teleport loh,” jawab Kinan sambil ketawa.
Naya ngakak.
“Yaudah deh ‘sayang Danu’, ayo turun bareng.”
Mereka turun tangga kost, dan—
“Woyy Kinaaaan!”
Rama udah berdiri di depan gerbang kost, naik motor, pake helm half face warna hitam, dan ngacungin plastik mie ayam.
Kinan langsung meringis.
“YA ALLAH ini anak dari mana munculnya sih…”
“Aku bawain sarapan! Lu bilang suka mie ayam kan,” Rama senyum lebar.
“Tapi jangan bilang-bilang anak motor lain ya, nanti gua disuruh beliin satu angkatan.”
Naya langsung bisik ke Kinan,
“Itu cowok… usaha banget.”
Kinan nahan ketawa.
“Rama… aku udah sarapan sebenernya.”
“Gapapa. Ini buat bekel siang.”
Terus dia nyodorin plastik itu sambil senyum yang… ya… lumayan bikin orang kelepek.
Tapi Kinan cuma ambil sambil bilang,
“Makasih. Tapi habis ini aku beneran pergi sama Naya, ya.”
Rama ngangguk.
“Oke. Tapi—”
Dia menaikkan kacamata hitamnya sedikit.
“Nanti kalau pulang ospek kamu pingsan, aku gotong.”
Naya langsung ngakak keras.
Kinan cuma nutup muka.
“Terserah kamu lah…”
Pas mereka jalan pergi, Naya nyeletuk,
“Kinan… ini calon-calon masalah banget sumpah.”
“Makanya! Aku capek dua doang udah cukup, jangan ditambah tiga,” Kinan nyaut sambil frustasi.
“Dua? Siapa aja?”
Kinan spontan jawab,
“Danu sama homesick.”
Naya langsung berhenti jalan.
“AKU PIKIR KAMU MAU NGAKU RAMA JUGA! Ya ampun aku udah siap njerit.”
Kinan geleng-geleng.
“Aku bukan cewek gituan…”
“…tapi cowok yang deketin kamu kayak magnet bestie, sumpah,” Naya komentar sambil ngakak.
---
Siang hari, pas istirahat ospek, Kinan duduk di bawah pohon sambil buka plastik mie ayam pemberian Rama.
Belum sempet makan, HP vibrate.
Danu telpon.
“Sayang, kamu lagi apa?”
Kinan cekikikan.
“Kamu serius nanyain? Aku lagi makan mie ayam.”
“Beli di mana?”
Kinan langsung nge-freeze.
“…dikasih temen kelompok.”
Diam.
“Temen… cowok?” suara Danu turun oktav.
Kinan langsung ngakak keras.
“MAKANYA jangan nanya detail!”
“Kinan…”
Suara Danu mulai manja kesel.
“Aku bercanda, aku bercanda.”
Kinan tahan tawa.
“Tapi ya… iya cowok.”
Danu menarik napas panjang banget.
Kinan bisa bayangin dia mendongak liat langit kayak lagi nahan emosi lucu.
“Kamu jangan terlalu manis ya di sana,” kata Danu akhirnya.
Kinan langsung senyum.
“Aku manisnya buat kamu doang lah.”
Hening beberapa detik.
“Kinan?”
“Hm?”
“Aku makin kangen.”
Kinan menggigit bibir, nahan senyum dan deg-degan.
“…Aku juga.”
---
Malamnya, setelah seharian ospek yang capeknya udah kayak narik gerobak isi batu bata, Kinan balik ke kost.
Lorong kost masih rame, tapi lampu-lampu udah agak redup.
Pas dia jalan menuju kamarnya—
“Eh, Mbak Kinan,” panggil ibu kos dari depan.
“Kamar sudah beres semua ya. Kalau ada kurang-kurang, bilang saya.”
“Siap Bu, terima kasih ya Bu,” Kinan menunduk sopan.
Baru mau masuk kamar, Rama muncul lagi dari tangga.
“Nih, catatan buat tugas besok. Kamu tadi kelupaan nulis.”
Kinan melongo.
“Kamu catetin buat aku?”
Rama nyengir.
“Masa aku biarin partnerku kena marah panitia.”
Kinan ambil buku itu sambil nyengir tipis.
“Thanks ya… tapi kamu ini muncul terus. Kayak hantu.”
“Kalau hantu seganteng aku, kamu pasti gak takut,” Rama winking.
Kinan: speechless.
Dalam hati: “ANAK INI MAU DIBAKAR APA GIMANA.”
Tapi ia cuma balas,
“Udah sana tidur, Ram. Besok capek lagi.”
Rama melambaikan tangan sambil mundur.
“Good night, Kinan!”
Kinan masuk kamar sambil nutup muka dengan buku.
“Kenapa hidup aku kayak sinetron begini ya Tuhan…”
Tidak lama, chat Danu masuk.
“Sayang? Udah di kamar belum?”
Kinan tersenyum.
Udah tau banget siapa yang bisa bikin semua cape berubah hangat.
Ia balas.
“Udah, Dan. Aku mau mandi terus video call ya.”
Dan balasan Danu langsung muncul.
“Oke. Aku tunggu.”
“Pake baju rapi ya.”
“Jangan bikin aku deg-degan malam-malam.”
Kinan teriak kecil dan guling-guling di kasur.
✨✨Best habis baca jangan lupa like nya..ngerti ora best 🥴