Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Kencan Pertama
Elena berdiri diam di depan rak minuman dingin. Bukannya memilih, ia justru terpaku, pikirannya masih melayang pada kejadian kemarin, tentang seseorang yang datang ke rumah lamanya dan terang-terangan mencarinya.
“Kau suka yang mana?”
Suara Damian menyadarkannya. Elena menoleh, pria itu datang dengan beberapa bungkus snack di tangannya.
Saat ini mereka berada di minimarket. Damian menjemputnya tadi pagi, sesuai janji mereka kemarin. Sejak dari apartemen, Elena sudah puluhan kali bertanya ke mana tujuan mereka, tapi Damian tetap bungkam dan hanya mengatakan kalau ini kejutan.
Damian menatapnya lekat, “Elena, kau melamun. Ada yang aneh dari sikapmu sejak tadi.”
Elena tersenyum kecil dan menggeleng, “Tidak, Om. Aku hanya berpikir, kira-kira aku sedang diculik ke mana.”
“Oh, jadi kau menganggap aku menculikmu?” goda Damian.
Elena terkekeh, “Tepatnya menculik hatiku.”
Damian mendengus pura-pura kesal, “Gombalan itu lagi.” Ia lalu mengangkat snack di tangannya, “Nah, pilih. Kau mau yang manis, gurih, atau pedas?”
“Aku suka semuanya,” jawab Elena, matanya menatap Damian jenaka, “Termasuk yang membawanya.”
Damian terkekeh pendek, “Aku tidak akan terjerat pada gombalan mautmu.”
Ia menunjuk rak minuman, “Sekarang pilih minumanmu.”
Elena menurut. Ia membuka pintu kaca dan mengambil teh rasa buah yang terlihat menyegarkan. Sementara Damian meminta diambilkan kopi dingin favoritnya.
Setelah itu, mereka berjalan ke kasir dan membayar belanjaan mereka.
Seperti biasa, Damian yang membayar semuanya. Elena sempat ingin menawarkan kartunya, tapi pria itu langsung menegaskan bahwa seorang pria seharusnya bertanggung jawab ketika membawa wanita keluar. Elena hanya bisa menghela napas kecil, lalu tersenyum menerima sikap itu.
Saat mereka berjalan keluar dari minimarket, penampilan Elena tampak mencuri perhatian. Ia mengenakan kemeja panjang bermotif garis vertikal biru dan putih. Bagian lengan digulung sedikit di pergelangan, menghadirkan kesan santai tanpa mengurangi kerapian. Kemeja itu terselip rapi ke dalam rok panjang berwarna navy, model A-line yang jatuh anggun hingga betis bawah, mempertegas siluet rampingnya.
Di tangannya tergantung tas kecil berwarna hitam dengan rantai perak, sederhana tapi elegan. Sementara sepatu mules berhak tiga centimeter yang dikenakannya menambah kesan feminin dan dewasa, setiap langkahnya terdengar ringan namun berwibawa.
Damian sempat melirik sekilas dan tersenyum samar. Bukan hanya karena Elena tampak cantik, tapi karena ada sesuatu dalam cara wanita itu membawa dirinya, anggun, tenang, dan berkelas tanpa usaha berlebihan.
Sedangkan Damian tampil dengan gaya yang santai. Ia mengenakan kaus Henley berwarna krem muda, dengan beberapa kancing terbuka di bagian leher yang memperlihatkan sedikit garis tegas di lehernya. Bahan katun rajut halus itu tampak lembut, mengikuti bentuk tubuhnya yang pas di bahu dan lengan, menciptakan siluet maskulin tanpa terlihat kaku.
Padanannya sederhana namun menawan yaitu celana chino berwarna taupe dengan potongan slim fit yang rapi. Warna netral itu membuat tampilannya selaras dengan kepribadiannya yang dewasa. Di pergelangan tangannya melingkar jam tangan dengan strap hitam dari merek terkenal.
Sebagai sentuhan akhir, Damian mengenakan sneakers putih polos yang membuat keseluruhan tampilannya terlihat fresh dan kasual. Walau usianya tidak lagi muda, pria itu justru terlihat semakin memikat dengan kesederhanaan gayanya.
“Sebenarnya kita akan ke mana, Om?” tanya Elena, matanya menatap ke arah Damian saat mobil itu melaju membelah jalanan kota.
Damian hanya melirik sekilas ke arah wanita di sampingnya dengan senyum kecil yang terlukis di sudut bibir.
“Kau akan tahu nanti,” jawabnya singkat, nada suaranya tenang tapi menggoda, seolah menyimpan sesuatu yang ia sengaja rahasiakan.
Elena mengembuskan napas pelan, kemudian mencibir kesal sambil melipat kedua lengannya.
“Awas saja kalau tidak seindah bayanganku. Aku akan memukul Om habis-habisan.”
Nada suaranya terdengar seperti ancaman, tapi ekspresi di wajahnya justru menunjukkan sebaliknya, ada tawa kecil yang tertahan di ujung bibirnya.
Damian terkekeh pelan, matanya tetap fokus ke jalan, “Siap, Nyonya,” ujarnya dengan nada bercanda yang membuat suasana di antara mereka terasa semakin ringan.
Elena akhirnya tersenyum. Ia lalu memalingkan pandangan ke depan, menatap cahaya kota yang berlari menjauh di balik kaca.
Mobil terus melaju hingga perlahan berbelok ke kiri, menuju jalur panjang yang diapit pepohonan tinggi menjulang di kedua sisinya. Rimbun dedaunan membentuk lorong alami, membuat sinar matahari hanya menembus dalam pancaran-pancaran tipis yang menari di atas kap mobil.
Elena mendekat ke jendela samping, menempelkan telapak tangannya pada kaca. Tatapannya mendongak, mengikuti batang-batang pohon yang seolah tidak berujung. Hijaunya begitu lebat, tapi juga meninggalkan kesan misterius.
“Om,” panggilnya pelan, masih menatap keluar, “Tempat ini sedikit menyeramkan. Gelap dan sepi. Tidak ada mafia kan yang mencegat kita di depan?”
Damian yang sejak tadi fokus menyetir langsung menoleh sekilas, lalu tertawa keras. Suara tawanya memenuhi kabin mobil, membuat Elena menoleh dengan ekspresi heran.
“Kenapa malah tertawa?” protesnya kesal.
“Kau sangat lucu,” jawab Damian sambil berusaha menahan tawa yang belum sepenuhnya reda, “Mana ada mafia di siang hari seperti ini. Mereka akan kepanasan saat terkena matahari.”
Elena mengerutkan alisnya, “Om sedang melucu, ya? Memangnya mafia itu vampir?”
Kali ini Damian tertawa lebih keras, bahkan sempat memukul setir pelan karena geli, “Aku hanya bercanda,” ujarnya masih sambil terkekeh.
Elena memalingkan wajah, berpura-pura kesal. Namun ekspresi itu tidak bertahan lama. Hanya butuh beberapa menit hingga rasa penasaran menggeser semua kepura-puraan di wajahnya. Jalan lurus yang sejak tadi mereka lewati tiba-tiba berakhir begitu saja.
“Jalan buntu?” tanya Elena heran, menatap ke depan yang hanya diisi deretan pohon tinggi menjulang, tampak serupa dengan yang baru saja mereka lewati.
Damian tidak menjawab. Ia hanya melepas sabuk pengamannya, lalu keluar dari mobil.
Elena melirik Damian dengan bingung. Aneh, tidak seperti biasanya, pria itu bahkan tidak membukakan pintu untuknya. Elena menatapnya dari balik kaca, melihat sosok Damian berjalan mantap menuju barisan pepohonan itu, seolah tengah memeriksa sesuatu di baliknya.
Rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan kesabarannya. Dengan cepat, Elena ikut melepas sabuk pengaman, membuka pintu, dan menyusul langkah Damian.
“Kau sudah di sini?” tanya Damian ketika ia sudah keluar dari balik pohon, “Aku hendak kembali membukakan pintu untukmu. Baru saja aku memastikan apakah tempat ini benar yang kutuju.” Suaranya tenang, diselingi gerakan tangan yang meraih ponsel di saku celananya.
“Tempat apa ini, Om?” tanya Elena sambil memandang sekeliling. Suasana di sana begitu asing. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara burung yang sesekali melintas dari dahan ke dahan.
Damian menatap layar ponselnya sebentar, lalu tersenyum tipis, “Memang benar tempat ini,” ucapnya, kemudian mengembalikan ponsel itu ke saku, “Tunggu sebentar.”
Ia berjalan kembali ke mobil, mengambil kunci, lalu menekan tombol pengunci hingga terdengar bunyi khas yang memantul di antara pepohonan. Setelah itu, ia kembali menghampiri Elena.
“Ayo,” ucapnya pelan sambil mengulurkan tangan.
Elena sempat terpaku sejenak, sebelum akhirnya menyambut tangan itu dengan senyum kecil. Dalam diam, mereka melangkah berdampingan melewati barisan pepohonan.
Baru saja melewati deretan pepohonan itu, Elena langsung tertegun. Di hadapannya, terbentang pemandangan yang nyaris tidak bisa ia percaya nyata.
Jalan setapak dari kayu melengkung lembut di tepian danau jernih, dikelilingi pepohonan tinggi yang meneduhkan. Permukaan air berkilau terkena pantulan cahaya matahari, sementara bunga-bunga berwarna cerah tumbuh di antara dedaunan hijau yang lebat. Udara di sana begitu segar, seperti membawa aroma tanah basah dan ketenangan yang tidak bisa dijelaskan.
Damian menoleh, memperhatikan ekspresi wanita di sampingnya, “Kau menyukainya?” tanyanya lembut.
Elena tidak langsung menjawab. Tatapannya masih terpaku ke depan, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan surga kecil di dunia. Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum tulus yang jarang muncul. Murni senyum tulus, bukan kepura-puraan seperti biasanya.
Ia mengangguk pelan, “Aku menyukainya,” ucapnya lirih.
“Semalam aku sebenarnya ingin mengajakmu ke pantai,” ujar Damian sambil menatap hamparan danau itu, “Tapi kupikir itu terlalu biasa. Saat aku mencari-cari di internet, aku menemukan tempat tersembunyi ini. Dan ternyata lebih indah dari yang kubayangkan.”
Elena menoleh, menatap wajah pria itu, “Aku benar-benar menyukainya,” ucapnya masih dengan senyuman, “Terima kasih. Baru kali ini ada seseorang yang mengajakku ke tempat seindah ini.”
Damian tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Elena. Sentuhannya lembut, penuh kasih sayang, “Untukmu, aku siap melakukan apa pun. Lain kali, jika kau menginginkan tempat mana pun, beritahu aku. Ujung dunia sekalipun, aku akan menemanimu ke sana.”
Elena menatapnya lama, membiarkan sentuhan itu melekat di kulitnya, lalu tersenyum dan mengangguk.
“Bolehkah aku melewati danau ini?” tanya Elena sambil melirik jembatan kayu yang membentang di atas air.
“Tentu saja.”
Damian menggenggam tangan Elena lebih erat, lalu mereka melangkah bersama di atas jembatan itu.
Di tengah perjalanan menyusuri jembatan kayu itu, Elena tiba-tiba melepaskan genggaman tangan Damian.
Ia berlari kecil ke depan lalu berjongkok. Di sana, ia mencondongkan tubuhnya ke arah air yang jernih, memperhatikan pantulan langit biru dan dedaunan yang bergoyang di permukaan danau. Senyum kecil menghiasi wajahnya saat ia mengeluarkan ponsel dari tasnya, lalu mengabadikan pemandangan itu. Beberapa kali ia berganti arah, memotret dari sudut berbeda, termasuk gunung di kejauhan yang berdiri gagah yang sebagian puncaknya diselimuti kabut tipis.
Damian yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, hanya tersenyum melihat tingkah Elena yang tampak begitu menikmati momen itu. Ia kemudian merogoh ponselnya sendiri, diam-diam menekan tombol kamera dan memotret Elena dari jauh. Dalam bidikannya, wanita itu tampak begitu alami, rambutnya yang tergerai diterpa angin lembut, dan wajahnya diterangi cahaya matahari yang menembus sela dedaunan, menciptakan pemandangan yang bahkan lebih indah dari sekelilingnya.
Elena menoleh tiba-tiba, “Om memfotoku?” tanyanya sambil mengerutkan alis.
Damian menurunkan ponselnya dengan senyum kecil, “Aku tidak mungkin melewatkan kesempatan mengabadikan wanita tercantik di dunia ini.”
Elena tertawa kecil, “Wah, sekarang Om sudah pandai menggoda, ya?”
“Kau kan yang mengajariku,” balas Damian yang membuat Elena kembali tersenyum.
“Kalau begitu foto aku lagi, Om!” seru Elena penuh semangat.
Ia segera berdiri di tepi jembatan, mengambil pose sederhana namun anggun, dengan latar danau berkilau dan pepohonan hijau di belakangnya. Damian menyesuaikan posisi, menatap layar ponselnya sebentar, lalu menekan tombol kamera.
Hasilnya menakjubkan, seolah Elena benar-benar menjadi bagian dari alam di sekelilingnya, seperti lukisan hidup di tengah surga yang tersembunyi.
“Sekarang giliranku memfoto Om,” ucap Elena sambil mengangkat ponselnya.
Damian menurunkan ponselnya dan berdiri tegak di sisi jembatan.
“Senyum, Om,” ucapnya sambil mengarahkan kameranya, “Jangan seperti patung begitu.”
Damian menarik sedikit ujung bibirnya, menghasilkan senyum tipis yang justru terlihat hangat dan tulus.
“Lumayan,” gumam Elena puas, memperlihatkan hasil jepretannya pada Damian.
Damian terkekeh pelan, “Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita,” ujarnya kemudian.
Elena mengangguk, menyimpan ponselnya, lalu merangkul lengan Damian dengan lembut. Mereka kembali berjalan beriringan, menyusuri jembatan kayu yang berkelok indah, ditemani suara gemericik air dan desir angin yang menenangkan.
Di ujung jembatan kayu itu, sebuah gubuk kecil berdiri kokoh, menghadap langsung ke danau yang tenang, dan dikelilingi taman liar yang penuh warna.
Setelah melihatnya, Elena melepas lengan Damian dan langsung berlari kecil dengan semangat.
Damian hanya tersenyum geli melihat tingkah wanita itu, lalu menggeleng pelan sebelum menyusul dengan langkah tenang.
Setibanya di sana, Elena menatap sekeliling dengan kagum. Ia berdiri di tepi gubuk, tangannya menyentuh pagar kayu yang terasa lembap, sementara matanya terpaku pada pemandangan luar biasa di depannya.
“Wah…” desisnya pelan, kata itu berulang kali keluar tanpa ia sadari.
Damian akhirnya sampai, berdiri di samping Elena. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar yang terasa begitu murni.
“Sangat menyegarkan,” ucapnya seraya memejamkan mata sejenak, “Bahkan pikiran yang kalut pun seketika hilang saat melihat pemandangan seperti ini.”
Elena meliriknya, ia tahu betul maksud ucapan pria itu, “Apa kemarin tidak berhasil, Om? Hubungan kalian belum membaik?”
Damian menatap jauh ke permukaan danau, “Setidaknya aku sudah mencoba. Hanya saja, dia masih ingin menghindariku.”
“Beri dia waktu,” ujar Elena lembut.
Damian mengangguk kecil, “Kurasa kau benar.” Ia menarik napas panjang lagi, “Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan hal itu.”
Elena menatap pria itu penuh arti. Ia tahu, luka di antara Damian dan anaknya terlalu dalam untuk disembuhkan secepat itu. Tapi di sisi lain, ada bagian kecil di dalam dirinya yang diam-diam merasa senang.
“Apa Om menyewa seluruh tempat ini?” tanya Elena, mencoba mengalihkan pembicaraan, “Tidak mungkin tempat seindah bisa sesepi ini.”
Damian menoleh dengan senyum kecil di sudut bibir, “Menurutmu?”
Elena membalas dengan anggukan paham, “Pengaruh seorang Tuan Damian Evans memang tidak perlu diragukan.”
Pria itu terkekeh pelan, lalu merangkul pinggang Elena dan menariknya sedikit lebih dekat, “Jangan menganggapku seperti itu lagi. Di hadapanmu, aku bukan seseorang yang berpengaruh. Kita setara. Aku tidak ingin ada jarak di antara kita.”
Elena memicingkan mata, lalu tersenyum kecil, “Lihatlah siapa yang bicara. Aku bahkan masih ingat, betapa kerasnya Om dulu menolakku.”
Damian menatapnya dengan senyum penuh makna, jemarinya mengelus lembut sisi pinggang Elena.
“Itu dulu,” jawabnya tenang.
Elena tertawa kecil, lalu bersandar sedikit di bahu Damian. Keduanya terdiam, menikmati suasana di depan mereka.
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti bagi mereka berdua.